Pertama, Surabaya yang upah minimum kota/UMKnya adalah Rp 4.5 juta. Dengan harga secangkir Starbucks di Surabaya rata-rata Rp 50 ribu. Maka, dengan rumus (50.000/4.500.000) x 100% = 1.1%.
Untuk cangkruk minum segelas kopi di Starbucks, para pekerja yang mengandalkan UMK Surabaya harus merelakan lebih dari satu persen total gajinya dalam sebulan. Ini jelas muaahal.
Jika standar murah adalah 0.1 persen dari total pendapatan per bulan, idealnya secangkir kopi Starbucks di Surabaya adalah (0.1/100) x Rp4.500.000 = Rp 4.500. Dengan kata lain, harga secangkir Starbucks di Amerika akan sama murahnya dengan rata-rata pendapatan orang Surabaya jika dibandrol Rp 4500 saja. So, bagi orang Surabaya yang gajinya ngepas UMK, minum secangkir kopi Starbucks atau kopi kekinian lainnya yang harganya jauh di atas Rp 5 ribu tentu "nyeureut" alias mahal dan dipastikan pemborosan yang tak bisa dimaafkan.
Sementara Starbucks, bagi orang Amerika kurang-lebih sama nilainya dengan kopi sasetan warung pinggir jalan bagi orang Surabaya. Sedangkan di negeri ini, Â sekalipun si Budi memiliki Starbucks card Line, dan debit BCA yang memberikan diskon hingga 20-50 persen dari harga normal dan Starbucks terlihat telanjang menjadi separuh harga, yi Rp 25 ribu. Bagaimanapun dalilnya, itu tetaplah mahal jika gaji bulanan si Budi dkk adalah UMK Surabaya.
Bagaimana dengan Jakarta yang adalah simbol kemajuan dan kemapanan. Meski UMP Jakarta termasuk tinggi di Indonesia, yi sebesar Rp 4.9 juta per bulan. Tapi begitu dihitung apakah cukup layak digunakan cangkruk ngopi di Starbucks yang harga per cup-nya Rp 50 ribu. Kita test : (50.000/4.900.000) x 100% = 1 % atau setara satu persen UMP Jakarta.
Tetap konsisten dengan standar murah kopi Starbucks, yi 0.1 persen dari total pendapatan per bulan, idealnya harga Starbucks di Jakarta adalah (0.1/100) x 4.900.000 = Rp 4.900. So mereka yang bergaji UMP Jakarta, tempat ngopi yang sesuai kantong adalah "Starling" (Starbucks Keliling) atau kopi gerobak-an yang secangkirnya tak sampai Rp 6000.
Akhirnya Yogyakarta. UMP Yogya tahun 2023 adalah Rp 1,981 juta, dan untuk mudahnya dibulatkan saja menjadi Rp 2 juta per bulan biar mudah menghitungnya. Dengan harga Starbucks yang sama yaitu Rp 50 ribu. Maka begitu masuk persamaan (50.000/2.000.000) x 100% = 2.5%. Harga satu gelas kopi setara dengan 2.5 persen total pendapatan orang Jogja per bulan, alias mahal banget.
Gaji Rp 2 juta per bulan ala Yogya artinya dalam sehari ybs hanya mendapatkan upah Rp 66 ribu. Dengan Starbucks yang dipatok Rp 50 ribu per cangkir, boleh dikata segelas kopi Starbucks setara dengan gaji pekerja Yogya dalam satu hari. Dengan standar murah 0.1 persen dari total pendapatan per bulan, harga ideal minuman Starbucks di Yogya seharusnya (0.1/100) x 2.000.000 = Rp 2000 saja. Dengan nalar yang sama, harga makanan Rp 20 ribu sekali makan di Yogya sebenarnya sudah masuk kategori mahal sekali. Sebab, Rp 20 ribu itu setara dengan 1 persen pendapatan satu bulan ala Yogya. Makan kan harus 3 kali sehari, yi pagi, siang dan sore. Nah Rp 60 ribu per hari. Apa nggak langsung gosong tuh gaji satu bulan hanya untuk makan sorangan wae.
Ilustrasi mencengangkan itu diolah kembali dari pendapat Tiara Uci dalam https://tinyurl.com/2ofsk6wl. Itu didapatkannya melalui sebuah diskusi melingkar-lingkar di twitter yang melahirkan ratusan cuitan balas berbalas.
Starbucks memang bukan satu-satunya gerai kopi di negeri ini, tapi harus diakui Starbuckslah yang menginspirasi banyak lahir gerai-gerai serupa yang untuk mudahnya kita sebut sebagai gerai kopi kekinian.
Sayang gerai-gerai kopi kekinian itu seperti Fore, Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Excelso, Tanamera dll malah ikut-ikutan mahal seperti Starbucks. Kita tidak harus mengatakan bahwa gerai itu belum pantas, tapi yang kita soal disini adalah masalah mendasar kita, yi pendapatan rata-rata orang yang punya pendapatan resmi disini.