DNGMN : Ai aha do nimmu (apa nya itu). Di masa Orba holan na manuhori gelar do hamu sude, hape kenyataan na angka lanteung do sude (di masa Orba kalian hanya membeli gelar, padahal kenyataannya gombal semua). Apa dalam Sistem Ekonomi Kapitalis jalang yang serba KKN pada masa itu, orang-orang miskin di negeri ini sanggup menyekolahkan anaknya dengan harga pasar, apa mereka sanggup berobat untuk kesehatannya sendiri dengan harga pasar. Anlangi ma. Itulah ekonomi kita warisan Orba Soeharto.
PP : Ba ido ate. He He .. Okelah itu sudah berlalu amang Datu. Sekarang fokus ke Danau Toba kita inilah. Bagaimana Toba pasca F1H2O ini?
DNGMN : Saya lihat godang dope halak na marungut-ungut (masih banyak orang yang bersungut-sungut). Tapi saya kira dengan keteladanan Pak Jokowi, Pak Luhut dan siapa tuh yang muda, oya Pak Sandi. Kepala-kepala daerah di tanah Batak sudah saatnya meneladani tokoh nasional tsb.
PP : Bisakah itu?
DNGMN : Boasa ndang boi (mengapa tidak). Mereka harus sadar sepenuhnya apa yang tidak mungkin dilakukan dulu ternyata sekarang ini terbukti bisa di tangan triumvirat tsb. Saya pikir solusi yang terpenting bagi kita sekarang adalah mendobrak stagnasi kepemimpinan dan kebersamaan.
PP : Apa itu focal point-nya.
DNGMN : Selama ini tanah Batak hanya dijadikan tanah untuk membangun Tugu Ompung Ini Ompung Itu dst. Padahal orang yang sudah meninggal kan tidak memerlukan tugu dan monumen yang hebat-hebat. Mereka berbahagia apabila kalian tahu diri, saling mengasihi satu sama lain dan mampu membangun Tanah Batak menjadi kuat dan modern sebagai contoh buat Nusantara. Tapi yang terjadi selama ini, ya mereka yang berhasil rata-rata jadi Panggaron, Sok Kuasa, Sok Pintar dan Pantang Tak Hebat. Apa sih susahnya membangun tanah Batak menjadi kuat dan modern tanpa meninggalkan jatidiri kalian sebagai orang Batak. Tanah Batak kan bukan padang pasir kerontang. Apa saja ada di sini. Maka ubahlah itu menjadi sebuah kekuatan dan kesejahteraan.
PP : Trauma barangkali amang Datu sesudah terbunuhnya Sisingamangaraja XII oleh Belanda.
DNGMN : Hata na deba doi (omong kosong). Sok-sok yang superlatif seperti itulah yang membuat orang Batak selama ini hanya Omdo (omong doang) tanpa aksi yang berarti. Ini yang harus diubah, dan itu hanya bisa dimulai dari pemimpinnya. Sudah saatnya kita meninggalkan dalihan natolu dalam beraksi. Adat perlu memang, tapi membangun internal kita dibutuhkan leadership yang tegas, terbuka dan jujur dan tak pernah berangan-angan "holan na manganlangi" (makan sepuasnya dengan menghalalkan segala cara).
PP : Kembali ke laptop. Bagaimana Toba pasca F1H2O akhir Pebruari lalu.
DNGMN : Luruskan cara berpikir komunitas Balige. Mereka harus semakin kreatif dan inovatif. Bupati Poltak Sitorus unang holan hata (jangan hanya omdo). Lihat cinderamata yang dikirim borumu Kenia. Kan bagus. Dan berikutnya harus lebih bagus lagi. Kopi Arabika Batak yang kau minum tadi adalah Kopi Sigararutang yang tumbuh subur di habitatnya Pangaribuan, Sipahutar, Lintong dan sebagian kecil di Balige, Tiga Dolok dll. Mengapa Rumata Coffee di Laguboti Toba tidak menamakan kopi olahannya sebagai Kopi Arabika Batak Sigararutang. Kopi kita perlu dibranding khusus agar lebih dikenal. Bukannya mengimpor nama, tapi gunakanlah nama dari khasanah kita sendiri.