Selama 2 dasawarsa terakhir, pragmatisme politik ala Indonesia memang cair seperti itu, karena pijakan ideologis yang rapuh dalam kepartaian di negeri ini, dimana parpol-parpol dimaksud pada umumnya belum memiliki ideologi perjuangan sendiri. PDIP sejauh ini memang konsisten dengan nasionalisme, tapi terbukti plin plan dalam ideologi ekonomi yang seharusnya ekonomi kerakyatan dengan sistem koperasi.
Kerapuhan ini karena adanya sejumlah faktor, seperti pergeseran kepentingan politik, ambisi politik individu, tuntutan dari basis pemilih, dan situasi politik yang terus berubah. Masih banyak partai politik yang belum sepenuhnya mengkonsolidasikan ideologi perjuangan yang konsisten dan jelas, terbukti meloncatnya Fahri Hamzah dari PKS ke Partai Gelora, dan menyempalnya sejumlah orang dari Partai Demokrat dan mendirikan Partai Demokrat tandingan, dengan alasan Partai Demokrat Esbeye-AHY tak lagi sejalan dengan cita-cita partai.
PDIP bisa saja memiliki pijakan ideologis yang didasarkan pada nasionalisme dan sosial demokrasi. Namun, implementasi ideologi tsb kenyataannya bervariasi tergantung pada situasi dan kepentingan politik yang sedang dihadapi. Perubahan kebijakan ekonomi adalah salah satu contoh di mana partai-partai politik sering menyesuaikan pendekatan mereka untuk mencapai keberhasilan politik dan dukungan pemilih.
Ideologi ekonomi yang berpusat pada ekonomi kerakyatan dan sistem koperasi memang telah diusung oleh beberapa partai politik di Indonesia dalam berbagai kesempatan. Namun, implementasi kebijakan semacam ini pada kenyataannya sulit dilaksanakan, karena tantangan ekonomi, komitmen internasional, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebijakan ekonomi negara.
Dalam politik praktis, partai politik sering harus beradaptasi dengan tuntutan dan realitas politik yang ada. Pergeseran kebijakan dan penyesuaian ideologi tidak terjadi begitu saja, tetapi sebagai upaya untuk mencapai dukungan politik yang lebih luas atau menjaga stabilitas koalisi politik.Â
Meskipun terdapat ketidaksesuaian antara retorika dan tindakan, hal ini merupakan karakteristik politik di banyak negara, bahkan AS yang sering dikatakan sebagai kampiun demokrasi dunia. Kita lihat partai Demokrat di bawah Biden yang berkuasa sekarang di AS tetap saja terbuka pintunya untuk direcoki kalangan bisnis kelas kakap dari kalangan liberal bahkan super liberal sebangsa Elon Musk dkk.
Demikian pula halnya dengan Indonesia, tidak semua kekuatan politik memiliki kesamaan dalam pendekatan pragmatis mereka. Beberapa partai mungkin lebih konsisten dalam mempertahankan pijakan ideologis tertentu. Selain itu, persepsi mengenai konsistensi dan implementasi ideologi politik juga dapat berbeda-beda tergantung pada sudut pandang dan penilaian individu. Terbukti misalnya politik identitas yang memperhadapkan Jokowi Vs Prabowo dalam Pilpres 2019, termasuk politik identitas yang memperhadapkan Anies Vs Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta pada 2017.
Para "sijogal rukkung" atau si tukang bacot pantang tak hebat, mengutip istilah Batak, toh sudah mulai raib dari cakrawala politik kita. Jangan-jangan Anies dan Prabowo di masa itu hanya kebanjiran permintaan untuk berdemo sesuai style politik kita di masa itu. Kini tampilan keduanya jauh berbeda dibandingkan ketika mereka masih memakai politik identitas sebagai tool dalam berpolitik di masa lalu.
Politik Identitas Menghilang di Cakrawala Politik
Ada impresi kuat, teater politik kita sudah tidak lagi memanggungkan politik identitas yang artinya masyarakat sudah mulai cerdas memilah yang mana keyakinan pribadi dan yang mana keyakinan ideologis. Sedangkan ideologi terbuka sebagai pemersatu disini adalah Pancasila, di luar itu bukanlah ideologi tapi keyakinan pribadi ntah itu Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, hingga keyakinan asli nusantara, ntah itu Parmalim di tanah Batak, ntah itu Kejawen di Jawa dst.
Pergeseran ini dapat diperjelas melalui 3 capres sekarang, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Ganjar dan Prabowo, keduanya sudah banyak digembargemborkan sebagai capres yang nasionalistis. Sedangkan Anies boleh jadi nasionalistis juga, tapi karena dianalisis para buzzers politik selama ini sebagai sudah tertutup oleh politik identitas yang dilancarkannya kemarin dalam Pilgub DKI Jakarta, maka dalam pendekatan falsifikasi di atas, belum tentu Anies akan gugur dalam putaran pertama pilpres.