Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Tetaplah Tempat Ideal Mengadu Nasib bagi Anak Bangsa

6 Mei 2023   12:21 Diperbarui: 6 Mei 2023   12:26 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendatang dibatasi ke Jakarta. Foto : www.behance.net

Segelintir dari migran ini ada yang berhasil memang, tapi kebanyakan ambyar. Yang nekad dari yang ambyar ini ya jadi preman, ada preman asal Medan, Ambon. Surabaya dll. Tumbang Orba, preman berikut adalah dari pulau Timor dan sekitarnya. Tumbang Hercules dari pulau Timor, muncul Hercules serupa dari daerah lainnya. Ini adalah "viscious cirle" yang takkan pernah berujung, selama Pemprop DKI Jakarta tak berusaha mengakhirinya secara teknis, bukan secara politis lo. Kalau yang politis malah akan hadir lagi preman baru berbaju FPI baru.

Jakarta tidak hanya melahirkan anak jalanan seperti yang disenandungkan Chrisye, tapi dalam perkembangan berikutnya juga melahirkan generasi nekad demi dan atas nama bertahan hidup di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Bagi yang tak nekad, mereka membanjiri pelosok manapun di Jakarta dengan kerja serabutan seperti pedagang kuliner emperan, pedagang pasar tradisional, dan sebagiannya lagi sekedar numpang kerja untuk sekedar berkeakhlian seperti jadi tukang las, tukang batu, kuli-kuli bangunan dll. Mungkin yang tak berkeakhlian disini adalah para pemulung, Tapi toh bandarnya harus berkeakhlian, bagaimana memelihara jaringan, bagaimana memasarkan beragam barang rongsokan itu dan bagaimana mengatur keuangan agar tidak lebih besar pasak daripada tiangnya. Sebagian lagi memang ada yang sukses, dan generasi penerusnya pun dapat hidup sehat dan menempuh pendidikan secara normal. Fenomena orang Toba dan Ambon tak lagi mendominasi kepremanan di Jakarta adalah pertanda bahwa generasi penerus mereka sudah berkembang dengan baik. Meski demikian, ini tetap saja hasil seleksi alam, dan bukan upaya bagaimana mengatasi para pendatang sejak awal.

Mengapa Jakarta tetap menarik. Di samping cerita yang telah melegenda bahwa anak singkong bisa menjadi anak keju, dan Mangara Siahaan asal Toba berhasil menjadi bintang tenar dan aktivis politik di Jakarta, Yorrys Raweyai berhasil jadi politisi sukses, John Kei bisa jadi kaya begitu dari kepremanannya dll, juga dari kenyataan yang dilihat bahwa perputaran uang sangat besar di Jakarta, dan sejak lama Jakarta telah menjadi pusat industri nasional.

Bagaimana kesiapan para pendatang untuk ke Jakarta, tak ada rumusan yang pasti untuk itu, Berpulang kepada Pemprop DKI bagaimana agar dapat meningkatkan perjalanan dinas para aparatnya ke daerah-daerah yang dipandang sebagai sumber pendatang baru, seperti sekarang ini angka migran tertinggi justeru dari Jabar, Jateng, Banten dan Jawa timur, sementara pendatang dari Toba dll semakin berkurang - lih https://www.kompas.id/baca/utama/2019/06/11/kapasitas-jakarta-terbatas-pendatang-baru-perlu-dibatasi

Mereka harus dapat meyakinkan mitra daerahnya agar bahu-membahu dengan Pemprop DKI Jakarta dalam menangani arus urbanisasi yang membanjiri Jakarta. Kalau sudah ada kata sepakat apa dan bagaimana caranya, tentu langkah selanjutnya adalah berkordinasi optimal dengan pemerintah pusat, bisa soal stimulans dana buat daerah terkait ketenagakerjaan, bisa tentang pembenahan Jakarta lebih baik lagi, agar para pendatang tetap bisa memasuki Jakarta yang telah dicarikan solusinya khususnya solusi di seantero slum area, penciptaan lapangan kerja buat angkatan kerja baru setiap tahunnya dan bagaimana membuat DAS Ciliwung tidak lagi menjadi hunian liar yang akan terus bermasalah sejauh tertimpa hujan, dst.

Terimakasih kepada Presiden Jokowi yang telah menggolkan hampir seluruh infrastruktur perhubungan darat di pulau Jawa, menyusul sekarang di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Yang diperlukan menyusul dibangunnya IKN di Kaltim adalah dekonsentrasi pembangunan. Jangan hanya dalam ketentuan perundangan saja ada penyebutan otonomi seluas-luasnya, tapi secara teknis juga harus dilembagakan pusat-pusat pembangunan baru menurut kewilayahan nusantara. Pusat pembangunan di Sumatera seperti Sumut misalnya yang sekarang mulai menggeliat setelah infrastruktur kepariwisataan Toba dan sekitarnya dilengkapi. Untuk industri non-pariwisata ntah itu bikin ban, bikin material bangunan sipil, peralatan rumahtangga, otomotif dll, itu bisa dipusatkan di Deli Serdang dst. Untuk Aceh, dimana apakah pusat dimaksud ditetapkan di Kutacane atau dimana, begitu juga dengan Sumbar, Sumsel, Lampung dst.

Berpulang kepada pemerintah, pusat maupun daerah, bagaimana agar di samping dapat menyediakan BLK modern di daerah yang banyak prodinya, juga yang terpenting adalah mensosialisasikan secara intensif dan ekstensif bagaimana agar angkatan kerja setempat dapat mengasah dirinya menjadi sdm yang berguna kalau memang tak tertahankan harus ke Jakarta atas permintaan keluarga, atas pertimbangan mencari pengalaman dan ketrampilan baru sesuai kebutuhan zaman dst dst.

Intinya, mereka harus sadar betul, kalau bermigrasi ke Jakarta mau jadi pengusaha kuliner misalnya, tentu harus punya keakhlian standar, minimal tau bikin nasi goreng yang sehat dan tahu bikin lapak jualan yang menarik dan hygienis; yang mau pertukangan, silakan bekerja menambal genteng-genteng bocor, tapi akhli dan bukan hanya sekadar menambal tapi bocor lagi bocor lagi, Itu namanya kriminal pengganggu ketentraman masyarakat; mau jadi pedagang sayur, silakan, tapi harus tau betul mana sayur yang gampang busuk, mana yang tidak, dan bagaimana agar sayur-mayur itu dapat diputar habis seharian atau dua harian, sehingga pasokan baru berikutnya adalah dagangan yang segar dan hygienis; mau jadi tukang kue basah, silakan adu kreatif sejauh singkong bisa mereka ubah sebaik-baiknya menjadi getuk modern yang bisa bertahan 3 hari misalnya, atau pisang goreng yang nggak lagi benyek, karena mereka sudah berkeakhlian membuatnya dengan adonan tepung terigu yang benar dan tahu pisang kepok jenis apa yang cocok jadi pisang goreng dst; yang hanya bermodal suara, silakan jadi pengamen yang profesional, minimal bisa menyanyikan lagu Koes Ploes dengan benar, bukannya memaksa-maksa orang kasi duit, tapi lagu yang digelundungkan malah merusak telinga kita, dan itu pun tak pernah finish dinyanyikan, sebab begitu uang diasongkan, mereka langsung berkelebat begitu saja setelah keluar basa-basi semoga Tuhan menambah rezeki anda. He He ..

Jadi kalau ada koor yang menandaskan bahwa sekarang ini para migran harus dibatasi kedatangannya ke Jakarta. Itu benar sejauh kalimatnya diubah menjadi diseleksi, tapi bukan melihat IPKnya bahwa yang diterima di Jakarta harus punya nilai matematik yang tinggi. Ini mindset lama yang menyesatkan, sebab semua orang pada dasarnya punya bakat terpendam, sekalipun hanya bikin pisang goreng misalnya, tapi how kalau memang piawai disitu. Singkatnya tak ada kamus mengharamkan Jakarta bagi para pendatang ntah dari manapun dia, sebab Jakarta adalah milik semua anak bangsa di negeri ini. Yang perlu bagi kita sekarang adalah membenahi kordinasi lintas daerah untuk memberikan solusi yang tepat sebagaimana telah disinggung di muka.

Khusus bagi Pemprop DKI Jakarta, bagaimana agar celah yang terbuka masih sangat lebar untuk para pendatang itu secara bertahap tapi pasti segera digarap, ntah itu pengembangan slum area yang ada, dan kemungkinan perluasan wilayah Jakarta sesuai peraturan perundangan dalam konteks kerjasama antar daerah, sebagaimana kota Malang yang telah beberapa kali diperluas wilayahnya.

Untuk sementara ini, biarlah si kaya bermukim di PIK yang sudah kepalang menghasilkan beberapa area reklamasi ntah itu PIK 1, PIK 2 dst. Tapi cukup sampai disitu, sebab "giant sea wall" yang terentang mulai dari Bekasi hingga Tangerang memagari Teluk Jakarta ke depan ini tetaplah harus dibangun berapapun harganya, sebab secara teknis hanya itu final solution yang dapat menyelamatkan Jakarta dari kemungkinan tenggelam karena salah urus selama ini. Selebihnya adalah merelokasi warga di DAS Ciliwung semakin ke pinggiran Jakarta yang memang sudah saatnya harus diperluas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun