Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Tetaplah Tempat Ideal Mengadu Nasib bagi Anak Bangsa

6 Mei 2023   12:21 Diperbarui: 6 Mei 2023   12:26 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendatang dibatasi ke Jakarta. Foto : www.behance.net

Jakarta Tetaplah Tempat Ideal Mengadu Nasib Bagi Anak Bangsa

Jakarta pada awal 1970-an disebut sineas Wim Umboh sebagai kampung besar, kini sudah berubah menjadi kota megapolitan yang berpenduduk di atas 5 juta orang. Persisnya jumlah penduduk Jakarta sekarang adalah 11,2 juta jiwa (world population review, maret 2023).

Chrisye dalam lagunya yang melegenda, yi "Anak Jalanan" yang dirilis pada 1978 - ditahbiskan sebagai lagu terbaik Indonesia - telah menyadarkan kita bagaimana implikasi perkembangan Jakarta saat itu. Meski masih berstatus kota metropolitan dengan penduduk di bawah 5 juta, kita sungguh terkejut karena pergeseran nilai di kalangan anak muda ketika itu cukup dahsyat. Mereka menjadi anak jalanan kota metropolitan Jakarta sebagai korban ritual zaman di mana ortunya adalah budak kesibukan yang tak pernah ingat keluarga di rumahnya masing-masing.

Bisa saja Jakarta bukan lagi ibukota RI tmt akhir 2024 yad, tapi perkembangan Jakarta ditarik dari zaman Wim Umboh awal 1970-an, zaman Chrisye akhir 1970-an, hingga di masa now, takkan memutuskannya berkembang menjadi kota dunia seperti Tokyo yang menurut Databoks sekarang berpenduduk 37,3 juta dan New York menurut zippboxx sekarang berpenduduk 20,2 juta. Pendeknya Jakarta akan terus berpacu menjadi kota dunia dengan segala infrastruktur pendukung yang diperlukan di dalamnya.

Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono belum lama ini menyoroti peningkatan angka perpindahan penduduk berpenghasilan rendah ke ibukota, dimana ia mengungkapkan keprihatinannya bahwa kondisi itu dapat membebani APBD DKI Jakarta. Tapi keprihatinan itu harus dibedakan dengan kenyataan mengapa Jakarta tetap sebagai tempat ideal bagi anak bangsa untuk mengadu nasib dan/atau peruntungannya disini. Yang perlu disadari adalah "slum area" atau kantong-kantong miskin di Jakarta pastilah akan terus bertambah sejauh para pendatang dibiarkan begitu saja diseleksi alam.

Keluhan Heru justeru menjadi tak wajar kalau dilihat kota megapolitan Jakarta masih jauh dari sepadat Tokyo atau New York. Jakarta masih sangat lebar bagi siapapun anak bangsa yang akan mengadu nasib disini. Dengan kata lain diperlukan kreatifitas khusus untuk kota megapolitan ini agar dapat menampung para pendatang baru. Kalau asal berbenah tanpa mengantisipasi Jakarta suatu ketika akan berpenduduk di atas 20 juta sebagaimana Tokyo dan New York, maka yang terjadi adalah keamburadulan dan keluhan tiada henti. Jakarta tidak bisa dibenahi dengan pokrol politis, Jakarta hanya bisa dibenahi dengan terapi teknis semata.

Leverage effect atau efek dongkrak urbanisasi yang mengkhusus mengapa harus ke Jakarta adalah kemiskinan di daerah asal. Kebanyakan anak bangsa ini miskin di daerah asalnya bukan karena kekurangan sda. Mereka miskin karena sejak Orba pembangunan yang dilakukan bersifat sentralistik. Semuanya terkonsentrasi di Jakarta dan pulau Jawa. Tak heran pembangunan infrastruktur fisik dan pengembangan sda dan sdm di daerah berjalan seperti siput dengan berbagai apologi mengapa begitu, sehingga tidak mendukung perekonomian rakyat.

Teringat seorang kolega di Pangaribuan, Toba, Sumatera utara, yang mengatakan berapapun tenaga dan waktu yang kita hamburkan disini, tetap saja sia-sia karena hasil agro kita ntah itu jeruk, nenas unggul, bahkan kopi nyaris tak ada harganya. Kalau kita bawa sampai ke kota Medan, bahkan separuh jalan sampai Siantar saja, betapa mahalnya beaya transportasi untuk itu ,karena buruknya perhubungan darat. Mau berapa komoditas itu harus kami jual disana, dan itupun belum tentu laku, demikian pendapatnya.

Kalaupun pemda setempat dituntut harus menyiapkan semacam bengkel kerja bagi para calon migran. Ibarat kata pengantar sebuah buku, itu saja sudah kekurangan motivasi, sebab APBD setempat murni dari perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana si miskin dibantu si kaya yang berPAD baik dan ber-sda melimpah, dan bantuan stimulans dari pemerintah pusat. Tak heran bengkel kerja dimaksud hanya sekadar balai pelatihan tenaga kerja ala kadarnya yang tak banyak prodinya. Hanya itulah kemampuan pemda setempat. "Small is beautiful" pernah digaungkan, kalau hanya ada batu mulailah dari batu itu digarap kreatif agar menjadi duit, katanya. Ya ampun, ini juga tak beresonansi. Menggalikembangkan PAD? Boro-boro. Retribusi apa yang mau ditarik dari warga kota Tarutung misalnya, apalagilah di kecamatan, karena sikon yang tak kondusif sebagaimana telah disinggung di muka.

Tidaklah mengherankan kalau kaum marginal asal pedalaman Toba ini datang secara bergelombang ke Jakarta. Demikian juga gelombang migran dari daerah-daerah lannya seperti Sulawesi, Maluku, Kalimantan dll, bahkan yang terdekat migran dari pulau Madura pun datang bergelombang ke Jakarta.

Segelintir dari migran ini ada yang berhasil memang, tapi kebanyakan ambyar. Yang nekad dari yang ambyar ini ya jadi preman, ada preman asal Medan, Ambon. Surabaya dll. Tumbang Orba, preman berikut adalah dari pulau Timor dan sekitarnya. Tumbang Hercules dari pulau Timor, muncul Hercules serupa dari daerah lainnya. Ini adalah "viscious cirle" yang takkan pernah berujung, selama Pemprop DKI Jakarta tak berusaha mengakhirinya secara teknis, bukan secara politis lo. Kalau yang politis malah akan hadir lagi preman baru berbaju FPI baru.

Jakarta tidak hanya melahirkan anak jalanan seperti yang disenandungkan Chrisye, tapi dalam perkembangan berikutnya juga melahirkan generasi nekad demi dan atas nama bertahan hidup di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Bagi yang tak nekad, mereka membanjiri pelosok manapun di Jakarta dengan kerja serabutan seperti pedagang kuliner emperan, pedagang pasar tradisional, dan sebagiannya lagi sekedar numpang kerja untuk sekedar berkeakhlian seperti jadi tukang las, tukang batu, kuli-kuli bangunan dll. Mungkin yang tak berkeakhlian disini adalah para pemulung, Tapi toh bandarnya harus berkeakhlian, bagaimana memelihara jaringan, bagaimana memasarkan beragam barang rongsokan itu dan bagaimana mengatur keuangan agar tidak lebih besar pasak daripada tiangnya. Sebagian lagi memang ada yang sukses, dan generasi penerusnya pun dapat hidup sehat dan menempuh pendidikan secara normal. Fenomena orang Toba dan Ambon tak lagi mendominasi kepremanan di Jakarta adalah pertanda bahwa generasi penerus mereka sudah berkembang dengan baik. Meski demikian, ini tetap saja hasil seleksi alam, dan bukan upaya bagaimana mengatasi para pendatang sejak awal.

Mengapa Jakarta tetap menarik. Di samping cerita yang telah melegenda bahwa anak singkong bisa menjadi anak keju, dan Mangara Siahaan asal Toba berhasil menjadi bintang tenar dan aktivis politik di Jakarta, Yorrys Raweyai berhasil jadi politisi sukses, John Kei bisa jadi kaya begitu dari kepremanannya dll, juga dari kenyataan yang dilihat bahwa perputaran uang sangat besar di Jakarta, dan sejak lama Jakarta telah menjadi pusat industri nasional.

Bagaimana kesiapan para pendatang untuk ke Jakarta, tak ada rumusan yang pasti untuk itu, Berpulang kepada Pemprop DKI bagaimana agar dapat meningkatkan perjalanan dinas para aparatnya ke daerah-daerah yang dipandang sebagai sumber pendatang baru, seperti sekarang ini angka migran tertinggi justeru dari Jabar, Jateng, Banten dan Jawa timur, sementara pendatang dari Toba dll semakin berkurang - lih https://www.kompas.id/baca/utama/2019/06/11/kapasitas-jakarta-terbatas-pendatang-baru-perlu-dibatasi

Mereka harus dapat meyakinkan mitra daerahnya agar bahu-membahu dengan Pemprop DKI Jakarta dalam menangani arus urbanisasi yang membanjiri Jakarta. Kalau sudah ada kata sepakat apa dan bagaimana caranya, tentu langkah selanjutnya adalah berkordinasi optimal dengan pemerintah pusat, bisa soal stimulans dana buat daerah terkait ketenagakerjaan, bisa tentang pembenahan Jakarta lebih baik lagi, agar para pendatang tetap bisa memasuki Jakarta yang telah dicarikan solusinya khususnya solusi di seantero slum area, penciptaan lapangan kerja buat angkatan kerja baru setiap tahunnya dan bagaimana membuat DAS Ciliwung tidak lagi menjadi hunian liar yang akan terus bermasalah sejauh tertimpa hujan, dst.

Terimakasih kepada Presiden Jokowi yang telah menggolkan hampir seluruh infrastruktur perhubungan darat di pulau Jawa, menyusul sekarang di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Yang diperlukan menyusul dibangunnya IKN di Kaltim adalah dekonsentrasi pembangunan. Jangan hanya dalam ketentuan perundangan saja ada penyebutan otonomi seluas-luasnya, tapi secara teknis juga harus dilembagakan pusat-pusat pembangunan baru menurut kewilayahan nusantara. Pusat pembangunan di Sumatera seperti Sumut misalnya yang sekarang mulai menggeliat setelah infrastruktur kepariwisataan Toba dan sekitarnya dilengkapi. Untuk industri non-pariwisata ntah itu bikin ban, bikin material bangunan sipil, peralatan rumahtangga, otomotif dll, itu bisa dipusatkan di Deli Serdang dst. Untuk Aceh, dimana apakah pusat dimaksud ditetapkan di Kutacane atau dimana, begitu juga dengan Sumbar, Sumsel, Lampung dst.

Berpulang kepada pemerintah, pusat maupun daerah, bagaimana agar di samping dapat menyediakan BLK modern di daerah yang banyak prodinya, juga yang terpenting adalah mensosialisasikan secara intensif dan ekstensif bagaimana agar angkatan kerja setempat dapat mengasah dirinya menjadi sdm yang berguna kalau memang tak tertahankan harus ke Jakarta atas permintaan keluarga, atas pertimbangan mencari pengalaman dan ketrampilan baru sesuai kebutuhan zaman dst dst.

Intinya, mereka harus sadar betul, kalau bermigrasi ke Jakarta mau jadi pengusaha kuliner misalnya, tentu harus punya keakhlian standar, minimal tau bikin nasi goreng yang sehat dan tahu bikin lapak jualan yang menarik dan hygienis; yang mau pertukangan, silakan bekerja menambal genteng-genteng bocor, tapi akhli dan bukan hanya sekadar menambal tapi bocor lagi bocor lagi, Itu namanya kriminal pengganggu ketentraman masyarakat; mau jadi pedagang sayur, silakan, tapi harus tau betul mana sayur yang gampang busuk, mana yang tidak, dan bagaimana agar sayur-mayur itu dapat diputar habis seharian atau dua harian, sehingga pasokan baru berikutnya adalah dagangan yang segar dan hygienis; mau jadi tukang kue basah, silakan adu kreatif sejauh singkong bisa mereka ubah sebaik-baiknya menjadi getuk modern yang bisa bertahan 3 hari misalnya, atau pisang goreng yang nggak lagi benyek, karena mereka sudah berkeakhlian membuatnya dengan adonan tepung terigu yang benar dan tahu pisang kepok jenis apa yang cocok jadi pisang goreng dst; yang hanya bermodal suara, silakan jadi pengamen yang profesional, minimal bisa menyanyikan lagu Koes Ploes dengan benar, bukannya memaksa-maksa orang kasi duit, tapi lagu yang digelundungkan malah merusak telinga kita, dan itu pun tak pernah finish dinyanyikan, sebab begitu uang diasongkan, mereka langsung berkelebat begitu saja setelah keluar basa-basi semoga Tuhan menambah rezeki anda. He He ..

Jadi kalau ada koor yang menandaskan bahwa sekarang ini para migran harus dibatasi kedatangannya ke Jakarta. Itu benar sejauh kalimatnya diubah menjadi diseleksi, tapi bukan melihat IPKnya bahwa yang diterima di Jakarta harus punya nilai matematik yang tinggi. Ini mindset lama yang menyesatkan, sebab semua orang pada dasarnya punya bakat terpendam, sekalipun hanya bikin pisang goreng misalnya, tapi how kalau memang piawai disitu. Singkatnya tak ada kamus mengharamkan Jakarta bagi para pendatang ntah dari manapun dia, sebab Jakarta adalah milik semua anak bangsa di negeri ini. Yang perlu bagi kita sekarang adalah membenahi kordinasi lintas daerah untuk memberikan solusi yang tepat sebagaimana telah disinggung di muka.

Khusus bagi Pemprop DKI Jakarta, bagaimana agar celah yang terbuka masih sangat lebar untuk para pendatang itu secara bertahap tapi pasti segera digarap, ntah itu pengembangan slum area yang ada, dan kemungkinan perluasan wilayah Jakarta sesuai peraturan perundangan dalam konteks kerjasama antar daerah, sebagaimana kota Malang yang telah beberapa kali diperluas wilayahnya.

Untuk sementara ini, biarlah si kaya bermukim di PIK yang sudah kepalang menghasilkan beberapa area reklamasi ntah itu PIK 1, PIK 2 dst. Tapi cukup sampai disitu, sebab "giant sea wall" yang terentang mulai dari Bekasi hingga Tangerang memagari Teluk Jakarta ke depan ini tetaplah harus dibangun berapapun harganya, sebab secara teknis hanya itu final solution yang dapat menyelamatkan Jakarta dari kemungkinan tenggelam karena salah urus selama ini. Selebihnya adalah merelokasi warga di DAS Ciliwung semakin ke pinggiran Jakarta yang memang sudah saatnya harus diperluas.

Joyogrand, Malang, Sat', May 06, 2023.

Ilustrasi aturan bertahan hidup bagi para pendatang di Jakarta. Foto ; mayuuunaise, twitter.com
Ilustrasi aturan bertahan hidup bagi para pendatang di Jakarta. Foto ; mayuuunaise, twitter.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun