Contoh, seorang anak kecil merengek pada Mamanya pengen diulangtahunin di McDee. Yang melekat di benak sang bocil disini adalah gambar McDee itu sendiri yang didominasi warna kuning dan merah. Pendeknya gambar atau patung Om Bebek ini sudah terkunci habis di benaknya dan sangat menggemaskan baginya. Itulah positioning pemain papan atas yang sudah mengglobal.
Bagaimana dengan brand dalam negeri. Ini pun sudah bagus. Katakanlah untuk perbusanaan sudah lama ada nama Harry Dharsono, dan sekarang ini ada Merdi Sihombing dan Anne Avantie. Mereka sudah bukan lagi kreator semata di bidang busana, tapi sudah termasuk influencer papan atas di negeri ini.Â
Harry Dharsono misalnya adalah pencetus adibusana di Indonesia, dan Anne Avantie adalah pemain adibusana papan atas penerus Dharsono, khususnya busana pengantin yang wah, sedangkan Merdi terkenal karena motif tenun ikat nusantaranya dalam sentuhan modern.
Sedangkan pemain medium, medium bawah dan strata rendah dan terendah dari dunia bisnis ini belum memiliki influencer yang pasti. Sementara bisnis di strata inilah yang memerlukan influencer untuk hari depan bisnisnya.
Mengkhusus pada dunia perkulineran. Pertanyaannya sekarang bukan soal si influencer harus dilayani habis oleh dunia perkulineran yang berhasil dijajakannya melalui pengaruhnya di medsos. Bukan. Tapi apakah ada understanding dan kerjasama untuk itu. Untuk perkulineran kelas medium dan medium bawah. Itu sudah pasti.Â
Entah tertulis ataupun tidak, dan ini tentu tak lepas dari durasi atau berapa lama dagangan itu akan ditayangkan, karena disini akan dihitung juga tenaga profesional seperti writer, videografer dan fotografer yang dibutuhkan. Sedangkan pesona si influencer itu soal lain, syukur-syukur kalau ia sekaligus akhli dalam tulis-menulis, termasuk akhli dalam fotografi dan videografi.
Sejauh ini saya melihat dunia perkulineran hanya dijajakan secara terbatas di facebook. Jarang ada influencer papan atas yang menjajakannya disini. Kebanyakan hanya dijajakan melalui akun si pedagang itu sendiri. Kalaupun ada videografi di facebook. Itu ditarik dari Youtube oleh pemedsos yang ingin tahu cara menjadi barista perkopian misalnya, atau seorang pemedsos yang ingin tahu cara menjahit yang benar. Â
Tapi ini pun jarang terjadi. Mereka kebanyakan nyebur langsung ke dunia Youtube saja. Apa saja yang menarik perhatian mereka disana. Itulah yang mereka tonton.Â
Sebaliknya di Instagram. Cukup lumayan influencer yang mencantolkan brand tertentu untuk dibranding ke followernya. Lain halnya dengan Youtuber yang memang pandai membuat videografi soal food and beverages. Mereka cukup banyak yang mempostingnya di medsos khusus video ini tanpa harus kulonuwun kepada si pemilik brand. Kalau banyak pengunjung, pihak google akan mendigitalisasinya menjadi uang. Itulah yang terjadi pada Atta Halilintar dkk.
Medan pembrandingan memang ruwet. Apa mau dikata, dunia bisnis zaman now memang bising dengan periklanan, karena semua beradu untuk menjadi terdepan. Tahun 1970-an pembrandingan mudah saja. Melalui media TV , bahkan radio, sudah terjadi pemasaran sebuah brand entah brand apapun itu. Yang penting ada cukup money untuk membayarnya. Dan pembayarannya, itu bergantung berapa lama penayangannya, sebulan, dua bulan, atau bagaimana, juga berapa lama durasi iklan yang ditayangkan. Di zaman jadul seperti itupun pemasaran sebuah brand sudah menjadi kebisingan sendiri. Semuanya beradu di layar kaca, yang pada akhirnya membuat kita menjadi muak saking bisingnya.