Masalah Papua dan Nasib Pilot Susi Air Yang Disandera Egianus Kogoya dkk
Organisasi Papua Merdeka atau versi Indonesia KKB atau Kelompok Kriminal Bersenjata, yi Tentera Pembebasan Nasional Papua Barat -- Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyatakan telah menyandera pilot maskapai Susi Air Philips Max Marthin. Pernyataan itu direlease sesaat setelah pesawat maskapai Susi Air jenis Pilatus Porter PC 6/PK-BVY dibakar di Bandara Paro, Kabupaten Nduga, Papua, Selasa 7 Pebruari ybl.
Jubir TPNPB-OPM Sebby Sambom melalui pernyataan tertulisnya meminta pemerintah RI menutup semua jalur penerbangan masuk ke Kabupaten Nduga. KKB meminta TNI-Polri tidak menembak atau melakukan interogasi terhadap warga sipil Nduga.
Kami TPNPB Kodap (Komando Daerah Pertahanan) III Ndugama-Derakma tidak akan melepaskan pilot yang kami sandera ini, kecuali NKRI mengakui dan melepaskan kami dari negara kolonial Indonesia menjadi Papua merdeka, demikian Sebby mengutip Egianus Kogoya, Panglima Kodap III Ndugama sebagaimana banyak dikutip pers Indonesia.
Kalau nasib 5 penumpang pesawat. Tidak masalah, karena mereka adalah warga lokal Papua. Mereka tidak disandera. Lain halnya dengan pilot asal New Zealand yang sampai hari ini belum jelas pelepasannya. TNI-Polri sedang bekerja melacaknya.
Dalam tindak penyanderaan pilot asing ini mereka menuntut pertanggungjawaban Selandia Baru dan Ausie atas kematian "ribuan" rakyat Papua (ribuan korban itu versi KKB). Mereka menunggu respon Ausie, New Zealand, AS, Eropa dan PBB. Dunia barat dituding KKB selama ini memasok persenjataan TNI-Polri, juga dituding turut membantu RI dalam mengeksploitasi SDA Papua, khususnya Freeport dll di Ersberg.
Tuntutan utopis ini tentu menggelikan dari sisi konstitusi RI dan keputusan PBB di masa lalu, tapi dari sisi petualangan kaum pemberang atau mereka yang tak pernah puas dengan keadaan di Papua, tuntutan ini memang akan berulang dan berulang sejauh akar kepemberangan karena ketakpuasan ini tak dipangkas habis.
Sejumlah pihak menyarankan agar pihak TPNPB-OPM dan pemerintah Indonesia menempuh jalan perundingan dalam menyelesaikan kasus penyanderaan pilot maskapai Susi Air yang berkewarganegaraan Selandia Baru. Itu pasti. Tapi terkait tuntutan utopis KKB sehingga harus menyandera sang pilot yang kebetulan adalah warga asing asal New Zealand. Ini yang tak pasti. Apakah baku tembak dulu baru bebas, atau perundingan dulu dengan mengakomodasi tuntutan KKB, baru bebas. Masalahnya adalah ketidakmungkinan memenuhi tuntutan KKB dengan taruhan nyawa sang pilot asing itu. Kalau hanya sekedar dialog siapapun bisa, tapi dalam konteks ini tak logis tentunya kalau asal-asalan. Kita harus menetapkan pilihan dari sekian alternatif. Yang terberat di tengah resesi dunia sekarang adalah bagaimana implikasi penyanderaan warga asing ini dalam hubungan internasional kita.
Situasi fait-accompli seperti ini apa boleh buat memang terkondisi zaman. Di Amerika latin pun demikian, juga di Afrika, bahkan Eropa sendiri yang pernah mengalami masa Brigade Merah yang pernah menyandera PM Italia Aldo Moro, karena alotnya perundingan PM Italia itu malah tewas di tangan penyandera.
Pertanyaan lain yang juga perlu, akan samakah nasib Papua dengan Timorleste. Bernasib sama artinya Referendum (like or dislike) seperti di Timtim akhir 1999 yl.
Banyak kalangan yang menyorot Papua yang tidak pernah sepi dari kasus kekerasan. Mereka mengkritisi pembangunan sosial ekonomi yang tidak merata suatu ketika akan mengubah pandangan PBB untuk mengambil jalan referendum seperti dalam kasus Timor Timur (sekarang Timor Leste). Sudah separah itukah keadaan di Papua sekarang.
Mencermati semua notes terkait Papua, termasuk apa yang dipikirkan dan dirasakan para asylum Papua merdeka seperti Dr. Octavianus Mote di AS, Benny Wenda di Inggeris, belum lagi tokoh-tokoh muda pemberang bersenjata di kedalaman Papua seperti Kogoya dkk, saya pikir penyanderaan ini masih bisa diatasi sejauh sang pilot tidak dipertaruhkan nyawanya. Penyanderaan Pilot yang sulit dilacak keberadaannya di hutan rimba Papua Barat sana sangatlah sensitif. Kematian sang pilot di tangan KKB, katakanlah begitu, itu akan mengubah persepsi barat bahkan dunia terhadap Papua merdeka.
Di internal Papua. Cukup banyak warga Papua yang kritis mengeluh tentang masalah mendasar di Papua, seperti hak kultural rakyat Papua dalam wadah MRP (Majelis Rakyat Papua) yang belum terselesaikan, masalah Freeport (berantakannya Eco System yang mengancam salju abadi Ersberg), terdzoliminya hak komunal warga Amungme di seputar kawasan yang dieksploitasi Freeport dan ketidakjelasan bagi hasil pertambangan. Dari perspektif mana yang riel untuk warga Papua, apakah cukup hanya residunya saja, dan soal buntunya dialog politik internal kita tentang masalah Papua.
Pemerintah pusat, terjebak dalam kepentingan tak tertawar negara kesatuan, UU Otonomi Khusus, dan mengabaikan akar konflik di Papua. Pemerintah belum juga tuntas melakukan otokritik dan koreksi atas kegagalan mengeksekusi kebijakan politik, hukum, dan keamanan di Papua.
KKB dan kaum pemberang di Papua harus diselesaikan melalui dialog, karena, pemerintah pusat dan warga Papua memiliki perbedaan pandangan soal akar masalah di Papua serta cara mengatasinya. Kalau dialog politik buntu, jalan kekerasan makin terbuka seperti penyanderaan pilot Susi Air yang terjadi sekarang sebagai kesinambungan dari aksi-aksi serupa tahun sebelumnya.
Lihat clan Tabuni di masa lalu yang menggerakkan Kelompok TPN Wilayah Pegunungan Papua bagian bawah pimpinan Goliat Tabuni yang dituding melakukan penembakan terhadap anggota Brimob beberapa waktu lalu.
Dulu dikoarkan TPN OPM sudah melakukan konsolidasi pasca tertembaknya Pimpinan TPN OPM Kellyk Kwalik. Kemudian nama Tabuni menghilang dan sekarang digantikan nama lain.
Menurut Arkilaus Babo seorang pegiat medsos asal Papua yang cukup kritis, kemungkinan referendum itu sudah klise. Dialog yang terjadi selama ini bukannya mampet, tapi tak pernah menyentuh masalah yang sebenarnya. Yang diperlukan sekarang adalah pengaturan Papua secara bermartabat, dan bukannya plintiran politik ini dan itu yang tak perlu.
Sejauh masalah Papua bermartabat belum terselesaikan, maka kasus kekerasan takkan pernah berhenti. Papua bermartabat adalah Papua yang dijauhkan dari cara pengelolaan imperialistik, demikian Babo.
Imperialistik? Itukah yang dilakukan Jakarta terhadap Papua? Saya pikir itu terlalu jauh. Pandangan kaum muda yang idealistik seperti itu wajar-wajar saja, sebagaimana pandangan Che Guevara di masa lalu di Amerika latin sana.
Kita lihat hampir semua kepala daerah di Papua adalah warga asli papua, tapi mengapa Lukas Enembe yang adalah Gubernur Papua misalnya, masih saja terlibat dalam KKN. Kalau munculnya separatisme seperti yang disuarakan Mote dan Wenda lantaran Pepera yang didukung PBB di masa lalu dianggap palsu. Ini jelas bukan siksaan imperialisme sebagaimana pikiran Arkilaus Babo dan anak-anak muda kritis Papua lainnya. Itu adalah avonturisme politik seperti halnya Ramos Horta, Marie Alkatiri dkk di Timtim yang awalnya ibarat berjudi tapi ujung-ujungnya berhasil. Pemodelan politiknya yang harus dicermati. Kalau Papua jelas eks Hindia Belanda, sedangkan Timtim adalah ex Portugis. Tak heran Timtim lepas dipaksa AS via PBB dengan alasan klise HAM dsb. Sedangkan Papua sangat jauh dari kemungkinan referendum seperti Timtim dulu.
Yang diperlukan internal Papua sekarang adalah bagaimana atau sejauh mana  kepiawaian tokoh-tokoh Papua berdialog dengan Jakarta. Itu sangat menentukan posisi tawar Papua di mata Jakarta. Jangan berharap sama PBB, karena kepentingan AS dan barat untuk melepaskan Papua dari Indonesia tidak ada samasekali.
Imperialisme dalam pikiran Babo dkk tak mungkin dihalau dalam bungkusan dialog seperti itu. Dialog hanyalah jembatan baru bagi lajunya neo-imperialisme di Papua. Papua butuh kreasi baru seperti tutup Freeport sebagai alat tawar Papua untuk menentukan nasib investor dan mengurangi cengkeraman ekonomi kapitalis barat di Papua.
Kalaupun ada beberapa paket politik seperti otsus misalnya. Dialog yang terjadi selalu dikembalikan ke opsi otsus. Padahal di mata Angkatan muda Papua, otsus adalah sebuah kegagalan. Sejauh mana pun Papua diungkit oleh berbagai kalangan, termasuk AS dkk, buntutnya selalu pada pembagian kue Papua.
Jangankan Mote, Kogoya, Wenda dll, Senator AS saja pernah ngotot minta jakarta kasi pulau Biak untuk pangkalan militer AS. Lihat Timor leste, ladang minyak mereka kini dikuasai Ausie. Itulah imperialisme yang dimaksud angkatan muda Papua. Sedangkan para aktivis Papua yang sekarang berada di asylum ntah dimana pun itu. Mereka semuanya tak kurang tak lebih adalah avonturir politik penuh mimpi kosong yang di-back-up kapitalisme barat dan itu tak perlu dikasi angin surga.
Kalau tidak mau terjebak dalam permainan politik praktis agen kapitalisme yang selalu bersandiwara dengan isu Papua, maka segala urusan Papua yang dipelopori kapitalisme barat haruslah ditolak, demikian Babo.
Persoalannya apakah Jakarta mau seturut dengan pola pikir seperti ini, atau melanjutkan operasi intelijen karena kepentingan kaum pemodal ini yang justeru banyak mengorbankan nyawa rakyat Papua sendiri tanpa bisa ketemu sebuah solusi yang pas untuk penyelesaian masalah Papua yang bermartabat seperti yang sering digaungkan Arkilaus Babo dkk. Ini bergantung pada regime yang berkuasa. Siap nggak menutup Freeport dan mengelolanya sendiri. Siap nggak bagi hasil SDA yang lebih adil dengan rakyat Papua. 75% untuk Papua dan cukup 25% untuk pemerintah pusat.
Akhirnya soal pembebasan sandera, yi pilot Susi Air, yang kini di tangan Egianus Kogoya dkk. Ini pertaruhan besar dalam hubungan internasional kita. Sejauh pilot aman. Tak masalah. Tapi silap sedikit dalam mendekati kaum pemberang nun jauh di pedalaman Papua barat sana, ya repot. Iming-iming lain yang mengantarai tuntutan utama mereka Papua merdeka lepas dari NKRI. Itu harus distabilo sebagai tuntutan separatis dari kalangan avontur seperti Benny Wenda dkk. Diluar separatisme pasti ada pilihan lain yang masuk akal tanpa harus menghancurkan jaimnya Kogoya cs. Itulah yang seharusnya dibangun dalam dialog pembebasan sandera ke depan ini. Sebaiknya yang bertandang ke tengah pedalaman sana untuk berunding dengan KKB Kogoya adalah politisi sipil. Maklum, KKB itu anti TNI-Polri yang dituding antek imperialisme barat. Cobalah Menkopolhukam Mahfud MD diutus kesana. Biarkan dia ditemani orang Depdagri dan Deplu. Siapa tahu ..
Saya sendiri saat ini lagi prihatin tentang tanah batak. Meski dalam tempo dekat ini akan ada lomba speed boat untuk mengangkat kepariwisataan Toba. Tapi itu kan konsumsi kalangan the haves yang tak ada kaitannya dengan kemiskinan tanah Batak selama ini. Yang saya yakini, sejauh ini warga Batak dipecahbelah operasi intelijen yang begitu intensif sehingga tak kunjung bisa bersatu dalam perjuangan menutup TPL (Toba Pulp Lestari) yang sudah puluhan tahun menguasai ratusan ribu Ha hutan komunal di tanah batak. Ini semua sangat menghancurkan eco system di tanah batak, termasuk mengancam kelestarian Danau Toba. Kebutuhan Bubur Kertas (Pulp) Dunia yang berbahan baku kayu Pinus dan Eucalyptus yang dieksploitasi habis-habisan dari hutan-hutan komunal tanah batak ini diback-up Imperialisme modal asing yang diproteksi Jakarta. Semua tak lebih dari urusan uang tanpa memperdulikan bagaimana derita dan kemiskinan rakyat di tanah batak sebagai dampak dari imperialisme bubur kertas ini.
Joyogrand, Malang, Fri', Febr' 10, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H