Barulah pada era sekarang saat media TV sudah semakin dijauhi apalagi media radio dan persuratkabaran cetak, para influencer yang berselancar di dunia maya menjadi incaran. Itulah yang melahirkan influencer marketing sekarang ini, nggak di dunia politik, nggak di dunia perbusanaan, apalagilah di dunia perkulineran.
So kalau influencer tetaplah influencer tanpa harus melihat patronase masyarakat luas yang mengidolakannya atau tidak, maka influencer semacam ini tentu harus beranggapan bahwa mempromosikan sebuah makanan di dunia medsos adalah ajang latihannya sehingga kelak mencapai rating tertinggi sebagai patron masyarakat dalam perkulineran. Jadi soal dia dilayani si pedagang atau tidak. Itu urusan lain, bahkan kalaupun ia hanya dibayar dengan hanya sekadar exposure thoq. Ya, jangan sampai sakit hatilah.
Mengapa urusan exposure ini digemakan Kompasiana. Itu memang perlu agar para perespon bisa menegaskan bahwa influencer di dunia medos kita itu ada yang berbayar bagus karena tingkat pengaruhnya terhadap publik luas adalah wajar karena keterkenalannya sebagai figur di kalangan publik luas.
Hanya di masa transisi panjang dalam proses perubahan sosial sekarang, keterkenalan seorang secara sosiologis tetaplah bergantung bagaimana kekayaan dia. Kalau secara material wah, atau secara jabatan juga wah, atau secara bintang hiburan juga wah. Itulah dia influencer versi Indonesia.Â
Sebaliknya semakin minim kekayaan materialnya, maka dia bukanlah influencer yang harus didengar, sekalipun ybs pandai dalam tulis-menulis, pandai mandok hata atau bertutur dalam videografi maupun fotografi dst. Suka atau tidak suka itulah masyarakat kita yang sedang bertransisi panjang untuk bisa mengidolakan mereka yang benar-benar profesional, entah di bidang tulis-menulis, videografi, fotografi dan bertutur tentang sebuah brand yang harus dipasarkan.
Sekarang berpulang kepada para pedagang kuliner kelas medium, medium bawah, strata rendah dan terendah. Merekalah yang harus benar-benar memahami apakah mereka sendiri yang harus menjadi influencer, atau menggunakan inluencer lain. Tapi bagaimanapun tetaplah konsisten bahwa pembrandingan sebuah brand itu tak lepas dari keakhlian dalam menarasikannya, termasuk membuat video dan gambar yang terbaik untuk membrandingnya, sebab untuk urusan yang satu itu tak mungkinlah kita menggunakan patronase dari seorang Luhut Binsar Panjaitan, atau katakanlah Jokowi misalnya.
Soal si Influencer hanya dibayar dengan exposure, pada tahapan membesarkan diri sebagai Influencer okelah, karena menjadi influencer untuk mempengaruhi publik luas dalam rangka pembrandingan sebuah produk, itu butuh ketelitian dari kedua belah pihak ya pedagang, ya si bakal calon influencer.
Joyogrand, Malang, Tue', Apr' 11, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H