Musik dan Ritual Kore Metan di Timor Leste Item Terbaru Kepariwisataan Asean
Jose Manuel Ramos Horta dalam perjalanan pertamanya ke Jakarta sejak dikukuhkan menjadi Presiden Timor Leste tahun lalu, telah memperoleh dukungan penuh dari Indonesia, dan Jokowi sendiri yang memastikan Timor Leste menjadi bagian dari Asean. Keanggotaan penuh ini sudah lama diperjuangkan sejak 2005, dan akhirnya memperoleh pengakuan dari semua negara anggota pada KTT Bangkok Nopember tahun lalu.
Sekalipun baru, status Timor Leste masihlah pengamat, tapi telah diperbolehkan untuk mengikuti KTT Asean Labuan Bajo dan kegiatan-kegiatan Asean lainnya. Negara muda ini masih perlu pembinaan lebih jauh dari saudara-saudara tuanya di Asean.
Pelajaran yang termudah bagi Timor Leste untuk membantu menggolkan Asean sebagai episentrum pertumbuhan di AsPac khususnya, dan dunia umumnya, adalah sektor kepariwisataan. Asean sudah tahu, Timor Leste sangat berpotensi di sektor yang satu ini, khususnya alam. Obyek wisata budaya pun demikian, hanya perlu digalipoleskembangkan lebih jauh.
Sekarang ini yang perlu dibenahi setelah Areia Branca atau Pantai Pasir Putih di Meti Aut Dili timur, adalah menyegarkan kembali akses ke legacy Indonesia yi Patung Kristus Raja di Bukit Meti Aut yang juga berada di kawasan itu. Botol-botol Agua jangan lagi bertebaran di lereng-lereng aksesi menuju Patung Kristus Raja. Dan sudah saatnya dilakukan penghijauan dengan tanaman tropis yang cocok disitu, atau tanaman lokal yang ke depannya bisa jadi tanaman kanopi seperti Eucalyptus Alba.
Di samping obyek wisata alam dan sejarah, Timor Leste pun tak boleh lalai menggalipoleskembangkan obyek wisata budaya, ntah itu ritual leluhur, seni tari, seni musik dll.
Upacara Kore Metan
Salah satu tradisi yang tak pelak lagi berakar kuat pada kebudayaan Timor Leste ialah upacara Kore Metan. Ritus ini tak sama dengan musik Kore Metan yang sering dilantunkan di acara-acara resmi. Hanya penamaannya saja yang sama.
Kore Metan terdiri dari 2 kata, yakni Kore yang berarti melepaskan atau pelepasan, sedang Metan berarti Hitam. Dengan demikian upacara Kore Metan dapat dibatasi sebagai peristiwa pelepasan kain hitam yang dipakai oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai tanda usainya masa berkabung atas meninggalnya seorang anggota keluarga atau famila dalam bahasa Tetum (Linguafranca di Timtim selain bahasa Indonesia dan Porto yang masih tersendat-sendat hingga sekarang).
Upacara Kore Metan ini berasal dari kepercayaan Animisme pada religi rakyat Timtim yang sudah terbilang tua usianya. Dalam kepercayaan itu ada anggapan apabila seseorang meninggal, arwahnya akan tetap tinggal di antara keluarga. Untuk melepas arwah tsb diadakanlah upacara pelepasan kain hitam yang kini lebih dikenal dengan nama ritual Kore Metan.
Masa berkabung dalam keluarga biasanya paling lama 1 tahun. Tapi ada kalanya tidak penuh 1 tahun. Pendeknya tergantung pada hubungan keluarga. Apabila Ayah atau Ibu kandung yang meninggal, masa berkabungnya bisa sampai 1 tahun; kakak kandung 3 bulan; paman 6 bulan dan kakek-nenek 1 tahun.
Dalam upacara pelepasan arwah, selalu diadakan pesta secara besar-besaran dengan mengikutsertakan seluruh famila dan handaitaulan. Kemeriahan pesta ini tercermin dari banyaknya ternak potong yang harus dibantai untuk perhelatan pesta.
Acara pelepasan kain hitam itu sendiri dipimpin oleh semacam pendeta yang mengucapkan doa-doa untuk mengantar almarhum berpindah ke alam baka. Dalam bahasa Tetum upacara ini disebut Mutu Mate atau Toli Mate dan menurut tradisi jadul disertai oleh peletakan nasi dan daging (babi, kerbau, kambing, sapi dll) di atas makam almarhum sebagai santapannya, karena saat kepergiannya nanti almarhum tidak membawa barang apapun.
Tradisi meletakkan nasi dan daging ini berubah setelah masuknya agama Katholik yang dibawa oleh para misionaris yang menganjurkan agar kebiasaan itu diganti dengan cara menaburkan bunga di atas makam, menyalakan lilin dan pengucapan doa oleh pemimpin upacara berdasarkan ajaran agama Katholik.
Sedangkan pemakaian kain hitam biasanya berupa lilitan sepotong kain hitam di dada atau memakai pakaian berwarna hitam, baik untuk pria maupun perempuan. Yang menarik, konon penggunaan pita hitam pada lengan baju adalah pengaruh kebudayaan Porto dan China yang hingga kini masih berlaku.
Meski ada sejumlah hasil penelitian mahasiswa-mahasiswa asal Timor Leste yang belajar di Indonesia mengatakan agar acara ini disarankan jangan dilaksanakan terlalu berlebihan, misalnya ternak yang harus dipotong jangan berlebihan dan acara dansa-dansi di puncak acara pelepasan pita hitam sebagai tanda masa perkabungan usai seyogyanya dibatasi, tetapi bagaimanapun sugesti itu, pemerintah dan stake holdernya tetap harus hati-hati dalam melakukan transformasi disini, karena bagaimanapun ritual Kore Metan selaku obyek wisata budaya sudah lama ada dan dalam konteks kepariwisataan Asean, tentu harus dipoles, tanpa merusak substansinya, agar tetap atraktif bagi para pelancong dari luar.
Kore Metan sebagai Musik Tradisi
Musik Kore Metan yang semula terasa asing, kini sudah tidak lagi, karena ada padanannya yi musik daerah dari Indonesia timur dan tengah, termasuk musik keroncong.
Mengenang TVRI dulu dalam acara Negeriku Tercinta Nusantara, ketika giliran Timtim ditayangkan, kita akan mendengar gesekan biola dengan iringan Orkes Kore Metan dan bersamaan dengan itu penyiar mencoba mengulas tentang pembangunan yang tengah giat-giatnya dilaksanakan di Timtim. Itulah semacam latihan rasa bagi publik luas sebelum mengukuhkannya sebagai salah satu asset budaya Indonesia.
Anacleto Mendoca, kelahiran Mei 1952, telah memainkan musik Kore Metan sejak tahun 1982 dan di masa Indonesia dia adalah pemimpin Orkes Kore Metan Sang Surya. Dalam my diary dia mengatakan musik Kore Metan sesungguhnya tak asing bagi Indonesia, sebab musik tsb banyak dipengaruhi oleh musik rakyat dari Indonesia timur, tengah, termasuk musik keroncong.
Dari tanpa nama menjadi bernama
Sebelum dikenal sebagai musik Kore Metan, musik ini ibarat tanpa nama. Dalam buku "Kumpulan Naskah Tari Wekeke, Tari Ular, Tari Perang dan Kore Metan, Depdikbud Timtim, 1985", yang disusun oleh Fransisco do Nascimento, Joao Nunes de Carvalho, Jose Antonio da Costa dan Henrique Magno de Carvalho, dijelaskan pada akhir tahun 1800 dan menjelang tahun 1900 orkes tradisional Timtim yang menggunakan biola, gitar, ukulele, mandolin dan gendang atau perkusi sudah ada di Timtim sebagai masukan dari Eropa dan daerah-daerah Hindia Belanda di sekitar NTT dan Maluku sekarang.
Pada tahun 1950 mulai masuk alat-alat musik modern ke Timtim seperti piringan hitam, tape recorder dll, sehingga orkes-orkes tradisional yang semula mendapat tempat di hati masyarakat mulai tergeser kedudukannya, terlebih di kalangan pegawai dan orang yang berada. Kemudian pada tahun 1960 mulai bermunculan band-band dengan peralatan elektronik yang semakin mendesak orkes tradisional. Musik tradisional praktis hanya dipergelarkan pada acara Kore Metan di kalangan wong cilik.
Sebagaimana disinggung dimuka, salah satu upacara Kore Metan adalah ritual pelepasan kain hitam yang dipakai oleh seseorang atau sekelompok orang setelah sekian lama berkabung atas kematian salah seorang sanak saudara. Puncak dari acara ini adalah acara gembira berupa pesta dansa dengan iringan musik. Ini pertanda bahwa masa berkabung usai sudah dan sekarang mari kita bergembira ria.
Dasawarsa 1960-an itulah konon awal dari lahirnya nama musik Kore Metan, yakni istilah yang dioperalih dari nama ritual nenek moyang. Hal ini bukan berarti musik tsb hanya dimainkan pada acara Kore Metan saja. Nama Kore Metan dioperalih terutama karena dilatarbelakangi oleh adanya itikad agar musik tradisional Timtim itu lestari sepanjang masa seiring dengan lestarinya ritual Kore Metan yang unik dan khas Timtim itu.
Gaya musik
Henrique Magno de Carvalho, pejabat Dikbud Timtim semasa Indonesia, mengatakan musik Kore Metan itu tidak didominasi oleh gaya musik tertentu seperti musik fado (musik rakyat Porto), valsa, tango, samba ataupun keroncong. Namun pada acara-acara khusus seperti pesta perkawinan atau pertunangan, irama valsa sangat menonjol, karena memang irama seperti itu dapat menciptakan suasana romantis.
Henrique tampaknya sependapat dengan Anacleto bahwa musik Kore Metan ini dipengaruhi oleh musik rakyat dari Indonesia timur, tengah, khususnya NTT dan Maluku (Ambon). Uniknya, lanjut Henrique, pada zaman Porto tatkala masyarakat Timtim belum mengenal dengan baik bahasa Indonesia, para musisi Kore Metan telah akrab dengan lagu yang berjudul "Air Laut". Syair lagu tsb, termasuk siapa penciptanya, sampai sekarang tidak diketahui. Pendeknya lagu tsb hanya diketahui judulnya saja dan dimainkan secara instrumentalia. Anacleto, pemimpin dan violis orkes Kore Metan Sang Surya yang mengaku sering diundang mengisi acara resmi  di kediaman Gubernur Timtim ketika itu menambahkan lagu Air Laut kemungkinan besar berasal dari Ambon dan diperkenalkan ke Timtim oleh pelaut-pelaut Makasar.
Musik Kore Metan ini pada mulanya sederhana sekali permainan accord-nya, ujar Henrique. Musik ini hanya memiliki tiga jurus ampuh yang bertumpu pada accord major saja. Misalnya kalau kita bermain di kunci C, maka accord lanjutan tinggal digeser ke kunci F dan G. Selain itu alat-alat musik yang digunakan pun akustik semuanya. Sekarang di samping telah menggunakan alat-alat musik elektronik, juga permainan accord-nya sudah bervariasi, misalnya accord minor sudah mulai banyak digunakan. Penyanyi pun tidak lagi bergantung pada 1 orang, melainkan telah berkembang menjadi 2-3 penyanyi, demikian Henrique.
Alat musik yang menonjol dalam musik tradisional Timtim ini adalah biola. Anacleto sendiri cukup kreatif. Dalam beberapa penampilannya bersama orkes Kore Metan Sang Surya ia telah mencoba alat musik yang bernama "markas", berupa botol atau kaleng minuman berisi batu kerikil barang 5-10 buah. Juga ia mencoba alat kreatif lainnya berupa "lempeng besi" dengan stick pemukul. Kedua alat musik ini hanya sekadar variasi saja, ujar Anacleto tersenyum.
Perkembangan Musik Kore Metan sekarang
Dewasa ini musik Kore Metan semakin terdesak oleh musik pop dan rock, termasuk dengan pop daerah yang rajanya ketika itu adalah Toni Pereira. Pendeknya pada acara-acara pesta di kota seperti Dili, orang sudah jarang mengundang orkes Kore Metan, kecuali di daerah pedalaman. Namun dalam acara-acara resmi musik ini selalu tampil.
Kendati demikian, setiap tahun diselenggarakan perlombaan musik Kore Metan, khususnya pada hari-hari besar seperti HUT Integrasi, HUT RI dst, sekarang pada HUT Kemerdekaan Timor Leste.
Semakin surutnya musik Kore Metan dapat ditelusuri di toko-toko kaset di bilangan pertokoan Colmera Dili. Alcino Yap, pemilik Toko Kablaki, satu-satunya toko yang menjual kaset Kore Metan di kota Dili, mengatakan antara tahun 1983-1984 Atika Record Dili pernah merekam 6 album Kore Metan dengan jumlah produksi sebanyak 10.000 kaset. Ini baru terjual habis dua tahun kemudian. Rekaman terakhir dilakukan pada tahun 1988 meliputi 4 album, dua di antaranya ialah album "Lisan Avo Nian" dengan penyanyi Pedro Vas dan Ros S, kemudian album Walu Be Mai dengan penyanyi Luis F.R.D. Almeida. Ternyata pasaran semakin sepi, karena terdesak oleh lagu-lagu pop daerah. Sejak itu banyak toko yang tidak lagi menjual kaset Kore Metan, kecuali toko Kablaki, ujar Alcino.
Selanjutnya Chinese Timor kelahiran Aileu ini yang mulai bermukim di Dili sejak 1966 menandaskan terlalu riskan baginya untuk melanjutkan bisnis kaset Kore Metan, terlebih sejak Abril Pequinino musisi Kore Metan yang laris itu meninggal dunia pada 1991. Di samping beaya produksi mahal, yakni untuk album, master rekaman, hak cipta dan honorarium musisi, juga masa penjualannya relatif lama. Ini semua telah dialami Alcino dengan Atika Record tahun 1983-1984. Hasil rekaman terakhir tahun 1988 masih tersisa sebanyak 2.000 kaset dengan harga jual Rp  3.000-3.500 untuk 1 buah kaset. Kalau musik Kore Metan direkam di Surabaya seperti yang dilakukan Toni Pereira dkk untuk lagu-lagu pop daerah dengan harga jual 1 buah kaset Rp 4.000-4.500, kita orang pasti akan mengalami kesulitan untuk memasarkannya, ujar Alcino.
Itulah catatan yang dapat saya kembangkan dari my diary dan pengamatan sekarang ini. Mensiasati perekaman yang tak ada untungnya bagi pengusaha, sebaiknya pelestarian musik ini dilakukan dengan memoles dan mempersuasi para musisinya agar rajin bermain di setiap acara pelepasan kain hitam yang riang gembira. Tentu alat musik Biola, Ukulele, dan gendang atau tebe-tebe atau perkusi khas Timor Leste tetap menjadi yang utama dengan tambahan alat elektronik modern sekarang, sehingga audiensnya bisa dikembangkan lagi, termasuk audiensnya di Dili tidak lagi menampiknya karena lebih memilih musik Achmad Dhani misalnya.
Harap mafhum generasi yang lahir di masa awal Indonesia adalah generasi milenial sekarang yang sudah banyak berkiblat ke dunia lain yang serba heboh dari barat sana. Tapi jangan salah orang barat yang heboh itu saat menjadi turis dimana pun akan sangat menghargai  setiap upaya pelestarian seni dan budaya yang manapun.
Coba test lagu Abril Pequinino yang riang tapi romantis. Kalau nggak salah lagu Kore Metan yang satu ini berjudul "Valsa de Manatuto". Pasti asyik dan bisa diperkeren lagi tentu. Mari berdansa disitu usai pelepasan pita hitam di salah satu keluarga salah satu sahabat kita di kota Dili.
Joyogrand, Malang, Mon', Apr' 17, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H