Mengendus Koalisi Gerindra-PKB Menuju Pilpres 2024
Sejak Agustus tahun lalu, Gerindra dan PKB telah membentuk koalisi. Ini tentu tak lepas dari presidential threshold. Gerindra yang meraih kursi parlemen dalam pemilu 2019 sebesar 13,57% dan PKB sebesar 10,09%. Total keduanya 23,63%. Ini artinya syarat presidential threshold minimal 20% sudah terpenuhi dengan koalisi itu.
Untuk kontestasi Pilpres 2024 yad kedua parpol tsb cukup duaan wae tak perlu tambah parpol lain. Hanya tinggal menyepakati siapa yang kebagian capres dan siapa cawapresnya. Jangan seperti Nasdem yang mencapreskan Anies tapi tak jelas juntrungannya sampai sekarang.
Kerjasama Gerindra-PKB konon dilatarbelakangi keinginan menyatukan dua kekuatan besar di Indonesia yakni nasionalis dan religius untuk menghindari polarisasi masyarakat pada pemilu 2024 yad dan dapat membuka koalisi dengan partai politik lain atas persetujuan kedua belah pihak.
Prabowo adalah capres tunggal Gerindra. Begitu pula Muhaimin Iskandar atau cak Imin yang adalah keponakan alm Gus Dur. Dia juga capres tunggal PKB, bahkan Cak Imin sudah cukup lama digadang-gadang kaum nahdliyin Jatim menjadi Capres. Poster pencalonannya sejak tahun lalu sudah ada di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jombang dst.
Mengutip BPS, PDI-P meraih 22,26% dari jumlah kursi DPR RI sebanyak 575 kursi pada Pemilu 2019. Dengan demikian, PDI-P berhak mengusung capres/cawapres pada Pilpres 2024 tanpa harus melakukan koalisi.
Sementara, 8 partai lainnya harus melakukan koalisi agar perolehan kursi mereka di DPR RI dapat memenuhi ambang batas untuk dapat mengusung capres-cawapres.
Kedelapan partai tsb adalah Golkar meraih 14,78% kursi DPR RI, diikuti Gerindra (13,57%), Nasdem (10,26%), PKB (10,09%), lalu dikuntit Demokrat (9,39%), PKS (8,7%), PAN (7,65%) dan PPP (3,3%).
Parpol lainnya saya kira perlu berkoalisi lebih dari 2 parpol. Nasdem misalnya yang sempat bikin gaduh dengan pencapresan Anies. Nasdem konon akan berkoalisi dengan Demokrat, setelah memastikan Anies capres dan AHY cawapres (kalau mau). Kalaupun terjadi, koalisi itu jelas masih kedodoran 0,35% lagi. Itu artinya harus cari mitra lain, katakanlah yang terkecil PPP yang hanya 3,3%.
Pemilu 2019 lalu diikuti 16 parpol. Ke-9 parpol di atas berhasil lolos ke Senayan. Sementara, 7 partai lainnya tidak memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 4% dari suara sah nasional, tapi ke-7 parpol yang teranulir ini masih dapat berkiprah di parlemen daerah.
Rute untuk menjadi presiden RI memang tak mudah, apalagi sistem multi partai di Indonesia masih sedang berproses. Partai lama sendiri misalnya yang adalah fusi dari banyak partai di masa Orba seperti PDI-P, Golkar dan PPP, pada kenyataannya masih berproses. Kalaupun muncul partai-partai berlabel agama sekarang ini seperti PKB, PAN, PKS dan PBB, itu hanya menunjukkan parpol identitas yang tenggelam di masa Orba seperti Masjumi dll bereinkarnasi kembali dalam sosok partai-partai baru tsb. PDIP juga demikian, kita lihat misalnya PSI, partai buruh dll. Itu reinkarnasi dari partai yang tenggelam di masa Orba, bahkan Golkar yang adalah partai ciptaan penguasa Orba dan kemudian menjadi mayoritas tunggal sepanjang era Orba, juga ada reinkarnasinya dalam sosok Partai Buruh, Hanura, Gerindra dll.
Ini tak terhindarkan karena keragaman politik di negeri ini belum sampai pada kematangan politik yang lepas dari subyektivisme pribadi dan kelompok.
Kembali ke gagasan Gerindra-PKB yang konon berkoalisi untuk mempersatukan kekuatan nasionalis dan kekuatan religius. Ini sebetulnya bukan konsep baru. Presiden pertama RI Soekarno sudah lama terobsesi dengan penyatuan ini, bahkan ialah yang menciptakan term Nasakom yang kontroversial itu.
Di masa Orla, Nasakom tentu tidak kontroversial, hanya setelah kudeta merangkak Soeharto dibantu CIA berhasil menggulingkan Soekarno dengan kambing hitam utama adalah PKI yang dituding sebagai penyebab bencana nasional itu, maka istilah Nasakom sontak diharamkan di negeri ini.
Munculnya thesis baru Nasakom itu "hantu" dan ini kemudian diiyakan oleh mayoritas bangsa yang tergiring oleh pengkondisian yang dilakukan regime, maka kita bisa mafhum, karena tingkat melek politik publik ketika itu masih sangat rendah sekali. Mereka blas buta sama sekali ada apa di balik itu semua.
Komunis dari kata latin communis atau bersama-sama adalah istilah politik dan ideologis dengan beberapa arti yang muncul di Perancis sekitar tahun 1840. Ini menunjuk pada : (1) utopia-sosio teoretis; (2) ajaran politik dan ekonomi, khususnya Marx dan Lenin, dengan tujuan membangun masyarakat bebas dominasi dan tanpa kelas; (3) menunjuk gerakan dan partai politik; (4) menunjuk sistem pemerintahan seperti RRC dan Federasi Rusia sekarang.
Komunis tak ada hubungannya dengan hantu yang diciptakan Orba bahwa komunis itu tak beragama. Dalam term lain kita akan menemukan fenomena serupa yi PSI atau Partai Sosialis Indonesia. Dulu Soemitro Djojohadikusumo ayahanda Prabowo adalah dedengkotnya. Atau kenali dulu paham sosialisme yang berlaku di dunia sekarang, seperti Perancis misalnya yang tak sepenuhnya kapitalistis tapi diimbangi dengan instrumen sosialis untuk menjinakkan kejalangan kapitalisme barat.
Dalam konteks global sekarang, Communism dan Socialism tak ada bedanya. Juga tak ada yang namanya pelarangan beribadah di RRC dan Rusia, bahkan Korea utara. Undang-undang dasar negara mengatur tentang keberadaan agama dan keberagamaan di negara tsb, dengan catatan sejauh umat beragama tak melanggar aturan sekular dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
So penyatuan kekuatan nasionalis dan religius dari koalisi Gerindra-PKB hanyalah sekadar jargon politik yang takkan banyak mempengaruhi kedewasaan berpolitik bangsa ini.
9 parpol yang ada di parlemen sekarang. Itu juga nggak abadi. Sesuai sikon, ada saatnya mereka terhempas, seperti PSI, PBB, Buruh, Hanura dll pada pemilu 2019. Begitu juga dengan pemilu 2024 yad. Dipastikan parpol yang raihan suaranya kecil pada Pemilu 2019, merasa ketar-ketir menghadapi pemilu 2024 yad. Tak heran Nasdem buru-buru menyambar Anies sebelum lengser dari kegubernurannya akhir tahun lalu. Paling tidak tail-coat effect-lah yang diharapkan dari Anies untuk pemilu yad.
Politik sejauh ini terlalu banyak dikupas dari segi delusi politik, seakan nyata padahal maya, seperti kalimat seorang petinggi : Â "kita sedang membahas bagaimana memperbaiki nasib rakyat sekarang ini". Sadarlah, kalimat itu hanyalah wacana dan wacana.
Yang konkret, politik adalah urusan perut dan kocek kita. Apakah kita hanya tongpes atau tak makan hari ini atau tongpes sepanjang hari, bulan dan tahun ke tahun atau kita kelaparan atau kocek kita terbatas atau berlebih dst. Itulah politik bukan dalam arti delusi, tapi dalam arti konkret "cogito ergo sum", mengutip Rene Descartes.
Karena begitu konkretnya pemaknaan di atas, maka tak salah kita bertanya apakah ke-9 parpol yang ada di parlemen sekarang sudah mempunyai pandangan yang pasti bagaimana setelah kader mereka berkuasa nanti, apakah akan mampu memanage pemerintahannya untuk mengisi kocek kita dengan uang yang cukup dan manusiawi, mampu mengisi perut kita dengan makanan empat sehat lima sempurna, mampu secara pancasilais memanage perawatan kesehatan kita, atau masih tetap terpaksa mati di lobby RS lantaran tak sanggup bayar uang muka RS yang sangat kapitalistis itu.
Haqqul yaqien, selain PDI-P yang mempunyai mahaguru politik luarbiasa seperti Soekarno, partai lain sepertinya masih dalam taraf pelatihan untuk dapat lebih trampil dalam berpolitik konkret seperti itu. Mereka harus membuktikannya dalam proses pengkaderan di internal partai dan bagaimana berkomunikasi dengan grass root untuk mendapat masukan bagaimana berbuat konkret di negeri ini. Dan bagaimana agar hoax induk yi "hantu komunis", "hantu China" dan hantu-hantuan lainnya dapat dieliminir dari bumi persada ini.
Joyogrand, Malang, Tue', Jan' 24, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H