Israel Terjepit Temple Mount dan Terorisme
Pasukan Israel pada Kamis 19 Januari ybl menewaskan sedikitnya sembilan warga Arab Palestina, termasuk korban peluru nyasar yi seorang perempuan tua.
Kekerasan itu terjadi di kamp pengungsi Jenin di tepi barat utara, sebuah kota yang telah cukup lama menjadi kubu militan Arab Palestina dan sering menjadi target serangan Israel selama hampir setahun ini.
Militer Israel mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tentara dan satuan khusus anti-teror menggerebek kamp pengungsi Jenin untuk menangkap "regu teror" milik Jihad Islam, sebuah kelompok bersenjata Arab Palestina. Baku tembak pun terjadi antara pasukan Israel dan anggota pasukan JI atau Jihad Islam.
Militer Israel mengatakan mereka menggerebek kamp pengungsi itu sebagai tindakan untuk menggagalkan "bakal serangan besar" oleh militan JI. Operasi yang sukses besar itu didasarkan pada "informasi intelijen yang tepat" yang diberikan oleh badan keamanan internal Shin Bet, sehingga satuan khusus anti teror Israel berhasil menyapu kaum militan di salah satu gedung di kamp Jenin.
Tindakan yang katakanlah kata pengantar pemerintah sayap kanan Benyamin Netanyahu itu - baru Desember tahun lalu dikukuhkan kabinetnya - langsung disambut aksi teror yang memakan korban 7 jiwa dan belasan luka-luka di kota tua Yerusalem. Teroris Arab Palestina itu menembak mati tujuh orang di dekat sebuah sinagoga di Yerusalem Timur sebelum akhirnya ditembak mati petugas. Menyusul pada hari Sabtu, seorang Arab Palestina menembak dan melukai dua orang Israel di lingkungan Arab Palestina di Silwan, dekat kota tua Yerusalem.
Hamas, dengan orkes radikalnya, seperti biasa langsung meluncurkan sejumlah roket dari Gaza. Meski semuanya berhasil dihadang sistem pertahanan Iron Dome, tapi tak urung beberapa saat kemudian IAF melancarkan pengeboman presisi ke sarang roket teror Hamas di Gaza.
Juga tak mengejutkan melihat warga Arab Palestina merayakan terbunuhnya warga Israel tsb. Dan seperti biasa koor pemimpin Otoritas Arab Palestina dan Hamas yang kemudian diikuti sejumlah pemimpin Arab mulai berkumandang lantang di angkasa middle-east dan dunia. Seperti biasa jugalah teriakannya yi tentang status Temple Mount di kota tua dan tentang perlunya DK PBB bertindak tegas terhadap Israel. Lagu terklasik di antaranya adalah meniadakan Israel atau sekurangnya membuat Israel mundur dari Yerusalem.
Salah satu pemicu ketegangan adalah unsur-unsur sayap kanan dalam pemerintah baru Israel. Pemerintahan Benyamin Netanyahu telah memperkecil kemungkinan Israel berkompromi atas masalah Arab Palestina. Pemicu lainnya adalah banyak orang Arab Palestina khawatir terjalinnya hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab sebagai follow-up Abraham Accord akan semakin meminggirkan masalah Arab Palestina.
Radikalisme yang selalu berujung aksi teror ini sesungguhnya bukan barang baru di middle-east. Di zaman Ottoman (Turki), main hakim sendiri dibebaskan oleh pemerintah kolonial Turki. Orang Arab tak pernah lepas dari pemimpin-pemimpin suku yang sudah berperang satu sama lain sejak Islam lahir bahkan jauh sebelum itu. Lihat Lawrence of Arabia seorang pamen British Army yang piawai menggunakan kepala-kepala suku sebagai sekutunya dalam mengenyahkan Turki dari tanah Israel yang kebablasan disebut sebagai Palestina sampai sekarang.
Sejak awal 1900-an Israel sudah dihujani terorisme Arab Palestina, dan Israel pun membalasnya dengan tindakan serupa seperti Haganah sayap pertahanan pemukim Yahudi yang kelak menjadi IDF. Haganah didirikan oleh para Aliyah atau orang-orang Israel yang mulai eksodus balik ke tanah Israel dari Eropa ataupun dari dunia Arab.
Warga Arab eks Ottoman selalu menteror para pemukim Israel diladang-ladang pertanian mereka. Warga Yahudi melalui Haganah membalasnya tak kalah keras. Dan ini terus berlangsung sampai Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1948 setelah 2000 tahun masa diaspora atau terpencar-pencar ke seluruh dunia pasca penghancuran Temple Mount pada 70 M oleh Titus, Kaisar Romawi,
Bangsa Israel yang tua itu sudah tertempa zaman yang banyak menyakiti mereka mulai dari zaman Nebukadnezar, Romawi, Ottoman dan Inggeris.
Sebagai contoh adalah term Palestina (Palestine) itu sendiri yang sesungguhnya adalah nama sebuah bangsa asal pulau Kreta yang sudah punah di zaman keemasan Israel di masa Kerajaan Daud tahun 3000 SM.
Di masa pemberontakan Bar-Kokhba (132-135 M) melawan penjajahan Romawi yang kejam -- jauh sebelumnya yi pada 70 M Romawi telah menghancurkan Temple Mount - dan gagal. Kekaisaran Romawi yang marah besar dengan pemberontakan itu lalu mengambil kebijakan mengganti nama Israel dengan nama Palestina sebagai simbolisasi Israel sudah dihapuskan dari muka bumi pasca Bar-Kokhba. Itulah nama yang digunakan orang Arab yang bermukim di tanah Israel sejak Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1948, dan sehabis perang enam hari pada 1967, nama Palestina resmi digunakan oleh orang-orang Arab ini.
Israel sejak masa pemerintahan Golda Meir sudah berpijak pada acuan bahwa Israel takkan lagi mengulangi kejatuhan Israel di masa lampau seperti pada 586 SM oleh Raja Babel Nebukadnezar, pada 70 M oleh Romawi dan pada 1940-an oleh Hitler dan Nazi Jerman dan radikalisme Arab tmt 1948 sampai sekarang.
Tak heran Terorisme dan Temple Mount seakan semakin menjepit Israel di dalam tatanan global sekarang. Dunia barat yang sesungguhnya tahu apa siapa dan bagaimana Israel, belagak pilon tidak mau tahu, karena sistem sekular barat lebih mengutamakan kepentingan nasional mereka ketimbang sejarah penaklukan Israel dari masa ke masa. Dunia Arab juga sama, mereka memanfaatkan masa kekuasaan Ottoman tempo doeloe yang jelas-jelas bukan orang Arab sebagai titik pijak untuk melancarkan aksi teror anti Israel sebagaimana tergambar dalam Haj Amin al-Huseini mantan Imam Besar Yerusalem yang pro Nazi Jerman di masa PD II. Yang penting Nazi Jerman selaku musuh besar Israel adalah sahabat Arab Palestina.
Dalam konteks now kita lihat unsur kanan jauh ini dalam sosok Itamar Ben-Gvir, menteri keamanan nasional Israel yang belum lama ini mengunjungi Temple Mount di kota tua Yerusalem. Semua orang panik bahwa ribuan roket teroris bakal menghujani Israel; Israel bakal menghadapi invasi dari semua sisi; AS akan segera meninggalkan Israel. Singkatnya, Israel yang happy sekarang ini bakalan berakhir.
Ben-Gvir kebayang sebagai sebuah sosok aneh dalam teater middle-east. Bayangkan, seorang murid Rabi Meir Kahane harus menginjakkan kaki di knesset, apalagi di kabinet. Hampir semua orang tahu, Ben-Gvir, murid Rabi Yahudi ultra kanan itu, percaya sepenuhnya orang Arab tidak memiliki tempat di "Israel Raya". Beberapa tindakan Ben-Gvir untuk penghasutan anti-Arab dan dukungan dari organisasi di belakangnya membuktikan hal itu. Hari ini dia bisa berkata akan menentang keinginan mentornya untuk mengusir semua orang Arab, tapi di kedalaman dirinya mengusir Arab Palestina adalah tujuan ideologisnya.
Fakta bahwa partainya Otzma Yehudit mendapat begitu banyak kursi di Knesset menggarisbawahi situasi polkam yang tidak dapat dipertahankan yang dihadapi setengah juta orang Israel yang tinggal di seberang Garis Hijau. Banyak yang memilih partainya karena lima dekade setelah Israel menguasai wilayah itu, masih belum diputuskan apakah itu milik Israel atau bukan. Sementara itu, orang Arab Palestina disana membangun sesuka hatinya di mana pun mereka mau dan menyerang orang Yahudi di mana pun mereka mau. Tidak heran jika orang Israel disana tidak sabar untuk mendapatkan status hukum permanen yi aneksasi dan tindakan tegas terhadap orang Arab Palestina.
Jika ada partai Zionis religius tanpa Ben-Gvir, kemungkinan akan menerima jumlah suara yang hampir sama, karena situasi di atas. Dalam situasi sekarang setelah ada perjanjian Abraham, sungguh tak diduga Benjamin Netanyahu membawa Ben-Gvir ke parlemen dan kemudian ke kabinet. Ben-Gvir adalah sayap terkanan pemerintahan Israel sekarang.
Apa hubungannya dengan konsekuensi perjalanan kecil Ben-Gvir ke Temple Mount, tempat tersuci Yudaisme, juga situs tersuci ketiga Islam? Sesungguhnya tidak ada. Mengapa? Karena tidak ada yang terjadi.
Kehadiran sosok seperti Ben-Gvir disana haruslah dicermati sebagai membuktikan adanya reaksi ekstrem terhadap kunjungan singkatnya ke situs suci itu sesuai dengan gambaran umum di Israel dan gambaran yang ada di benak mereka warga dunia yang mengerti realitas politik di Israel.
Di dunia Arab, dan semakin banyak di belahan dunia lainnya, kehadiran semacam itu dianggap sama dengan melakukan sesuatu. Misalnya, Yordania, Mesir, Otoritas Arab Palestina, dan Hamas mengecam kunjungan Ben-Gvir dengan kata-kata yang gamblang, seperti "menyerbu Al-Aqsa", "mencaplok Al-Aqsa", masjid yang bahkan tidak didekati oleh Ben-Gvir.
Keributan ini dimulai dan diakhiri dengan pernyataan marah. Itu berlaku bahkan untuk pemerintah AS yang langsung membingkainya dalam konteks "membahayakan solusi dua negara" Israel dan negara Arab Palestina yang seharusnya hidup berdampingan dalam damai.
Dalam kenyataannya solusi dua negara itu tidak relevan lagi sekarang setelah Arab Palestina menolak beberapa tawaran untuk bernegara. Kecaman AS dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kegagapan politik karena tak lagi bisa membedakan kehadiran dengan tindakan.
Mereka yang belum tahu termasuk politisi Indonesia yang pro membabibuta terhadap Arab Palestina akan berpikir bahwa orang Yahudi tidak pernah memasuki Temple Mount. Namun Ben-Gvir sendiri telah mengunjungi Temple Mount beberapa kali selama bertahun-tahun. Orang Yahudi mengunjunginya hampir setiap hari. Satu-satunya perbedaan adalah sekarang Ben-Gvir adalah menteri kabinet di pemerintahan sayap kanan.
Selama masa jabatan pertama Netanyahu, pada akhir 1990-an, berita lokal Israel dan middle-east pada umumnya akan mengomentari setiap kejadian ntah itu penghinaan, penghujatan, setiap hal kecil dan setiap pernyataan apapun dari pemerintah.
Begitu partai buruh berhaluan kiri mengambil alih, pemerintah mencoba untuk tidak memberikan pernyataan apapun.
Gamblangnya pemerintah sayap kanan selalu ingin memberi tahu pers mengapa mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebaliknya pemerintahan sayap kiri akan melakukan sesuatu, maka pers tidak diberitahu agar tidak menghalangi action pemerintah.
Dalam konteks ini, Ben-Gvir telah menyampaikan maksudnya, dan warga Israel sekarang dapat kembali ke kehidupannya semula sebagaimana di masa lampau yang jarang bahkan tak pernah dinarasikan politisi lokal maupun luar negeri.
Masalah domestik, seperti mengupdate sistem pengadilan Israel atau mengubah Hukum Pengembalian Tanah, jauh lebih serius, tetapi karena itu adalah masalah lokal, maka perlu ditangani oleh orang Israel.
Meski setelah kunjungan, tidak ada invasi, tidak ada pengabaian AS, tidak ada roket. Itu tidak berarti bahwa orang Arab Palestina tidak akan menembakkan roket ke sana-sini, karena itulah yang biasa mereka lakukan, apa pun kejadiannya.
Bahkan jika Israel mencaplok sesuatu seperti pemukiman, ujian yang seharusnya adalah apa yang sebenarnya berubah di lapangan? Kalau memang tak ada, maka sudah saatnya Israel bersatupadu untuk sebuah ketegasan.
Kecaman apokaliptik terkait kunjungan Ben-Gvir ke Temple Mount sungguh tak berguna. Demikian juga kecaman lokal maupun luar negeri terkait status Temple Mount dan aksi terorisme yang berkepanjangan di Israel maupun middle-east.
Viscious circle itu sudah saatnya dihapus dari peta Israel. Israel-lah penguasa sah disana sekarang dan Israel pulalah yang harus mengubah Sistem Peradilan dan soal status tanah di tanah Israel sebagaimana di masa lampau.
Lahan di middle-east itu masih sangat luas. Jangan hanya gegara terorisme sepihak dari radikalis Arab Palestina, seluruh negara selalu menggaungkan tuntutan yang tak ada historisitasnya.
Joyogrand, Malang, Mon', Jan' 30, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H