Melestarikan Rumah Tua Dan Pohon Tua Dalam Kepariwisataan Kita
Traveling atau melakukan perjalanan ke obyek-obyek wisata tertentu di masa kini boleh dikata sudah merupakan kebutuhan yang sangat wajar bagi siapapun.Â
Kalau Maslow mengatakan ada kebutuhan primer, sekunder, tersier dan ditambahi lagi kekinian yi kuarter, maka kebutuhan untuk melepas penat atau rasa jenuh dan ingin pengalaman baru yang membawa kita berfantasi ria. Untuk mudahnya itu kita sebut saja sebagai kebutuhan sekunder manusia.
Tapi dalam kepariwisataan ada sebuah garis panjang yang dihubungkan oleh titik-titik kepariwisataan. Itu artinya jarak. Kalau berwisata jaraknya hanya sepelemparan batu, mungkin tak jadi masalah.Â
Tapi kalau titik dimana kita tinggal dihubungkan dengan titik kepariwisataan di seberang benua atau katakanlah di seberang pulau dari titik dimana kita tinggal. Ini tentu masalah, karena itu urusannya kocek.Â
Terjangkau atau tak terjangkau oleh kocek kitorang. Semakin jauh dan wah. Itu bukan lagi kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan tersier (mewah) dan kuarter (super mewah).Â
Kan tak ada lagi yang gratis di portibi atau dunia ini, kecuali sinar mentari, udara, hujan dan burung-burung yang beterbangan di angkasa kita.
Karenanya pemerintah dangan segala visi dan impian yang konon diijir dari rakyat secara bertahap mencoba menggebrak dengan upaya pemberdayaan ekonomi, ntah itu dimulai dari infrastruktur fisik dan mengajarkan masyarakat agar bisa menapaki hidup secara efisien.Â
Untuk mudahnya berdayakan dirimu dengan fasilitas yang dibangunkembangkan pemerintah dan ajari pelanjutmu agar berilmu dan berketrampilan untuk dan dalam rangka kemandiriannya ke depan.