Tahun 2023 ditandai 2 hal penting. Pertama, diusungnya secara resmi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sebagai Capres PDIP. Kedua, dicabutnya status darurat Pandemi Covid-19 yang sangat melegakan setelah masa pemberlakuannya selama 3 tahun (Maret 2023-Juni 2023).
Presiden Jokowi yang menjabat 2 periode terhitung 2014-2019 dan 2019-2024 sudah mendekati akhir. Poling menunjukkan angka kepercayaan masyarakat terhadap sang Presiden pada kisaran 70%. Itu hanya berarti pemilih ke depan ini berharap tongkat estafet dari Jokowi harus jatuh ke tangan Capres yang dapat melanjutkan program Jokowi lebih mantap lagi.
Capres yang bakal jadi Presiden mendatang harus dapat membaca infrastruktur kelautan Indonesia setelah infrastruktur darat, termasuk kereta cepat Bandung-Surabaya setelah lintasan KA cepat Jakarta-Bandung selesai beberapa waktu lalu, dan juga proyek monumental nasional yaknii IKN di Kaltim dan proyek monumental di DKI Jakarta, yakni proyek MRT dan LRT. Dan yang terakhir tapi bukan penghabisan dalam lingkup nasional bahkan internasional adalah mega proyek Baterei Lithium made in Indonesia setelah 10 tahun terakhir ini pemerintah dan stake holdernya mengkampanyekan Mobil, Sepeda Motor dan sepeda ontel bertenaga listrik. Indonesia, mengutip Menkomarvest Pak Luhut dan Menhan Prabowo, sangat berkemampuan untuk itu karena SDA utama untuk itu seperti Nikel, Cobalt dan Phospat ada di perut bumi kita.
Tak heran menyongsong itu semua, peta koalisi parpol semakin dinamis. Nasdemlah yang pertama kali menggelindingkan Capresnya yakni Anies Baswedan, disusul Prabowo Subianto sebagai Capres Gerindra dan Ganjar Pranowo sebagai Capres PDIP pengganti Puan Maharani yang elektabilitasnya jeblok dalam beberapa poling. Kini hanya tinggal Cawapres yang ditunggu. Anies sejauh ini belum ada pasangannya, demikian juga Prabowo dan Ganjar.
Koalisi Politik Sebuah Proses Panjang
Kelambanan soal penentuan Cawapres ini tentu tak lepas dari perkoalisian parpol dalam bagi-bagi kekuasaan. Perkoalisian ini tak lepas dari sebuah proses panjang untuk ke depannya menjadi bagian dari budaya politik kita dalam berpemerintahan.
Sejak awal reformasi, khususnya pasca Habibie, koalisi politik cenderung berubah-ubah dan tergantung pada berbagai faktor seperti pergeseran kepentingan politik, aliansi partai, dan kesepakatan politik yang terjadi di antara partai politik. Pada masa lalu, beberapa partai politik telah membentuk koalisi untuk mengusung kandidat presiden bersama dalam Pilpres.
Pada Pilpres 2019 misalnya, terbentuk koalisi antara Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrat untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai capres. Sementara itu, koalisi pendukung Joko Widodo terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai NasDem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menyongsong peralihan kekuasaan pada penghujung 2024 mendatang, situasi politik dapat berubah secara signifikan, katakanlah dari sifat cair sepanjang 2022-2023 ini menjadi mengental dan akhirnya memadat begitu mendekat ke Pilpres 2024.
Selama 2 dasawarsa terakhir, pragmatisme politik ala Indonesia memang cair seperti itu, karena pijakan ideologis yang rapuh dalam kepartaian di negeri ini, dimana parpol-parpol dimaksud pada umumnya belum memiliki ideologi perjuangan sendiri. PDIP sejauh ini memang konsisten dengan nasionalisme, tapi terbukti plin plan dalam ideologi ekonomi yang seharusnya ekonomi kerakyatan dengan sistem koperasi.
Kerapuhan ini karena adanya sejumlah faktor, seperti pergeseran kepentingan politik, ambisi politik individu, tuntutan dari basis pemilih, dan situasi politik yang terus berubah. Masih banyak partai politik yang belum sepenuhnya mengkonsolidasikan ideologi perjuangan yang konsisten dan jelas, terbukti meloncatnya Fahri Hamzah dari PKS ke Partai Gelora, dan menyempalnya sejumlah orang dari Partai Demokrat dan mendirikan Partai Demokrat tandingan, dengan alasan Partai Demokrat Esbeye-AHY tak lagi sejalan dengan cita-cita partai.
PDIP bisa saja memiliki pijakan ideologis yang didasarkan pada nasionalisme dan sosial demokrasi. Namun, implementasi ideologi tsb kenyataannya bervariasi tergantung pada situasi dan kepentingan politik yang sedang dihadapi. Perubahan kebijakan ekonomi adalah salah satu contoh di mana partai-partai politik sering menyesuaikan pendekatan mereka untuk mencapai keberhasilan politik dan dukungan pemilih.
Ideologi ekonomi yang berpusat pada ekonomi kerakyatan dan sistem koperasi memang telah diusung oleh beberapa partai politik di Indonesia dalam berbagai kesempatan. Namun, implementasi kebijakan semacam ini pada kenyataannya sulit dilaksanakan, karena tantangan ekonomi, komitmen internasional, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebijakan ekonomi negara.
Dalam politik praktis, partai politik sering harus beradaptasi dengan tuntutan dan realitas politik yang ada. Pergeseran kebijakan dan penyesuaian ideologi tidak terjadi begitu saja, tetapi sebagai upaya untuk mencapai dukungan politik yang lebih luas atau menjaga stabilitas koalisi politik.Â
Meskipun terdapat ketidaksesuaian antara retorika dan tindakan, hal ini merupakan karakteristik politik di banyak negara, bahkan AS yang sering dikatakan sebagai kampiun demokrasi dunia. Kita lihat partai Demokrat di bawah Biden yang berkuasa sekarang di AS tetap saja terbuka pintunya untuk direcoki kalangan bisnis kelas kakap dari kalangan liberal bahkan super liberal sebangsa Elon Musk dkk.
Demikian pula halnya dengan Indonesia, tidak semua kekuatan politik memiliki kesamaan dalam pendekatan pragmatis mereka. Beberapa partai mungkin lebih konsisten dalam mempertahankan pijakan ideologis tertentu. Selain itu, persepsi mengenai konsistensi dan implementasi ideologi politik juga dapat berbeda-beda tergantung pada sudut pandang dan penilaian individu. Terbukti misalnya politik identitas yang memperhadapkan Jokowi Vs Prabowo dalam Pilpres 2019, termasuk politik identitas yang memperhadapkan Anies Vs Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta pada 2017.
Para "sijogal rukkung" atau si tukang bacot pantang tak hebat, mengutip istilah Batak, toh sudah mulai raib dari cakrawala politik kita. Jangan-jangan Anies dan Prabowo di masa itu hanya kebanjiran permintaan untuk berdemo sesuai style politik kita di masa itu. Kini tampilan keduanya jauh berbeda dibandingkan ketika mereka masih memakai politik identitas sebagai tool dalam berpolitik di masa lalu.
Politik Identitas Menghilang di Cakrawala Politik
Ada impresi kuat, teater politik kita sudah tidak lagi memanggungkan politik identitas yang artinya masyarakat sudah mulai cerdas memilah yang mana keyakinan pribadi dan yang mana keyakinan ideologis. Sedangkan ideologi terbuka sebagai pemersatu disini adalah Pancasila, di luar itu bukanlah ideologi tapi keyakinan pribadi ntah itu Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, hingga keyakinan asli nusantara, ntah itu Parmalim di tanah Batak, ntah itu Kejawen di Jawa dst.
Pergeseran ini dapat diperjelas melalui 3 capres sekarang, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Ganjar dan Prabowo, keduanya sudah banyak digembargemborkan sebagai capres yang nasionalistis. Sedangkan Anies boleh jadi nasionalistis juga, tapi karena dianalisis para buzzers politik selama ini sebagai sudah tertutup oleh politik identitas yang dilancarkannya kemarin dalam Pilgub DKI Jakarta, maka dalam pendekatan falsifikasi di atas, belum tentu Anies akan gugur dalam putaran pertama pilpres.
Sebagaimana diketahui, banyak faktor yang mempengaruhi hasil pemilihan presiden, termasuk popularitas, dukungan partai politik, program kampanye, dan keadaan politik pada saat itu. Terlepas dari pernyataan atau tindakan politik sebelumnya, hasil Pilpres 2024 akan ditentukan oleh sejumlah faktor yang mungkin sulit diprediksi pada saat ini, katakanlah ketiadaan visi partai dalam tatapan jauh ke depan karena tertutup oleh ambisi pribadi dengan menafikan cita-cita ideologis dan cita-cita nasional pada umumnya.
Pilpres adalah proses yang kompleks, dan pergeseran politik dapat terjadi selama masa kampanye dan pemilihan. Pemilih memiliki peran penting dalam menentukan hasil pemilihan, dan preferensi mereka dapat berubah selama kampanye berlangsung.
Saling mengintip di antara kekuatan politik yang ada sangat kentara, dengan belum terlihatnya calon wakil presiden atau cawapres untuk dipasangkan dengan capres tsb. Contohnya Prabowo tak mau jadi cawapres Ganjar, karena Prabowo sudah lama berambisi jadi Presiden RI.Â
Lalu PDIP dan Ganjar belum tentu mencawapreskan Puan atau Agus Harrymurti Yudhoyono atau Muhaimin Iskandar. Prabowo belum tentu siap mencawapreskan Muhaimin Iskandar, atau Airlangga Sutarto dst. Anies sampai sejauh ini belum juga mencawapreskan Agus Harrymurti Yudhoyono, apalagi politisi dari PKS. Sekalipun telah disas-sus-kan Anies akan  mencawapreskan puteri alm Gus Dur Yenni Wahid untuk menjawab keterpurukannya dalam beberapa poling. Atau Airlangga Hartarto dan Golkar bakal gabung ke KKIR-nya Prabowo-Gerindra.
Fenomena Politik Now
Membaca fenomena politik seperti ini memang tak mudah. Menuju sistem demokrasi yang dewasa dan semakin matang, banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan para Ketum Parpol dan capres yang diusung. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan dalam membaca dinamika politik tsb antara lain :
1. Kepentingan dan ambisi politik, dimana setiap Capres memiliki kepentingan dan ambisi politik yang berbeda-beda. Mereka akan mempertimbangkan mitra Cawapres yang dapat membantunya meraih dukungan dan mencapai tujuan politik mereka.
2. Popularitas dan elektabilitas, dimana Capres dan Cawapres akan mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas masing-masing untuk memaksimalkan peluang mereka dalam memenangkan Pilpres. Mereka akan mencari mitra yang dapat meningkatkan daya tarik mereka di mata pemilih.
3. Kompatibilitas politik dan ideologis, dimana Capres dan cawapres perlu mempertimbangkan kesesuaian politik dan ideologis mereka. Meskipun partai politik memiliki peran dalam penentuan cawapres, kesesuaian pandangan politik dan visi bersama juga menjadi faktor penting dalam pembentukan tiket capres dan cawapres.
4. Pertimbangan partai politik, dimana partai politik memiliki peran penting dalam menentukan calon cawapres. Mereka akan mempertimbangkan kepentingan partai, basis pemilih, dan strategi politik dalam memilih cawapres yang dapat memperkuat koalisi mereka.
5. Dinamika politik dan pergeseran aliansi, dimana perubahan dalam dinamika politik, baik sebelum maupun selama kampanye, dapat mempengaruhi pembentukan tiket capres dan cawapres. Pergeseran aliansi dan negosiasi politik dapat memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam pasangan capres dan cawapres.
Spekulasi dan prediksi tentang capres dan cawapres harus didasarkan pada informasi yang valid dan terpercaya. Situasi politik dapat berubah secara dinamis, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan tiket calon dapat berkembang seiring perjalanan waktu.
Koalisi Politik Bergantung pada Figur
Bagaimana memastikan peta koalisi politik jelang Pilpres 2024 ini. Apakah KIB tetap KIB, KKIR tetap KKIR, atau ada koalisi besar barangkali yang akan mengakomodasi partai-partai yang belum berkoalisi. Karena ini semua tak lepas dari presidential threshold dan parliamentary threshold.
Ini pun tak mudah, karena situasinya dapat berubah seiring waktu dan tergantung pada berbagai faktor politik.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memahami dinamika koalisi politik adalah :
1. Presidential threshold. Ini adalah ambang batas persentase suara yang diperlukan bagi seorang capres untuk dapat maju ke putaran pemilihan presiden berikutnya tanpa melalui pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pemahaman tentang ambang batas ini dapat memberikan indikasi tentang kemungkinan terbentuknya koalisi besar yang mengakomodasi partai-partai yang belum berkoalisi untuk mencapai ambang batas tsb.
2. Parliamentary threshold. Ini adalah ambang batas persentase suara yang diperlukan bagi sebuah partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen. Pemahaman tentang ambang batas ini dapat mempengaruhi strategi koalisi partai politik, di mana partai-partai mungkin perlu berkoalisi agar dapat melewati ambang batas tsb dan memperoleh kursi di parlemen.
3. Dinamika politik. Dinamika politik dalam menghadapi Pilpres 2024, termasuk pergeseran kepentingan politik, ambisi individu, dan aliansi partai politik, dapat mempengaruhi pembentukan koalisi politik. Partai politik mungkin melakukan negosiasi dan mempertimbangkan kesepakatan strategis untuk membentuk koalisi yang kuat dan meningkatkan peluang mereka dalam pemilihan.
4. Faktor ideologis dan kesesuaian politik. Ini juga dapat mempengaruhi pembentukan koalisi politik. Partai-partai politik yang memiliki kesamaan pandangan politik dan ideologi cenderung lebih mungkin untuk membentuk koalisi bersama.
Dari ke-3 Capres sekarang, yaknii Ganjar, Prabowo dan Anies, orang banyak berspekulasi siapa yang paling berpeluang untuk jadi Presiden RI. Apakah turunnya poling tentang Ganjar dan Anies, sementara Prabowo meningkat terus, itu merupakan pertanda Prabowo akan memenangkan kontestasi Pilpres 2024.
Hasil poling terutama dari lembaga independen sangatlah penting. Tapi jangan pernah menafikan sejumlah faktor seperti popularitas, dukungan partai politik, strategi kampanye, dan preferensi pemilih yang dapat berubah seiring waktu. Polling atau hasil survei yang terus berubah dapat memberikan gambaran mengenai tren dukungan pemilih, namun, hasil poling bukanlah jaminan bahwa tren tsb akan terus berlanjut hingga pemilihan sebenarnya.
Teori Fukuyama yang Masih Diperdebatkan
Setidaknya bagaimana seorang Francis Fukuyama melihat perkembangan politik seperti ini melalui tesisnya bahwa demokrasi adalah puncak perkembangan pemerintahan yang dijalankan manusia.
Dalam bukunya "The End of History and the Last Man", Francis Fukuyama menyampaikan tesisnya bahwa demokrasi liberal adalah bentuk pemerintahan yang paling maju dan akhir dari perkembangan politik manusia. Ia berpendapat dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, ideologi-ideologi alternatif yang bersaing dengan demokrasi liberal, seperti komunisme dan fasis, telah kehilangan daya tariknya.
Fukuyama mengatakan demokrasi liberal menawarkan kombinasi antara kebebasan politik, hak asasi manusia, dan sistem ekonomi pasar yang efisien. Ia melihat demokrasi liberal sebagai sistem yang dapat menciptakan stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Pandangan Fukuyama tsb telah menjadi subjek perdebatan dan kritik dari berbagai pihak. Beberapa kritik terhadap tesis Fukuyama antara lain :
1. Pengembangan demokrasi. Beberapa peneliti dan teoretisi politik berpendapat bahwa demokrasi tidak selalu menghasilkan kemajuan politik yang linier. Mereka menyoroti tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam menerapkan dan mempertahankan demokrasi di berbagai negara.
2. Beragamnya model demokrasi. Terdapat berbagai model demokrasi yang berbeda di berbagai negara, dan tidak semua negara mengadopsi model demokrasi liberal secara penuh. Demokrasi dapat bervariasi dalam hal institusi politik, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan distribusi kekuasaan.
3. Ancaman terhadap demokrasi. Beberapa pengamat berpendapat bahwa demokrasi dapat menghadapi tantangan dari populisme, otoritarianisme, dan polarisasi politik yang mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi liberal.
Pandangan Fukuyama tentang demokrasi sebagai puncak perkembangan politik masih menjadi topik yang diperdebatkan di kalangan para ahli politik dan intelektual. Pandangan tsb tidak mencerminkan pandangan universal yang diterima secara luas, dan pandangan yang berbeda-beda masih terus berkembang dan diungkapkan dalam konteks perdebatan dan diskusi politik.
Sekadar Prediksi Perkoalisian
Dalam beberapa waktu ke depan kita akan melihat, Nasdem berkemungkinan akan berkoalisi dengan partai-partai kecil yang kembali lagi melaju dalam pemilu serentak 2024; dalam pendekatan terbaru Puan yang mencoba merangkul AHY, itu setidaknya menggambarkan bahwa PDIP cukup berkoalisi dengan satu parpol saja yakni PD, kalau masih ada yang mau melamar jadi bagian koalisi itu, silakan, masalah ada atau tidak pelamar baru, PDIP dan Capres Ganjar akan terus melenggang.Â
Sementara Prabowo yang sedang naik daun sekarang, lantaran swing voter yang tadinya berasal dari PDIP dan Anies, termasuk Nasdem sudah banyak di antaranya yang berayun ke Prabowo termasuk tail coat effect dari Presiden Jokowi yang sebelum Ganjar dicapreskan secara resmi oleh PDIP, beliau dalam beberapa kesempatan terlihat mendukung kembalinya Prabowo berlaga dalam Pilpres 2024, termasuk merestui katakanlah bakal koalisi besar ketika itu yang meliputi al Gerindra, Golkar, PAN, PKB dst. Ini kemudian digunting ketika Muhaimin Iskandar PKB merapat ke capres Gerindra yakni Prabowo Subianto.
Dalam manuver tsb, koalisi politik di negeri ini terkesan sangat bergantung pada individu yang sudah punya nama besar seperti Prabowo. Kalaupun Ganjar dan Anies disalib Prabowo dalam poling, setidaknya PDIP harus punya strategi alternatif, begitu pula Nasdem.Â
Sayang Nasdem sepertinya sedang diselimuti awan kelabu karena kasus Menkominfo Johnny G. Plate. Sedangkan Anies, bagaimana strategi alternatifnya. Saya pikir dengan menjajal Yenni Wachid sebagai Cawapresnya, ada kemungkinan elektabilitasnya kembali terkerek.
Ganjar Pranowo hanya dapat mengembalikan swing voter Jokowi dan PDIP sejauh ada konsolidasi internal yang jujur dan terarah di internal PDIP. Terlena soal ini, maka azab dan sengsara pun akan datang dari arah Prabowo, dimana Anies dan Ganjar terhempas pada putaran pertama, atau setidaknya hanya Anies yang terhempas, sedangkan Ganjar dan Prabowo memasuki putaran kedua Pilpres, dengan pertaruhan apakah PDIP dapat mengembalikan swing voter yang telah berkhianat itu gegara beberapa soal penting seperti kelambanan pencapresan Ganjar, kengototan terhadap istilah petugas partai, dan keengganan Jokowi untuk memberikan bantuan berupa pengembalian swing voter ke PDIP.
Bagaimana dengan Prabowo Soebianto? Yang terpenting bagi Prabowo sekarang adalah Siti Hedijati harus selalu berada di sampingnya begitu putaran pertama Pilpres dimulai pada awal tahun 2024. Ingat, Trump saja didampingi Melania Trump. Seiring dengan itu Prabowo kali ini harus jujur menegaskan dimana sejatinya para korban Tim Mawar yang belum pernah kembali sejak jatuhnya Orba kl 26 tahun lalu.
Joyogrand, Malang, Tue', June 27, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H