Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

PBB dan Perlunya Badan Supra Nasional yang Baru

6 April 2023   17:03 Diperbarui: 11 April 2023   09:45 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PBB. (sumber: Alexandros Michailidis/Shutterstock.com via kompas.com) 

Tantangan terkini bagi dunia adalah semakin melempemnya lembaga supra nasional jadul seperti PBB, WHO, Mahkamah Internasional dll. Setelah krisis iklim dan pandemi Covid-19, menyusul kini krisis Ukraina yang tak kunjung terselesaikan oleh lembaga supra nasional tsb.

Sementara nation state yang terbesar sekalipun seperti AS sudah mulai megap-megap menghadapi krisis Ukraina dan pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir hingga sekarang.

Dulu, mungkin Samuel Huntington benar dalam "Clash of Civilizations" ketika memproyeksikan benturan peradaban Barat vs peradaban Islam. 

Lihat peristiwa 9/11 yang telah mendorong Barat menginvasi Afghanistan, menghantam Irak, ISIS, dan setelah 20 tahun lebih sedikit baru angkat kaki sepenuhnya dari bumi Afghanistan. Itupun setelah terkena batu merasa tatanan jadul dan ekstrim di Afghanistan tak terhapus olehnya.

Francis Fukuyama pun mendekati benar dalam "The End of History" (1989) bahwa dengan naiknya demokrasi liberal barat yang terjadi setelah perang dingin (1945-1991) dan bubarnya Uni Soviet (1991), kemanusiaan telah mencapai bukan hanya berlalunya periode tertentu dari sejarah pasca perang.

Tetapi akhir dari sejarah itu sendiri yang disebutnya sebagai titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk akhir dari pemerintahan manusia di muka bumi.

Lihatlah dunia kini yang berdemokrasi dengan aneka ragam busana demokrasi dan masing-masing bergradasi dalam penjiwaan demokrasi.

Fukuyama mengacu pada filosofi dan ideologi Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan Karl Marx, yang mendefinisikan sejarah manusia sebagai perkembangan linier dari satu zaman sosial ekonomi ke zaman lainnya.

Masalahnya sekarang di samping interdependensi antar negara sangat kuat, yang mengkhawatirkan perkembangan welfare state selaku cita-cita demokrasi ternyata sulit berjalan serempak dengan proses demokratisasi justeru karena faktor nation state itu sendiri.

Pemerintah di seluruh dunia, terutama negara-negara demokrasi, menghadapi krisis ganda efikasi atau kedayagunaan dan legitimasi. 

Mereka terkesan semakin tidak mampu memecahkan masalah besar di planet biru ini seperti perubahan iklim, pandemi Covid-19, menyusul kini krisis Ukraina yang menjadi medan laga besar Rusia Vs Ukraina di mandala Eropa sekarang.

Apakah krisis Ukraina sekarang bisa diprediksi kapan berakhirnya. Krisis ini sudah berjalan satu tahun lebih dan tak kunjung selesai karena beradunya kepentingan dunia Barat dan Rusia. 

Rusia bersikukuh mengembalikan Ukraina ke pangkuannya. Sementara Barat bersikukuh ingin Ukraina terlepas sepenuhnya dari Rusia.

PBB sejauh ini tak mampu mengatasi krisis tsb. Bahkan lucunya, Mahkamah Internasional belum lama ini mengeluarkan Surat Keputusan Penangkapan Vladimir Putin yang dituding penjahat perang dalam krisis Eropa sekarang. Apakah keputusan ini independen atau rekayasa AS. Sulit ditebak, dan orang hanya bisa tersenyum geli.

Mahkamah Internasional sebagai salah satu lembaga supra nasional ujung-ujungnya terbukti tak punya legitimasi yang kuat untuk melakukan penangkapan Putin, kecuali Washington barangkali yang dalam tempo dekat ini akan menangkap mantan Presiden Trump atas tudingan penyuapan dalam Pilpres AS yang lalu. Hayyoo ..

Penyelesaian krisis Ukraina tentu membutuhkan kerjasama internasional yang lebih luas lagi, bukan hanya menyorong senjata sebanyak-banyaknya. Juga harus menyadari bahwa lembaga supra nasional jadul seperti PBB justeru tertekan oleh nation state.

Nation state bagaimanapun memiliki monopoli atas penggunaan kekuatan pemaksa yang sah untuk penegakan hukum, menjaga ketertiban dalam negeri dan membela negara dari musuh eksternal. 

Kalaupun AS dan Nato-nya seakan polisi dunia tak lama setelah Soviet bubar. Itu koboi ngawur asal main tembak namanya. Lalu dimana PBB, apa hanya kuda tunggangan saja.

Dalam format tak terlalu besar, lihat krisis pengungsi Rohingya di Asia tenggara beberapa waktu lalu. Secara teori, Asean adalah komunitas yang dapat mendikte aturan bersama di negara-negara Asia tenggara. 

Tetapi di saat salah satu negara anggota yang kuat, ataupun negara yang relatif tidak kuat, melihat kepentingannya dirugikan keputusan ASEAN selaku badan supra nasional terkait pengungsi tsb.

Mereka bisa saja berkata persetanlah, koq hanya kami saja yang menampungnya, sedangkan mereka berkelit. Dipastikan tidak ada yang bisa dilakukan Asean untuk nation state yang mengabaikan perintahnya.

Kekuasaan itu tetaplah di negara bangsa. Sejauh ini belum terlihat bagaimana cara mengatur penggunaan kekuatan pemaksa dapat didelegasikan ke atas ke badan supra nasional. 

Tak heran badan supra nasional jadul tsb tidak berkemampuan untuk mengembangkan kekuatan polisi dan kapasitas penegakan hukumnya sendiri, dan jika Asean dan UE tidak dapat melakukannya, maka demikian pula halnya persekutuan serupa lainnya.

Negara bangsa adalah legitimasi budaya. Negara bangsa tetap menjadi unit politik terbesar yang juga bisa menjadi unit budaya, artinya orang-orang percaya mereka memiliki seperangkat nilai, tradisi, atau narasi sejarah yang sama.

Ilustrasi dunia perlu Badan Supra Nasional yang baru untuk menghadapi tantangan global ke depan. Foto: globalpi.org
Ilustrasi dunia perlu Badan Supra Nasional yang baru untuk menghadapi tantangan global ke depan. Foto: globalpi.org

 Pentingnya narasi bersama ini tidak akan berkurang. Jikapun berkurang karena satu dan lain hal, narasi itu hanya berkurang sedikit tenaganya, sedangkan nasionalisme kembali meningkat. 

Negara itu ada karena orang-orang memiliki rasa identitas mendasar yang membuat warga negara percaya mereka semua adalah bagian dari unit politik yang sama.

Singkatnya kebutuhan politik untuk memiliki institusi yang berkembang yang dapat mengendalikan kekuatan pemaksa dan kebutuhan budaya bagi masyarakat untuk percaya pada institusi kontrol tsb masih berada di tingkat negara bangsa.

Ketika kita ingin mengatasi masalah planet ini seperti krisis Ukraina sekarang, pertama-tama kita harus membuat unit-unit pelaksana di setiap negara bangsa agar bekerjasama, ketimbang mendelegasikan kekuatan koersif atau pemaksa tsb ke badan supra nasional dimaksud.

Dalam The End of History-nya Fukuyama yang sering disandingkan dengan The Clash of Civilization-nya Huntington sebagai teks klasik yang dicoba untuk mengantisipasi berbagai tantangan yang kemungkinan akan dihadapi dalam hubungan internasional pasca perang dingin.

Keduanya haruslah dibaca bersamaan dengan "The Coming Anarchy (1994)" karya Robert Kaplan dan "The Coming Plague (1994)" karya Larie Garrett.

Baik Kaplan maupun Garrett tidak secara langsung terlibat dengan argumen Fukuyama dan Huntington, tetapi keduanya melukiskan gambaran yang sangat berbeda dan sangat profetik tentang tantangan yang akan dihadapi dunia di luar negara bangsa. 

Garrett berpendapat bahwa mengendalikan penyakit yang kemudian jadi pandemi akan berada di luar ruang lingkup dan kapasitas negara bangsa.

Sedangkan Kaplan berargumen bagian-bagian dunia tidak akan memiliki negara yang efektif sama sekali, dengan menyebarnya kekacauan dan anarki ke tempat-tempat yang disebut beradab.

Sampai batas tertentu keduanya memang menjadi kenyataan. Hidup di tengah pandemi, sebagaimana argumen Garrett adalah nyata, dan ada banyak tantangan serupa lainnya yang akan segera terjadi, termasuk perubahan iklim.

Argumen Kaplan meski terbukti benar, tetapi terbatas. Kaplan terlalu pesimis tentang kapasitas negara untuk merestrukturisasi berbagai hal dan menerapkan kembali ketertiban.

Yang tidak diantisipasi oleh kedua penulis itu, termasuk Fukuyama, adalah adanya penurunan umum otoritas dan kepercayaan pada lembaga-lembaga secara keseluruhan. Ini sedikit mengejutkan, karena ada banyak dukungan empiris untuk itu. Sejak tahun 1960-an kepercayaan pada pemerintah telah menurun dimana-mana.

Hal itu sebenarnya mencerminkan perkembangan positif, bandingkan misalnya dengan sikon 1970-an, dimana dunia lebih banyak dihunjam ketidakpercayaan terhadap institusi pada saat warganya memiliki tingkat pendidikan dan kekayaan yang jauh lebih tinggi. 

Kedua fakta itu terhubung, katakanlah ada petani yang tidak berpendidikan, maka petani itu akan mempercayai tuan tanahnya atau otoritas apapun yang datang dan memberitahunya apa yang harus dilakukan. 

Tetapi jika pendidikannya lebih tinggi, maka ybs akan semakin kritis, ybs akan belajar tidak hanya menghormati otoritas yang mengenakan seragam di hadapannya. Jadi sampai batas tertentu, penurunan kepercayaan pada institusi mencerminkan fakta bahwa orang lebih kritis secara individual.

Ini juga mencerminkan keragaman dunia yang lebih besar. Lembaga-lembaga terpercaya yang dulunya dijalankan oleh sekelompok lelaki bule di hampir setiap negara maju. 

Semua lelaki ini bersekolah di sekolah yang sama, gathering di club-club snob yang sama dan mereka berlari di lingkaran sosial yang sama. 

Sebaliknya, zaman now nation state memiliki kepemimpinan yang jauh lebih beragam, dimana lingkaran kekuasaan sosial yang tertutup di masa lalu telah dipatahkan di banyak negara. Akibatnya individu-individu yang ada di dalamnya tidak memiliki tingkat kepercayaan yang sama untuk para elit seperti dulu.

 Seiring dengan itu informasi yang tersedia sangatlah banyak. Jelas telah terjadi penataan ulang otoritas yang kacau dalam hirarki berbeda yang digunakan untuk mendefinisikan apa yang dianggap sebagai informasi yang kredibel.

Orang suka menyalahkan medsos untuk situasi ini, tetapi analist politik Martin Gurri misalnya berpendapat bahwa itu benar-benar ekologi media modern sekarang seperti internet, media elektronik, TV, Film dst. 

Segala sesuatu yang diketahui tentang dunia sekarang dimediasi oleh semacam layar. Karenanya kita semakin tidak memiliki hubungan langsung dengan kenyataan. 

Alih-alih, semuanya dimediasi, dan semua mediasi itu menggunakan filter dan distorsi. Bagi banyak orang, dunia yang dimediasi ini telah menciptakan rasa realitas yang sangat terdistorsi. Ini tentu saja merusak kemampuan untuk berbagi informasi dalam narasi umum.

 Desain negara bangsa sejauh ini telah mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi dan mengembangkan negara kesejahteraan. 

Dapat dipastikan keputusan independen yang dapat didelegasikan kepada badan yang lebih tinggi pastilah yang terbaik untuk menghadapi jenis tantangan yang dihadapi kehidupan kolektif di masa yad. Tantangan now dan lebih jauh ke depan tidak lagi seukuran negara bangsa. Lembaga tinggi dunialah yang harus menanganinya.

 Bagaimana melegitimasi badan supra nasional semacam itu sebagai masalah politik praktis, yang membuat negara bangsa rela melepaskan jenis-jenis kekuasaan yang diperlukan untuk membuat badan tsb.

 Tiga tantangan utama yang ada sekarang, yi perubahan iklim, pandemi Covid-19 dan konflik berdarah-darah Rusia Vs Ukraina di mandala Eropa sekarang. 

Dengan protokol Kyoto tahun 1997, banyak negara berdaulat menyetujui pengurangan emisi rumah kaca yang mengikat, tetapi AS tidak bergabung, dan China tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan. 

Dalam perjanjian Paris, yang terjadi adalah kebalikannya, dimana semua negara masuk kedalam perjanjan, tetapi komitmen sepenuhnya adalah sukarela. 

Jadi situasi yang dihadapi sekarang, dimana negara secara tidak sukarela melakukan pengurangan emisi yang cukup, dan banyak yang bahkan tidak mencapai komitmennya.

 Dinamika serupa terjadi dengan pandemi Covid-19. WHO secara efektif harus mengabaikan kemampuannya untuk mengritik kebijakan atau praktek China dalam rangka meneliti asal-usul Covid-19.

 Pada puncaknya krisis Ukraina sekarang, sudah banyak kepala negara asing yang mencoba menengahinya, DK PBB pun sudah berkalikali bersidang. Tak satu pun yang bisa mengatasinya. 

Yang terjadi adu kepentingan antara si besar malah semakin menjadi, sebagaimana boikot AS dan Barat terhadap perekonomian Rusia. Rusia yang semakin memperkuat BRICS dan semakin memperkuat duetnya dengan China.

Dengan ketiga tantangan tsb, ada ketegangan mendasar dimana unit penentu yi negara bangsa tampaknya menjadi penghalang ketimbang bagian dari solusi.

Jikapun badan supra nasional yang baru pengganti PBB yang sudah kelewat jadul dan kelewat banyak vested interest disitu dapat ditegakberdirikan katakanlah pasca krisis Ukraina, selama negara bangsa mengendalikan sarana kekuatan pemaksa yang paling utama, bagaimana kekuatan supra nasional yang serba baru itu akan memaksakan kehendaknya, ketika ia tidak memiliki kekuatan independen sendiri.

Point kuncinya disini adalah psikologi penguasa politik, dimana mereka lebih suka menyerahkan kendali kepada orang lain ketimbang dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak dapat mereka kendalikan.

Sulit dibayangkan entitas supra nasional yang baru itu akan diberi otoritas oleh para pemimpin politik. Satu hal yang bisa berubah adalah persepsi masyarakat tentang urgensi dari sejumlah ancaman.

Masalah perubahan iklim, bagaimanapun secara politis itu adalah jenis ancaman yang salah. Mengurangi ancaman membutuhkan banyak uang muka. Seringkali malah tidak dirasakan manfaatnya. 

Itu hanya dirasakan oleh seseorang di yurisdiksi lain atau oleh seorang yang belum memilih dan belum aktif alarmnya. Ada sedikit insentif untuk bergerak ke arah itu.

Yang perlu dilakukan adalah memikirkan skenario dimana seorang politisi bersedia mendelegasikan kekuasaan kepada orang lain. Seberapa buruk hal-hal yang harus terjadi sebelum seorang politisi bersedia menyerahkan kendali atas otoritas anggaran mereka, atau hal-hal lain yang membuat para pemimpin politik berpikir bahwa mereka bertanggungjawab untuk itu. 

Bagaimanapun sulitnya, tatanan baru dunia ke depan ini khususnya pasca krisis Ukraina, dunia sangat berkepentingan untuk menegakberdirikan badan supra nasional yang baru pengganti PBB.

 Soal mengapa negara bangsa dapat bertahan lama adalah karena warga dunia memiliki waktu 300 tahun untuk memikirkan bagaimana membangun institusi pada tingkat itu. 

Mereka mempunyai banyak pengalaman untuk memikirkan "check and balances", tentang sistem parlementer vs presidensial dsb. 

Ilustrasi orang-orang linglung dalam krisis global sekarang. Foto: democracyandbelongingforum.org
Ilustrasi orang-orang linglung dalam krisis global sekarang. Foto: democracyandbelongingforum.org

Sementara untuk badan supra nasional, warga dunia belum pernah melakukan eksperimen semacam itu atau mengumpulkan pengetahuan terkait badan supra nasional, kecuali pengalaman punya PBB, WHO, Mahkamah Internasional dan sebangsanya yang tak sejalan dengan kepentingan dunia, kecuali kepentingan segelintir negara pemegang hak veto saja.

Kekhawatiran yang muncul ketika menyoal bagaimana menciptakan institusi supra nasional yang serius dan kuat, adalah pertanyaan tentang check and balances. 

Bagaimana kita memastikan kekuatan baru apapun yang diberikan, itu akan digunakan secara eksklusif untuk memecahkan masalah planet biru ini dan tidak disalahgunakan untuk melakukan hal-hal lain sebagaimana pengalaman PBB selama ini.

Sejarah panjang lembaga politik hanyalah mesin akumulasi kekuasaan dan tidak benar-benar fokus pada penggunaan kekuasaaan untuk tujuan yang konstruktif. Tantangan paralelnya adalah memikirkan strategi politik untuk mencapainya. Ini setara dengan menulis konstitusi.

Dalam trilogy Mars karya Robinson, para pemain menjalani seluruh latihan menciptakan konstitusi planet untuk Mars yang secara kasar didasarkan pada konvensi konstitusional AS. 

Bagaimana prosedur, bahkan perancangan institusi planet. Jika dipelajari perbandingan pembuatan konstitusi, salah satu hal yang dapat dipelajari adalah prosedur yang digunakan untuk merancang konstitusi. Itu hampir sama pentingnya dengan konstitusi aktual yang muncul.

Dalam membentuk badan supra nasional pengganti PBB yang jadul itu, Jangan pernah membiarkan legislatif duduk merancang konstitusinya. 

Yang akan mereka lakukan disitu hanyalah melindungi kekuatan mereka yang ada. Harus dicari aktor baru untuk mendatangkan pemangku kepentingan yang baru.

 

Joyogrand, Malang, Thu', Apr' 06, 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun