Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Masalah Papua dan Nasib Pilot Susi Air yang Disandera Egianus Kogoya Dkk

10 Februari 2023   15:43 Diperbarui: 10 Februari 2023   15:49 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat Susi Air jenis Pilatus Porter PC 6/PK-BVY. Foto : headtopics.com

Banyak kalangan yang menyorot Papua yang tidak pernah sepi dari kasus kekerasan. Mereka mengkritisi pembangunan sosial ekonomi yang tidak merata suatu ketika akan mengubah pandangan PBB untuk mengambil jalan referendum seperti dalam kasus Timor Timur (sekarang Timor Leste). Sudah separah itukah keadaan di Papua sekarang.

Mencermati semua notes terkait Papua, termasuk apa yang dipikirkan dan dirasakan para asylum Papua merdeka seperti Dr. Octavianus Mote di AS, Benny Wenda di Inggeris, belum lagi tokoh-tokoh muda pemberang bersenjata di kedalaman Papua seperti Kogoya dkk, saya pikir penyanderaan ini masih bisa diatasi sejauh sang pilot tidak dipertaruhkan nyawanya. Penyanderaan Pilot yang sulit dilacak keberadaannya di hutan rimba Papua Barat sana sangatlah sensitif. Kematian sang pilot di tangan KKB, katakanlah begitu, itu akan mengubah persepsi barat bahkan dunia terhadap Papua merdeka.

Di internal Papua. Cukup banyak warga Papua yang kritis mengeluh tentang masalah mendasar di Papua, seperti hak kultural rakyat Papua dalam wadah MRP (Majelis Rakyat Papua) yang belum terselesaikan, masalah Freeport (berantakannya Eco System yang mengancam salju abadi Ersberg), terdzoliminya hak komunal warga Amungme di seputar kawasan yang dieksploitasi Freeport dan ketidakjelasan bagi hasil pertambangan. Dari perspektif mana yang riel untuk warga Papua, apakah cukup hanya residunya saja, dan soal buntunya dialog politik internal kita tentang masalah Papua.

Pemerintah pusat, terjebak dalam kepentingan tak tertawar negara kesatuan, UU Otonomi Khusus, dan mengabaikan akar konflik di Papua. Pemerintah belum juga tuntas melakukan otokritik dan koreksi atas kegagalan mengeksekusi kebijakan politik, hukum, dan keamanan di Papua.

KKB dan kaum pemberang di Papua harus diselesaikan melalui dialog, karena, pemerintah pusat dan warga Papua memiliki perbedaan pandangan soal akar masalah di Papua serta cara mengatasinya. Kalau dialog politik buntu, jalan kekerasan makin terbuka seperti penyanderaan pilot Susi Air yang terjadi sekarang sebagai kesinambungan dari aksi-aksi serupa tahun sebelumnya.

Lihat clan Tabuni di masa lalu yang menggerakkan Kelompok TPN Wilayah Pegunungan Papua bagian bawah pimpinan Goliat Tabuni yang dituding melakukan penembakan terhadap anggota Brimob beberapa waktu lalu.

Dulu dikoarkan TPN OPM sudah melakukan konsolidasi pasca tertembaknya Pimpinan TPN OPM Kellyk Kwalik. Kemudian nama Tabuni menghilang dan sekarang digantikan nama lain.

Menurut Arkilaus Babo seorang pegiat medsos asal Papua yang cukup kritis, kemungkinan referendum itu sudah klise. Dialog yang terjadi selama ini bukannya mampet, tapi tak pernah menyentuh masalah yang sebenarnya. Yang diperlukan sekarang adalah pengaturan Papua secara bermartabat, dan bukannya plintiran politik ini dan itu yang tak perlu.

Sejauh masalah Papua bermartabat belum terselesaikan, maka kasus kekerasan takkan pernah berhenti. Papua bermartabat adalah Papua yang dijauhkan dari cara pengelolaan imperialistik, demikian Babo.

Imperialistik? Itukah yang dilakukan Jakarta terhadap Papua? Saya pikir itu terlalu jauh. Pandangan kaum muda yang idealistik seperti itu wajar-wajar saja, sebagaimana pandangan Che Guevara di masa lalu di Amerika latin sana.

Kita lihat hampir semua kepala daerah di Papua adalah warga asli papua, tapi mengapa Lukas Enembe yang adalah Gubernur Papua misalnya, masih saja terlibat dalam KKN. Kalau munculnya separatisme seperti yang disuarakan Mote dan Wenda lantaran Pepera yang didukung PBB di masa lalu dianggap palsu. Ini jelas bukan siksaan imperialisme sebagaimana pikiran Arkilaus Babo dan anak-anak muda kritis Papua lainnya. Itu adalah avonturisme politik seperti halnya Ramos Horta, Marie Alkatiri dkk di Timtim yang awalnya ibarat berjudi tapi ujung-ujungnya berhasil. Pemodelan politiknya yang harus dicermati. Kalau Papua jelas eks Hindia Belanda, sedangkan Timtim adalah ex Portugis. Tak heran Timtim lepas dipaksa AS via PBB dengan alasan klise HAM dsb. Sedangkan Papua sangat jauh dari kemungkinan referendum seperti Timtim dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun