Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Tetap Bersikukuh dengan Gaya Lama, PDIP Bakal Kalah dalam Pilpres 2024

10 Mei 2023   16:30 Diperbarui: 10 Mei 2023   16:35 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
3 capres - Ganjar, Prabowo dan Anies - dalam Pilpres 2024 yad. Foto : news.detik.com

Tetap Bersikukuh dengan Gaya Lama, PDIP Bakal Kalah Dalam Pilpres 2024

Suhu politik di negeri ini semakin menghangat - bahkan beberapa saat lagi memanas - menuju Pilpres 2024. Kalau dalam istilah Eep Saefulloh Fatah, hanya katak yang tahan menuju 100 derajat celcius. Dia baru melompat keluar kuali panas ketika suhu mendekati 80 derajat celsius.

Benar atau tidak Eep tentang si katak lompat, dalam konteks Indonesia, dia adalah semacam "pasukan bodrex" parpol atau relawan-relawan pendukung capres dari parpol tertentu. Dibayar atau tidak mereka, itu urusan di belakang tirai, manalah kita tahu. Tapi setidaknya kalau masih mengepul rokok kretek di bibir mereka, masih mencuit mereka di medsos, masih cucun alias bersuara mereka di podcast-podcast tertentu. Itu pertanda "manado" atau masih ada doeit, karena roda organisasi si katak lompat atau relawan itu terbukti masih berputar.

Apakah di negara-negara demokrasi lainnya begitu, katakanlah bagaimana di AS yang konon adalah kampiun demokrasi di portibi atau dunia ini. Jawabannya iya. Tak ada kebulatan tekad disini sebagaimana di zaman Orba. Dalam Demokrasi yang ada hanyalah kepastian suara yang bakal di dulang. Ini semua bergantung pada figur capres itu sendiri, bagaimana cara sang figur maju dengan dukungan partainya, dan bagaimana ia mengelola katak-katak politik itu agar bisa menularkan virus pro kepada voter dan bukan anti kepadanya.

Itu baru satu sisi, sebab demokrasi itu pada prinsipnya satu macam saja, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Hanya kemasan yang berbeda-beda. Karakter AS misalnya, itu takkan sama dengan Indonesia, bahkan tetangga terdekat seperti Malaysia misalnya, itu belum tentu sama dengan kita. Itulah manusia dan kebudayaan yang menyungkupinya. Tapi bagaimanapun, itu adalah "percikan Ilahi" untuk sebuah perbedaan. Coba bayangkan ada kl 8 milyar manusia di muka bumi ini, tapi yakinlah dalam lautan manusia sebanyak itu pun takkan ada yang sama, bahkan sidik jarinya pun tak sama.

KTT Asean ke-42 di Labuan Bajo, Flores, NTT, sudah dimulai hari ini, Presiden Jokowi sudah memulai perbincangan dengan pemimpin-pemimpin Asean, termasuk anggota baru Timor Leste yang diwakili PM Taur Matan Ruak. Seharusnya Jokowi tanya PM Timor Leste, mengapa nama sewaktu masih bergerilya di "montanhas de pedras de cal" Timtim itu masih dipakainya, dan bukannya diganti dengan nama aslinya saja, agar enak didengar. Siapa tahu ada cahaya kebaikan tuk merespon pertanyaan itu, asal jangan diplesetkan "begitu saja koq repot".

Demikianlah perguliran waktu menuju Pilpres 2024 semakin dekat dan dekat, dan Presiden Joko Widodo yang sekarang memimpin Asean Summit akan segera lengser dari kekuasaan pada Oktober 2024 yad.

Dalam konteks inilah saya ingin sekali mengatakan bahwa dengan dicapreskannya Ganjar oleh PDIP, sudah saatnya Megawati dan PDIP yang terlena selama ini dalam ayunan harus Puan dan Puan jadi capres PDIP, segera berbenah diri. Semua jago lainnya yang diusung pun sedang banting stir untuk mengatur taktik dan strategi baru bagaimana agar katak-katak politik tak pernah beringsut membelanya, bahkan semakin majut jalan dan apabila perlu mati pun bersedia atas nama sang capres.

Well, kalau sampai mati, itu urusan Hamas, bukan urusan Indonesia. Soal mati-matian itu sudah tak ada lagi dalam kamus kita sejak Hambali dikubur beberapa waktu lalu atas nama kekerasan gila. Perkembangan yang terjadi sekarang semakin mengarah kepada kepastian koalisi antar partai seiring dengan pencapresan Ganjar yang dalam hal ini PDIP tak terlalu butuh partai lain. Cukup berjalan sendiri presidential threshold bagi PDIP sudah terpenuhi. Apa lagi. 

Capresnya yang electable pun sudah. Buktinya Puan yang tidak electable sudah tak perlu lagi diusung, hanya tinggal dibenahi bagaimana agar ke depan bisa dicapreskan lagi. Bukti lainnya ia tak mau Prabowo mendampingi Ganjar, sekalipun di atas kertas dan berbagai survey, keduanya akan memenangkan Pilpres 2024 cukup satu putaran.

Dalam hal Prabowo, sebetulnya Mega bisa membisiki Prabowo, agar dia yang semakin menua itu jadi Presiden dengan cawapres Ganjar cukup satu kali saja, yi pada Pilpres 2024, tetapi sebagai imbalannya Ganjar yang harus dicapreskan pada Pilpres 2034. Tapi pendekatan strategis ini malah ditepis, dan Ganjarlah, setelah Puan diaborsi, yang harus dan tidak boleh tidak untuk diusung sebagai Capres dalam Pilpres 2024. Terang Prabowo yang sudah berkali-kali majut jalan dalam Pilpres Indonesia, nggak mau kalau dibalikkan hanya jadi wacapres dalam Pilpres 2024.

Prabowo yang sempat saya kenal sepakterjangnya selama di Timtim takkan pernah mundur dari sebuah tekad, apalagi tekad yang sudah lama dikepalkan. Dan hebatnya Gerindra yang tadinya anak bawang dalam perpolitikan Indonesia, kini sudah jadi partai besar, yang boleh dikata selisih suaranya dibandingkan PDIP tak banyak-banyak amat. Ini tentu berbahaya dari segi pengamanan kemenangan Ganjar dalam Pilpres yad.

Perkembangan Gerindra menunjukkan kepada kita bahwa reformasi politik di negeri ini semakin baik. Politik identitas yang semula dijadikan alat oleh Gerindra, kini terlihat sudah menghilang. Fakta lain, begitu Fahri Hamzah hengkang dari PKS yang mirip-mirip kaum fundamentalis timur tengah itu, dalam babakan berikutnya kita lihat betapa Fahri dalam partai baru Gelora adalah seorang nasionalis yang konsisten dengan pendiriannya bahwa demokrasi adalah kebebasan terukur yang tak boleh diculasi satu sama lain. PKS jelas telah menculasinya. 

Bahkan AHY pun sudah mau mengikuti akal sehat dan tak mau ngawur seperti Esbeye ayahandanya bahwa terserah Anies siapa cawapres yang akan mendampinginya dalam Pilpres 2024.

Prabowo yang sudah sejak lama diusung Gerindra sudah ada koalisinya. Siapa cawapresnya nanti, itu strategi lain. Begitu juga dengan Anies yang akan segera memastikan siapa cawapres yang akan mendampinginya.

Kalaulah koalisi besar yang meliputi Golkar, Gerindra, PAN, PKB dan PPP kelak terbentuk dan ini sejak semula sudah direstui Jokowi, PDIP akan berantakan. Jokowi tidak mencampuri terbentuknya koalisi itu, tapi merestuinya. Itu 2 hal yang berbeda. Jokowi adalah abdi rakyat dan bukan petugas partai, meski term "petugas partai" itu kembali didengarnya saat Mega mencapreskan Ganjar Pranowo belum lama ini. 

Tapi ia tak bergeming dengan keyakinannya bahwa capres ideal ke depan ini tetaplah capres nasionalis yang didukung koalisi besar yang menomorsatukan kesatuan dan persatuan bangsa. Pengalaman perpecahan dan diakali pihak asing agar terpecahbelah sepertinya sudah cukup. Indonesia tidak mungkin setaraf SMP dari masa ke masa. Inilah saatnya Indonesia menuju level SMA, PT dan paripurna pada  2045 yad. Tak heran ia merestui cikal bakal koalisi besar itu.

Katakanlah koalisi besar itu beringsut beberapa waktu kemudian setelah Ganjar dicapreskan, tapi tidak mengurangi arti pendekatan Jokowi bahwa Prabowo dan Ganjar sangat pantas dicapreskan, terlepas dari abc masa lalu Prabowo yang kelam, mulai dipecat secara tidak hormat dari TNI karena dituding tidak mentaati perintah atasan, juga masalah perpisahan ranjangnya dengan sang isteri Siti Hediati Hariyadi, dan menggunakan kaum radikal sebagai katak-katak politik berbahaya dalam Pilpres 2019 lalu. 

Tapi yang pasti Prabowo adalah seorang nasionalis sejati. Kader seperti itu tak mesti dari PDIP yang selalu pongah mementang-mentangkan berakar dari PNI. Sekarang, ia bisa dari mana saja.

Itulah cara Jokowi mengingatkan PDIP agar segera berbenah diri. Lihat, yang mulai digerayangi katak-katak politik sekarang ini adalah term petugas partai. Apakah serendah itu kualifikasi untuk capres Indonesia versi PDIP bahwa dalam pencapresan harus selalu ada kalimat petugas partai. Meski itu khas PDIP, tapi sungguh tak elok, karena itu memang tak ada dalam ketatanegaraan kita. Kalau dipaksakan membabibuta, maka rakyat pemilih hanya akan melihat Ganjar sebagai capres yang hanya manut kepada ketum partai dan tidak kepada rakyat, sampai-sampai harus terjun ke jurang pun harus manut.

Megawati dan PDIP sebaiknya merangkul partai-partai lain dalam koalisi ntah koalisi apapun namanya nanti. Yang dirangkul tak mesti harus parpol yang lolos dari parliamentary threshold sebelumnya pada pemilu lalu, tapi partai-partai lain yang tak lolos pun bisa saja, ntah itu PSI, Partai Buruh, PBB, Hanura dll. Janganlah sombong dengan terus mementang-mentangkan sudah melampaui presidential threshold. So kami berdikari. Publik luas sangat tidak menyukai itu sekarang.

Rangkulan untuk berkoalisi seperti itu sah-sah saja dalam sistem politik kita dan sangat melegakan rakyat. Toh PDIP bukan partai pemenang mutlak dalam pemilu lalu. Ingat, demokrasi kita bukanlah demokrasi parlementer, melainkan Demokrasi Pancasila. Tak ada oposisi dalam sistem kita, yang ada hanyalah perkawanan, persaudaraan dan kontrol kekuasaan eksekutif oleh parlemen sesuai visi partai yang sejalan dengan keinginan rakyat dan bukan visi pribadi atau kelompok. Kita sekarang sudah sampai di titik itu.

Juga jangan paksakan harus Puan jadi cawapresnya Ganjar. Jangan. Ini sangat berbahaya. Kita lihat betapa Demokrat sudah ditinggalkan kader-kader lamanya yang berbobot, karena terlalu memaksakan harus AHY dan AHY. Itu politik dinasti, sungguh tidak popular dan semakin dijauhi rakyat sekarang ini.

Akhirnya lihatlah katak-katak politik atau relawan Ganjar yang bejibun itu. Mereka sepertinya resah dengan kekukuhan PDIP terhadap tradisi lama PDIP yang tak lagi elok di mata rakyat. Opo kui petugas partai. Opo kui Puan. Opo kui kader manutan, dan masih banyak opo kui opo kui lainnya. Coba, kalau suhu politik di internal PDIP terlalu panas, katak-katak ini akan mencelat berhamburan ke segala arah. Ini tentu berbahaya bagi pengamanan pemenangan Ganjar dalam Pilpres 2024.

So, berubahlah wahai Mega dan kaum manutan PDIP sebelum nasi menjadi bubur atau tidak samasekali dan rela kembali menjadi cebong seperti semula. Poor Ganjar. Hayyo ..

Joyogrand, Malang, Wed', May 10, 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun