Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Perjalanan ke Pulau Sabu NTT

28 Maret 2023   17:12 Diperbarui: 28 Maret 2023   17:20 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenun ikat Sabu motif piring. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com

Catatan Perjalanan ke Pulau Sabu NTT

Sabu adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan perairan laut Sabu, di sebelah timur pulau Sumba, dan di sebelah barat pulau Rote yang terkenal sebagai pulau terujung Indonesia di bagian selatan. Pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Sabu Raijua, NTT. Luasnya kl 421,42 Km2. 

Koordinat geografisnya adalah 10 derajat 35 detik LS dan 121 derajat 07 detik BT. Kini pulau Sabu berpenduduk sekitar 80.377 jiwa (SP 2020) dengan kepadatan 191 jiwa/Km2.

Pulau ini tak mudah kulupakan begitu saja, karena tak mudah mencapainya di masa sebelum otda diberlakukan, meskipun relatif dekat dari kota Kupang selaku ibukota NTT. Dan saat itu pulau Sabu hanyalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Kupang. Barulah pada 2008 pulau Sabu dimekarkan menjadi Kabupaten Sabu Raijua yang meliputi 6 Kecamatan yi  Raijua, Sabu barat, Hamu Mehara, Sabu Liae, Sabu timur dan Sabu Tengah.

Pada tahun 2008 Thobias Uly diangkat menjadi penjabat Bupati dan pada 2011 Bupati pertama Kabupaten Sabu Raijua Ir Marthen L. Dira Thome mulai menjabat.

Bayangkan dulu perjalanan kesana hanya melalui laut, dan itu pun bergantung rute pelayanannya yang menghubungkan pulau-pulau utama di NTT. Yang dominan ketika itu adalah kapal Pelni, menyusul kapal ferry.

Pembudidaya rumput laut di pulau Sabu. Foto : thespicerouteend.com
Pembudidaya rumput laut di pulau Sabu. Foto : thespicerouteend.com

Setelah berkasak-kusuk di Kupang, didampingi Ricky Seran seorang rekan dari Kupang, sayapun melaju via kapal ferry dari Pelabuhan Tenau Kupang. Setelah belasan jam berlayar kami tiba di Pelabuhan Seba, Desa Seba, Kecamatan Sabu Barat. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk dan keluar bagi kapal-kapal yang berlayar ke dan dari Pulau Sabu.

Pelabuhan Seba telah lama berfungsi dan menjadi pintu gerbang utama untuk akses ke Pulau Sabu. Yang pasti pelabuhan ini melayani kapal-kapal yang datang dan pergi dari Pulau Sabu. Seiring dengan perkembangan transportasi dan perdagangan di wilayah Sabu Raijua, pelabuhan Seba terus ditingkatkan kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.

Setelah melepas lelah di sebuah penginapan di kota Seba, tak jauh dari Pelabuhan, kamipun merental sepeda motor dari penginapan tsb. Dan wow harga bahan bakar luarbiasa ketika itu, seperti harga emas. Maklum belum ada pom bensin, kecuali pengecer-pengecer BBM yang dipasok dari Kupang.

Menyusuri jalanan kota Seba, saya merasakan pernafasan alam yang bersih. Jalanan tak ada yang macet, bukan karena panasnya udara sebagaimana di Kupang atau Dili, tapi karena cikal bakal perkotaan itu belum berkejaran dengan waktu sebagaimana kota-kota di Jawa atau Sumatera atau Sulawesi.

Saat mencoba tes raun-raun keluar kota sedikit, atas tuntunan peta wisata, kami menginjakkan kaki di desa adat Namata, tak jauh dari Seba, tiba-tiba saya dihadiahi salam selamat datang yang cukup unik. Seorang bapak paruh baya menghampiri dan menyentuhkan hidungnya ke hidung saya. Saya agak kaget dan bingung. Ia kemudian menjelaskan bahwa itulah salam khas Sabu yang bernama Henge-dho'. Salam ini dilakukan tanpa memandang status sosial sebagai ungkapan sukacita, hormat, sayang dan empati.

Batu-batu bundar megalitik di Desa Adat Namata, Sabu tengah. Foto : thespicerouteend.com
Batu-batu bundar megalitik di Desa Adat Namata, Sabu tengah. Foto : thespicerouteend.com

Setelah puas melihat peninggalan megalitik disini, dan sekadar berbincang dengan warga setempat, jelang sore kami segera kembali ke penginapan di Seba.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali kami sudah berangkat. Udara hangat dan kesiur angin Sabu terasa membelai badan yang sudah kembali fresh.

Aktivitas perekonomian warga dari perkampungan ke perkampungan yang kami lalui, terkesan mereka bergantung dari kegiatan beternak, menangkap ikan, mengolah rumput laut, membuat kerajinan, berdagang serta memproduksi gula dari nira lontar. Menariknya, aktivitas ini tidak dilakukan secara terpisah. Seorang petani rumput laut boleh jadi juga berprofesi sebagai nelayan, peternak dan lainnya.

Saya mendapati warga melakukan usaha ini masih dengan cara yang sangat tradisional. Nelayan mengandalkan lukah, bubuh, jala, pukat dan pancing untuk menangkap ikan saat melaut. Begitupun yang terlihat pada kegiatan beternak, dimana hewan peliharaan seperti kuda, kerbau dan kambing dibiarkan lepas tanpa kandang.

Kondisi pulau relatif datar dan kering, sebagaimana halnya pulau Sumba dan Rote, Sabu merupakan dataran non-vulkanik yang tidak memiliki gunung tinggi untuk menangkap uap air menjadi awan-gemawan. Menjelajah alam di pulau yang hanya seluas 421 Km2 ini membawa kita keluar dari kotak kebisingan pulau yang padat merayap seperti pulau Jawa. 

Meski pulau Jawa bergunung dengan hamparan pohon hijau, tapi itu pastinya sudah mulai dikotori sampah-sampah industri, meski hanya sekadar buangan botol minuman kemasan, kaleng coca cola dan bungkus makanan kering produk food industry masa kini dari para penjelajah alam yang bertualang kesana.

Penari Sabu. Foto : David Richardson, oxfordasiantextilegroup.wordpress.com
Penari Sabu. Foto : David Richardson, oxfordasiantextilegroup.wordpress.com

Layanan transportasi online seperti Grab, Gojek ketika itu belum tersedia di pulau Sabu. Kita mengandalkan transportasi umum seperti ojek, angkot atau taksi untuk berkeliling di kota Seba dan sekitarnya.

Ojek adalah salah satu moda transportasi paling umum yang dapat ditemukan di pulau Sabu. Ojek dapat dijumpai di sekitar pelabuhan, atau terminal bus. Tarif ojek di pulau Sabu bervariasi tergantung pada jarak dan lokasi tujuan, dan sebaiknya tawar-menawar saja.

Yang pasti, saya dan Ricky menyewa motor dari penginapan yang memang menyediakan rental kenderaan bermotor untuk berkeliling di pulau Sabu. Sebagian besar penginapan di pulau Sabu menyediakan layanan semacam itu.

Kami kembali ke Desa Namata, karena kemarin sudah kesorean, tentu sekadar colek begitu saja tak cukup untuk memahami obyek wisata alam sekaligus budaya ini.

Tenun ikat Sabu motif kelaku berbentuk wajik. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com
Tenun ikat Sabu motif kelaku berbentuk wajik. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com

Desa Namata terletak di tengah-tengah pulau Sabu, sekitar 5 kilometer dari kota Seba, yang merupakan ibukota kabupaten Sabu Raijua. Namata adalah salah satu desa adat yang terkenal karena memiliki tradisi kain tenun ikat yang sangat khas dan dihargai. Selain itu, di desa Namata juga terdapat beberapa objek wisata seperti pantai dan area perkebunan kelapa yang dapat dikunjungi oleh wisatawan.

Selain tradisi tenun ikat yang terkenal, di Desa Adat Namata terdapat beberapa peninggalan megalitikum yang menarik untuk dikunjungi.

Peninggalan megalitikum di Desa Adat Namata terdiri dari beberapa jenis, antara lain punden berundak, menhir, dan dolmen. Menhir dan dolmen merupakan jenis peninggalan megalitikum yang umum ditemukan di seluruh Indonesia dan banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan atau daerah dengan tanah tinggi, sedangkan punden berundak lebih sering ditemukan di daerah pesisir.

Megalit Sabu dianggap sebagai keajaiban alam. Secara umum ditransmisikan dalam ingatan kolektif warga sebagai karya kekuatan supranatural. Bagi pengunjung dari luar, batu-batu besar yang ditemukan di tempat-tempat ritual di Sabu muncul seakan dalam semalam dengan sihir di masa lalu.

Tenun ikat Sabu motif ular. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com
Tenun ikat Sabu motif ular. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com

Kenyataannya batu-batu besar itu dibentuk oleh alam dan merupakan peristiwa yang menarik bagi ahli geologi. Menurut ahli geologi Ron Harris batu pasir ini merupakan konkresi hasil dari proses sementasi yang terbentuk 250 juta tahun yang lalu pada kedalaman dua kilometer atau lebih.

Selama 2 juta tahun terakhir, tumbukan antara lempeng benua Australia dan Asia mengangkat batu pasir ke permukaan. Tabrakan kedua lempeng tektonik itu merupakan proses berkelanjutan yang bertanggungjawab atas sejumlah gempa bumi yang dirasakan di daerah tsb -- lih Website Genevieve Duggan dalam https://tinyurl.com/2ksbnmo2

Megalit di Sabu bukanlah tempat pemakaman. Batu-batu besar diseret ke tempat-tempat ritual dan digunakan sebagai penanda waktu dan fisik. Sebuah batu dapat mengingatkan leluhur tentang hal penting tertentu, tentang pendiri klan atau tugas yang terkait kepercayaan, sehingga memenuhi peran batu-batu besar itu selaku tugu peringatan.

Namata, arena ritual utama Seba, memiliki kumpulan batu terbesar dengan berbagai ukuran di pulau itu. Di sana, setiap Imam dari agama leluhur Jingi tiu bertanggungjawab atas setidaknya satu batu keramat; daging hewan kurban dapat diletakkan di atas batu sambil berdoa; seorang Imam Jingi tiu dapat berdiri di atas batu miliknya sambil melantunkan teks ritual atau duduk di atasnya saat berhubungan dengan leluhurnya.

Tenun ikat Sabu motif piring. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com
Tenun ikat Sabu motif piring. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com

Jingi tiu adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang merupakan bagian dari tradisi leluhur masyarakat Sabu. Di luar desa adat, kombinasi agama Kristen dan kepercayaan animisme dan dinamisme inilah yang membentuk budaya unik dan khas di pulau Sabu.

Kalau soal tenun ikat Sabu, kita patut berterimakasih kepada Genevieve Duggan seorang Antropolog Perancis yang pernah berkelana melakukan penelitian disana jauh sebelum era Otda. Dia tak hanya menggambarkan masyarakat Sabu secara sosio- antropologis, tapi juga merekam karya budaya tenun ikat dan mencoba menarik benang merah antara narasi penduduk berdasarkan mitos setempat dengan cara mereka berkarya sesuai dengan kebiasaan dan pengetahuan yang mereka miliki.

Duggan mulai meneliti tradisi tenun di pulau ini pada 1994, terutama di Seba, Mesara dan Liae, yang merupakan sentra produksi tekstil utama pada waktu itu. Sejak 1994 dia mengunjungi pulau itu dua kali setiap tahun. Ia memperoleh izin penelitian dari LIPI pada tahun 1997 untuk tesis MA tentang tenun ikat Sabu yang bakal dipertahankan di Universitas Heidelberg, Jerman. Karya penelitian ini kemudian diterbitkan pada tahun 2001 dengan judul "Ikats of Savu : Women Weaving History in Eastern Indonesia", berupa paperback, White Lotus, 152 halaman, edisi bahasa Jerman, pada 31 Desember 2001 -- lih https://tinyurl.com/2pyuf2m3

Selama bertahun-tahun Duggan mencoba memahami peran tenun ikat tradisional dalam masyarakat Sabu dan mendokumentasikan sejarah tenun melalui narasi dan silsilah kaum perempuan. Dia lebih tertarik memotret tekstil tua ketimbang membeli atau mengumpulkan barang-barang pusaka. Ia meyakini orang Sabu harus menyimpan potongan legacy leluhur mereka. Duggan mendorong kaum perempuan di Sabu untuk tidak menjual tekstil legacy ibu dan leluhurnya dan membujuk mereka untuk menenun potongan identik dari pola utama kelompok atau sub kelompok mereka sendiri untuk kolektor dan pengunjung.

Formasi batuan purba di Kelabba Madja, Sabu tengah. Foto : thespicerouteend.com
Formasi batuan purba di Kelabba Madja, Sabu tengah. Foto : thespicerouteend.com

Dari analisis struktur dan pola tekstil serta peran kaum perempuan Sabu dalam masyarakat, penelitian Duggan dalam 10 tahun terakhir mengarah ke penelitian proses memori dalam masyarakat yang tidak memiliki tradisi tertulis. Studi tentang mekanisme transmisi pengetahuan pada tingkat antar dan intra-generasi menjadi titik fokusnya, dengan mempertimbangkan sarana transmisi lisan dan non-verbal, dan tekstil tentu saja memainkan peran penting disini.

Ia mengumpulkan terminologi semua benda dan teknologi yang berkaitan dengan pemintalan, pencelupan dan tenun di propinsi NTT, dengan fokus utama pada bahasa Austronesia dengan maksud untuk memperluas penelitian ke daerah lain di Indonesia dan Asia Tenggara.

Lepas dari desa Namata, saya dan Ricky memacu motor rental yang tangki BBMnya sudah kami penuhi itu ke obyek wisata alam, karena waktu kami semakin menyempit, besok sudah harus di kapal ferry menyeberang kembali ke Kupang. Saya pikir kami berdua sudah cukup memahami peninggalan megalitik di Namata, termasuk memahami tenun ikat selaku karya budaya mereka. Saya yakin kaum perempuan Sabu boleh jadi adalah salah satu penenun ikat terbaik di Indonesia.

Kami tiba di Ege, 14 Km setelah Namata. Kami berhenti sebentar, karena sepertinya ada upacara. O ternyata ada seorang perempuan tua yang meninggal dan akan dimakamkan menurut tradisi lama. Hampir semua pelayat adalah orang Kristen, tetapi mereka tetap menghormati perempuan tua yang tidak pernah pindah agama itu, dan mereka memakamkannya dengan cara lama.

Formasi batuan purba yang unik berwarna kemerahan di Wadu Mea. Foto : genevieveduggan.com
Formasi batuan purba yang unik berwarna kemerahan di Wadu Mea. Foto : genevieveduggan.com

Jenazah sudah terbungkus kain dengan pola yang rumit. Di belakangnya, terlihat puterinya menunjukkan kesedihannya dengan menangis. Dialah satu-satunya yang melakukannya, karena tampilan kesedihan di depan umum adalah langkah yang diperlukan dalam proses tsb. Seperti yang bisa dilihat, sejumlah besar tekstil lainnya digantung di belakang.

Kepala jenazah juga dibungkus, kemudian dimasukkan ke liang lahat yang digali tepat di depan rumah. Almarhum dimakamkan dengan banyak potongan pakaian serta beberapa barang lainnya seperti batok kelapa, beberapa tanaman lainnya dst. Kemudian lubang itu ditimbun dan semua sisa bahan yang digunakan selama upacara dibawa ke sebuah pohon di belakang rumah.

Kesan saya tekstil yang dikubur bersama jenazah dianggap sakral dan ampuh. Itu penting untuk kesejahteraan almarhumah di akhirat. Itulah ritual Jingi tiu yang sempat saya saksikan di pulau Sabu.

Puas di Ege, atas tuntunan peta wisata, kami langsung meluncur ke obyek wisata alam di Kelabba Madja di Sabu barat tak jauh dari pantai selatan Sabu. Dari Ege hanya 9,3 Km.

Bawa Iri, wakil Imam Besar Deo Rai berdiri di atas megalit di Namata. Foto : genevieveduggan.com
Bawa Iri, wakil Imam Besar Deo Rai berdiri di atas megalit di Namata. Foto : genevieveduggan.com

Kelabba Madja boleh dibilang unik, bahkan amazing. Kawasan itu seakan tersihir peristiwa alam jadul yang membentuk formasi batuan yang sangat indah di pantai Selatan Sabu. Kami cukup lama menikmati suasana alam seperti di planet lain ini. Ricky sibuk jeprat-jepret dengan kameranya. Tak ada yang ia lewatkan disitu. Alam sekitar membuat saya hanyut dalam sebuah fantasi yang katakanlah kedalam sebuah terowongan waktu dan tiba-tiba terpental ke dunia lain seperti pemandangan alam yang terpampang di hadapan kami sekarang.

Balik ke timur kembali ke Seba, kami juga melewati formasi batu serupa yang disebut Wadu Mea yang menjorok ke laut lepas. Setelah jeprat-jepret disini, kami baru tahu bahwa di belakang obyek wisata alam yang memukau ini, ada perkampungan yang sangat tradisional dengan sebagian penduduknya belum memeluk agama Kristen. Batu-batu alam di Wadumea memiliki makna spiritual bagi mereka dan mereka tidak ingin difoto disini. Ok.

Setelah berbincang-bincang sejenak dengan penganut kepercayaan Jingi tiu disini, kami pun kembali ke Seba, kl 22 Km dari Waddu Mea. Tak ada masalah di jalan meskipun Mentari hampir tenggelam  di ufuk barat. Seraya menarik nafas lega karena aman-aman saja dalam perjalanan, terbayang besok pagi kami harus sudah di Pelabuhan Seba menuju Kupang. Belasan jam penyeberangan ASDP ke Tenau Kupang akan kami arungi.

Penenun ikat Sabu membentuk pola dalam ikatan benang yang sudah dicelup. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com
Penenun ikat Sabu membentuk pola dalam ikatan benang yang sudah dicelup. Foto : oxfordasiantextilegroup.wordpress.com

Setelah acara bersih-bersih raga, kami pun mencari santap malam ke kedai makan tak jauh dari penginapan. Makan malam kami tak sulit, kami mencoba menyantap Lawar, penganan khas Sabu yang terbuat dari rumput laut, cuka, cabai, bawang merah dan ikan kecil. Lawar, biasa disantap dengan nasi, atau disantap begitu saja tanpa nasi. Tapi dengan nasilah. Masalahnya, saya dan Ricky sudah capek menghabiskan waktu seharian menjelajah tiga perempat bagian pulau Sabu. Dan Lawar ternyata asyik-asyik juga. Lain kali saya akan ke pulau kecil Raijua, yi ujung terbarat pulau Sabu. Hanya itu yang belum saya lihat di Kabupaten Sabu-Raijua ini.

Syukurlah saya masih sempat beli oleh-oleh penganan kecil khas Sabu yang biasa disebut Wollapa. Jajanan kecil ini terbuat dari tepung beras dan gula merah dari lontar khas Sabu. Kata Ibu penjual, tepung beras itu dicampur gula lontar sebagai adonan. Kemudian dibentuk dan dibungkus menggunakan kulit jagung yang sudah kering, atau dibungkus daun kelapa. Kemudian dikukus hingga matang. Jajanan sedap yang dibungkus kecil-kecil seperti Jenang Kudus ini ketika itu hanya dipatok Rp 1.000 per bungkus. 100 bungkus ajalah, kataku.

Saya juga mencoba membeli Sopi Sabu sekadar 2 botol. Namanya saja mencoba. Sopi made in Sabu terbuat dari air tuak yang disadap, kemudian dimasak dalam sebuah tungku kedap udara. Uapnya yang berubah menjadi cair disuling kedalam batang bambu dan ditampung di dalam botol setelah sebelumnya dibubuhkan akar husor yang telah ditumbuk. Sopi dijual ketika itu seharga Rp 10 ribu per botol dan Rp 200 ribu per jerigen. Sopi terbaik Sabu mengandung alkohol sekitar 30%. Ngedrink banget deh, tak kalah ama Johnny Walker. He He ..

Ricky tersenyum melihatku membeli cinderamata khas Sabu itu dan Ibu si penjual segera membungkuskannya agar mudah ditenteng dalam perjalanan pulang besok ke Kupang. Bagaimana Rick, asyik kan, kataku.

Itulah catatan perjalanan ke Sabu beberapa waktu lalu. Jujur, Sabu sangat mengesankan. Itulah salah satu yang membuatku sangat mencintai Indonesia tengah, khususnya NTT dengan segala cakupan pulaunya disitu. Dan di atas segalanya aku bangga dengan negeriku Indonesia, sebuah archipelagic state dengan belasan ribu pulau di wilayah kedaulatannya.

Aku yakin kesadaran berwilayah anak bangsa di negeri ini akan semakin kuat dan kuat setelah jatuhnya Sipadan dan Ligitan, menyusul Timtim yang kini menjadi Timorleste.

Joyogrand, Malang, Tue', March 28, 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun