Sementara infrastruktur pendukung utama kepariwisataan Danau Toba adalah bagaimana agar pasokan hasil pertanian dll dari daerah-daerah penyangga dapat berjalan lancar.Â
Kenyataannya, daerah penyangga ntah itu Tapanuli utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo dan Simalungun, lahan pertaniannya belum mampu menjadi pemasok utama untuk daerah inti yi industri pariwisata di core Danau Toba seperti Tomok dan Tuktuk di Samosir, Parapat dan Siantar di Simalungun, Balige dan Tarutung di ring pertama Danau Toba.Â
Industri pariwisata disini masih disuplai dari luar ntah itu tetangga terdekat seperti Jambi, atau yang jauh seperti Lampung, bahkan Jawa. Ini sangat berisiko dengan tingginya beaya pokok dalam penetapan harga jual, khususnya kuliner dan akomodasi dalam kepariwisataan Danau Toba.
Daerah core ini pastinya butuh beras, kentang, sayur-sayuran, daging-dagingan, mulai dari ayam, bebek, kambing hingga sapi, kerbau dan fahi atau B2. Jangan lupa juga perlu burung dara karena daging burung dara ternyata sangat digemari turis.
Karena daerah-daerah penyangga di lingkar Toba berada di ketinggian Bukit Barisan, maka lahan-lahan pertaniannya kurang produktif, karena irigasinya tak mudah. Tak heran banyak lahan tidur disini.
Kebanyakan persawahan tradisional di daerah penyangga ada di cerukan sebuah lumban atau ngarai. Lahan-lahan pertanian yang serba terbatas disitu sejak zaman dulu hanya mengandalkan air tanah yang marmimir atau meluap kecil-kecil dari tanah di sekitarnya. Kalaupun ada sungai, maka yang terairi hanya dataran yang dekat ke aliran sungai, tapi itupun sulit seperti Aek Sigeaon di Tarutung misalnya, atau Aek Naoto di Pangaribuan.Â
Menaikkan air sungai menjadi sumber irigasi teknis tentu tak mudah, mulai dari teknik menaikkannya ke permukaan yang lebih tinggi hingga beaya untuk pembangunannya. Apakah harus ada dam atau bendungan atau cukup hanya dengan kincir air untuk menaikkannya. Itu adalah pilihan yang tak mudah di tanah Batak yang terletak di ketinggian, sesuai dengan karakter alam Bukit Barisan yang melingkarinya.
Di Kecamatan Pangaribuan, Sipahutar, Sipoholon, Adiankoting, Pahae dan Garoga misalnya. Lahan sawah yang bisa ditanami semuanya berlokasi di cerukan ngarai dengan memanfaatkan aek na marmimir atau luapan-luapan kecil mata air di sekelilingnya.
Di daerah Saba Bolak atau persawahan besar yang dikenal dengan nama persawahan Rimba di Desa Pakpahan, Pangaribuan. Daerah yang luas ini di kala penduduk masih terbatas, pernah menjadi salah satu lumbung pangan di lingkar Toba.
Area agro yang telah berusia pakai ratusan tahun ini secara keseluruhan adalah tanah legacy Pakpahan Hutanamora yang diwariskan sipukka huta atau pionir yi O. Datu Ronggur Diaji Pakpahan asal Samosir kepada pomparannya atau keturunannya melalui ke-empat percabangannya yi O. Bait Silindung, O. Diharaja, O. Raja Moma dan O. Martulingaji. Tak heran nama Desa ibukota Pangaribuan adalah Desa Pakpahan.