Menyusuri jalanan kota Seba, saya merasakan pernafasan alam yang bersih. Jalanan tak ada yang macet, bukan karena panasnya udara sebagaimana di Kupang atau Dili, tapi karena cikal bakal perkotaan itu belum berkejaran dengan waktu sebagaimana kota-kota di Jawa atau Sumatera atau Sulawesi.
Saat mencoba tes raun-raun keluar kota sedikit, atas tuntunan peta wisata, kami menginjakkan kaki di desa adat Namata, tak jauh dari Seba, tiba-tiba saya dihadiahi salam selamat datang yang cukup unik. Seorang bapak paruh baya menghampiri dan menyentuhkan hidungnya ke hidung saya. Saya agak kaget dan bingung. Ia kemudian menjelaskan bahwa itulah salam khas Sabu yang bernama Henge-dho'. Salam ini dilakukan tanpa memandang status sosial sebagai ungkapan sukacita, hormat, sayang dan empati.
Setelah puas melihat peninggalan megalitik disini, dan sekadar berbincang dengan warga setempat, jelang sore kami segera kembali ke penginapan di Seba.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali kami sudah berangkat. Udara hangat dan kesiur angin Sabu terasa membelai badan yang sudah kembali fresh.
Aktivitas perekonomian warga dari perkampungan ke perkampungan yang kami lalui, terkesan mereka bergantung dari kegiatan beternak, menangkap ikan, mengolah rumput laut, membuat kerajinan, berdagang serta memproduksi gula dari nira lontar. Menariknya, aktivitas ini tidak dilakukan secara terpisah. Seorang petani rumput laut boleh jadi juga berprofesi sebagai nelayan, peternak dan lainnya.
Saya mendapati warga melakukan usaha ini masih dengan cara yang sangat tradisional. Nelayan mengandalkan lukah, bubuh, jala, pukat dan pancing untuk menangkap ikan saat melaut. Begitupun yang terlihat pada kegiatan beternak, dimana hewan peliharaan seperti kuda, kerbau dan kambing dibiarkan lepas tanpa kandang.
Kondisi pulau relatif datar dan kering, sebagaimana halnya pulau Sumba dan Rote, Sabu merupakan dataran non-vulkanik yang tidak memiliki gunung tinggi untuk menangkap uap air menjadi awan-gemawan. Menjelajah alam di pulau yang hanya seluas 421 Km2 ini membawa kita keluar dari kotak kebisingan pulau yang padat merayap seperti pulau Jawa.Â
Meski pulau Jawa bergunung dengan hamparan pohon hijau, tapi itu pastinya sudah mulai dikotori sampah-sampah industri, meski hanya sekadar buangan botol minuman kemasan, kaleng coca cola dan bungkus makanan kering produk food industry masa kini dari para penjelajah alam yang bertualang kesana.
Layanan transportasi online seperti Grab, Gojek ketika itu belum tersedia di pulau Sabu. Kita mengandalkan transportasi umum seperti ojek, angkot atau taksi untuk berkeliling di kota Seba dan sekitarnya.