Juga yang tak lepas dari catatan kita adalah strategi PDIP bagaimana agar nama besar Bung Karno selaku Proklamator Bangsa step by step dapat pulih kembali  sebagaimana seharusnya.Â
Kita tak ingin seperti AS selama 1 dasawarsa terakhir ini misalnya yang menyepelekan arti dan makna perang saudara antara Utara Vs Selatan, antara politisi utara Vs selatan, antara Jenderal Lee (selatan) Vs Jenderal Grant (utara). Maka robohlah semua patung konfederasi, termasuk catatan-catatan penting yang menjadi kausalitas perang saudara tsb.Â
AS sekarang adalah ASnya utara yang anti perbudakan. Ini adalah sebuah langkah gegabah untuk menafikan sejarah hanya karena exercise of power yang semakin bersifat pribadi, kelompok dan terlalu mengada-ada antara Demokrat Vs Republik. Itulah sebabnya Jasmerah atau jangan lupakan sejarah adalah strategi jangka panjang yang strategis bagi PDIP.
PDIP di bawah Megawati, meski tak pernah mengakuinya, sejauh ini fokus pada upaya untuk mencapreskan Puan Maharani. Ini semua dalam rangka menjamin agar PDIP terus meniti tangga nasionalisme Indonesia yang menghormati segala keragaman yang ada di dalamnya sebagaimana ajaran Bung Karno.Â
Juga yang terpenting bagaimana agar upaya destigmatisasi Soekarno ke depannya akan semakin moncer, khususnya penulisan sejarah yang benar tentang Bung Karno sebagaimana telah dirintis oleh Asvi Warman Adam maupun Taufik Abdullah dari LIPI. Jokowi sudah memulainya meski baru sebagian kecil saja.Â
Agenda destigmatisasi yang tersisa masih cukup banyak, seperti "rahasia supersemar", dan "kudeta merangkak ABRI" ketika itu yang didorong-dorong oleh AS via operasi intelijen CIA.Â
Semuanya itu tak lepas dari perang dingin antara timur vs barat yang banyak melahirkan perang kotor di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia.
Sayang seribu kali sayang, Puan Maharani yang digadang-gadang capres itu ternyata tak berkenan di hati rakyat, bukan karena faktor gender, melainkan oleh faktor penentu yang sangat penting, yi kepemimpinan Puan sendiri. Kemampuan seorang Puan ternyata dinilai buruk oleh publik.Â
Tak heran elektabilitasnya tak kunjung terangkat. Meski di internal PDIP beroleh dukungan dari Kubu Kolonel (pro Puan), tapi yang bikin ragu Mega dan publik luas negeri ini adalah munculnya Kubu Kopral (Pro Ganjar) sebagai antitesis Kubu Kolonel.
Dalam kegamangan bodoh seperti ini, ada yang memprediksi Ganjar akan ditarik kubu lain dalam koalisi-koalisian ala Indonesia, seperti Nasdem misalnya yang pernah menawarkan kursi Capres kepadanya, tapi karena gayung tak bersambut, Nasdem kemudian memastikan Anieslah calonnya.
Masih dalam timeline politik PDIP, test lain dilakukan. Ini juga strategi PDIP, yi Jokowi dalam beberapa kesempatan mengendorse Prabowo sebagai Capres 2024. Dalam manuver ini Jokowi seakan mengunggulkan Prabowo, padahal itu hanyalah test on the water.Â