Dalam acara Malam Budaya Batak, menyongsong HUT RI ke-71, pada 13 Agustus 2016, 7 tahun lalu, saya sempat omong-omong dengan Xanana di Delta Comoro, Dili. Tak ada kesan Xanana memandang Indonesia dari stereotipe yang dipompakan dunia Barat atau AS dkk seperti itu. Tidak. Beliau memandang Indonesia dari kacamata yang sangat wajar sewajar air tanah mengalir ke air mancur Baucau di sektor timur Timor Leste sana.
Alih generasi memang tak mudah. Ini perlu kesabaran dan perlu keteladanan dari para elite. Elite di Timor Leste selama kl 24 tahun terakhir ini telah membludak, tapi toh tak langsung bim sala bim menghasilkan seorang Soekarno, seorang Xanana, seorang Aung San Suu Kyi dst. Rising demand expectations dari rakyat Timor Leste justeru semakin meningkat dan bukannya menurun. Ledakan demografis pertama sudah dimulai di tanah seluas 15.000 Km2 itu. Saya pikir, itu wajar dalam sebuah perubahan drastis pada saat kekuasaan beralih dari Indonesia ke Timor Leste. Perubahan kala itu bukanlah karena Revolusi Rakyat sebagaimana Revolusi Kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945, tapi perubahan karena pergeseran kepentingan dalam geopolitik dan geostrategis dunia.
AS di bawah Gerald Ford Acc Indonesia berintegrasi dengan Timtim pada 1976, demikian pula Ausie di bawah Gough Whitlam. Tapi Indonesia sendiri menetapkan pilihannya jauh sebelum itu bahwa pasca Revolusi Bunga di Portugal, dekolonisasi Timtim yang tak beres di bawah pengorganisasian Porto harus dibereskan Indonesia sesuai keinginan rakyat Timtim saat itu bahwa Timtim harus berintegrasi dengan NKRI.
Kembali ke narasi Horta : "mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Dino Patti Djalal, seorang diplomat yang sangat dihormati dan sebagai pejabat muda yang menangani Timor Leste sekitar masa kemerdekaan, mengungkapkan keharuannya kepada orang-orang yang menghadiri pertemuan di KBRI Dili sehari sebelum pelantikan Xanana dengan menyatakan Indonesia telah mengkhianati rakyat Timor Leste, dan melanggar komitmennya sendiri untuk meninggalkan bangsa ini dalam damai, dan memastikan tidak ada yang dihancurkan dan dibunuh.
Lalu dengan entengnya Horta menuding "... penghancuran dan pembunuhan justeru yang ditinggalkan Indonesia. Itu tidak hanya menodai keagungan keputusan Presiden Habibie untuk memberikan hak referendum kepada Timor Leste, tetapi juga merusak citra Indonesia di dunia. Lalu dilanjutkannya dengan menyitir kata-kata Dino : "tidak pernah dalam hidup saya, saya merasa begitu malu pada diri saya sendiri saat berdiri di pertemuan PBB mendengarkan Sekjen PBB meminta semua hadirin untuk berdoa bagi petugas PBB yang dibunuh oleh milisi Indonesia di Timor Leste."
Horta juga mengutip Philips J. Vermonte, cendekiawan dan Dekan Indonesia di Universitas Internasional Islam Indonesia yang baru didirikan di Depok yang hadir dalam acara itu, yang mengatakan dengan bercanda setiap kali dia dkk membeli barang dagangan dari toko-toko di Dili. Vermonte mengatakan itu hanya sebagai tanda balasan atas apa yang telah dilakukan Indonesia ke negara ini di masa lalu.
Dino bahkan lebih jauh dari Vermonte dalam mengungkapkan betapa Indonesia ingin melihat bekas jajahannya menjadi makmur, dengan mengatakan Timor  Leste adalah satu-satunya negara di dunia dimana Indonesia tidak pernah bertanya "Apa yang akan kita dapatkan sebagai balasannya? Apa yang dapat Anda lakukan untuk kami? saat menjalin relasi dengan Timor Leste.
Lalu Christine Hakim, aktris papan atas Indonesia yang juga diundang, disitirnya, dimana Christine menyatakan bahwa yang harus kita semua lakukan adalah melakukan yang terbaik untuk rakyat Timor Leste.
Jose Manuel Ramos-Horta merasa bangga saat itu telah mengundang cukup banyak tokoh Indonesia ketimbang tokoh dari negara lain mana pun untuk pelantikan Xanana, sambil menyebut mereka "sahabat Indonesia saya". Dikatakannya, Xanana berhenti begitu melihat sekelompok orang Indonesia berjalan ke upacara pelantikannya, berjabat tangan dengan mantan Sekretaris Kabinet Indonesia Dipo Alam, Pradono Handojo, direktur RS Muhammadiyah, dan penulis Okky Madasari.