Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Berinduksi dari Keresahan Publik tentang Politik, Hukum, dan Ekonomi

24 Oktober 2022   16:34 Diperbarui: 24 Oktober 2022   16:36 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah mural di Jln Inspeksi dekat RSCM dengan slogan Hentikan Korupsi. Foto : Parlin Pakpahan.

Politik dan berpolitik bukanlah karya intelektual berbobot di negeri wakanda ini, tapi politik dan berpolitik bagi para poliyo disini adalah soal gaming kekuasaan. Maka tak heran tetiba Anies yang bukan kader internal Nasdem langsung dicapreskan Paloh. Koalisi-koalisian pun semakin ramai dan ramai. Mereka berpikir gaming, coba gandeng sana gandeng sini. Pendeknya bagaimana membangun koalisi agar 20% threshold dimaksud dapat klop. Tapi sekaligus naif, koalisi itu atas dasar kesamaan apa dan bagaimana. Inilah sistem banci yang sama sekali tak pas dengan sistem presidential kita.

Lalu, ekonomi setelah Minyakita yang tak kunjung merakyat itu apa sudah selesai. Oh No. Bahkan muncul belum lama ini ide kompor listrik untuk mengganti kompor Elpiji yang belasan tahun lalu digelindingkan JK untuk menggantikan kompor minyak tanah yang ntah sudah raib kemana sekarang. Belum selesai bernafas dalam lumpur pada isu gelitikan asing itu, muncul lagi ide mobil listrik, sementara mobil listrik yang dulu dicoba-coba Dahlan Iskan ntah sudah raib kemana.

Kalau soal ekonomi, kita barangkali bisa kembali ke Nabi 1970-an yi Ivan Illich yang telah lama memprediksi fenomena degradatif dari modernitas. Illich adalah pemasok kebenaran yang mustahil, kebenaran yang begitu radikal yang mempertanyakan keyakinan modern kita tentang kemajuan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan dan pendidikan dan mobilitas.

Orang-orang adalah makhluk relasional yang tertanam dalam matriks kosmos alam. Kita berangkat dari masa lalu dengan mengutamakan peran manusia di alam semesta sebagai yang teratas dan terpisah dari semua makhluk lainnya. Kita pun secara efektif menyatakan "kematian alam", mengubahnya menjadi sumberdaya untuk memberi makan "pleonexia" atau keserakahan radikal yang memicu pembangunan dan kemajuan, yang mengubah keinginan menjadi kebutuhan tanpa akhir.

Kebangkitan teknologi sosial yang menguniversalkan institusi telah melampaui batas tradisional komunitas vernacular atau komunitas awam dengan beragam dialek dan memanfaatkan manusia ke lintasan pertumbuhan tanpa batas, menciptakan "monopoli radikal" melampaui cara dan sarana kehidupan. Itu semua menumpulkan setiap alternatif untuk industrialisasi sesuai keinginan masyarakat konsumen. Orang-orang dan komunitas kemudian kehilangan pengetahuan praktis untuk menciptakan alat yang sesuai dengan kebutuhan dan pilihan mereka sendiri. Dirampok dari kompetensi seperti itu, mereka menjadi budak bagi logika lembaga-lembaga itu alih-alih dengan cara mereka sendiri.

Pergeseran ini itu dan ono terkait perkembangan ekonomi nasional  yang terkoneksi dengan perekonomian global sekarang, menimbulkan setidaknya pertanyaan apakah kita hanya ikut-ikutan kegenitan sains modern yang dalam hal ini harus kita sadari adalah tool dari kapitalisme global yang sangat rakus itu atau karena memang sudah melakukan kajian yang mendalam bahwa kita memang perlu dan harus segera beralih ke energi listrik.

Ketika Timtim masih di bawah Indonesia, kita pernah menggelindingkan listrik pedesaan dengan teknologi Photovoltaic Surya, sebuah teknologi yang memanfaatkan efek fotoelektrik terhadap semi konduktor tertentu ketika menyerap partikel-partikel cahaya untuk menghasilkan tenaga listrik. Teknologi yang hanya dipakai sebentar tapi seakan keren itu terbuang sia-sia begitu saja tanpa tindaklanjut. Itulah proyek konyol di masa lalu atas nama PBB dan Bank Dunia.

Dalam bukunya Energy and Equity Illich mengatakan .. siapapun yang berkendera di jalan bebas hambatan, mobilitas individu berubah menjadi kemacetan kolektif ketika setiap orang memiliki mobil. Illich benar kebajikan dari kecukupan atas kemandirian sebagai jalan keluar yang hemat dari ketergesaan menuju masa  depan, tidak dapat dipertahankan. Asal tahu, kita sejak awal reformasi sudah kecebur di comberan modern itu. Setelah diangkat-angkat telor oleh Bank Dunia dan IMF.

Kompor listrik, mobil listrik dan segala macam yang dilistrik-listrikkan sepertinya menjadi tak relevan, mengingat pembangkit listrik negara sebagian besarnya masih menggunakan minyak diesel, juga kita tak yakin bagaimana dengan setasiun-setasiun charger listrik yang harus dibangun di sepanjang pulau Jawa dan pulau-pulau besar se-nusantara. Berapa banyak duit yang harus kita gelontorkan disitu, termasuk tentu bagaimana pula dengan mobil-mobil dan kenderaan roda dua bertenaga listrik yang akan kita produksi, apakah swasembada atau full impor, karena sejauh ini kita belum pernah punya mesin buatan sendiri kecuali mesin Toyota, Daihatsu dan Suzuki eks Jepang. Tak ada tuh terdengar mesin merk Cipto, merk Tobing, merk Aminah dst.

Ketiga aspek yang semakin menajam ini bukannya ruwet. Tapi dalam terminologi wong cilik, ketiga aspek yang digambarkan tsb adalah sebuah fenomena yang mempertegas bahwa kita belum sampai ke jatidiri kita yang sebenarnya. Kita masih bermain dua kaki dengan banyak keraguan disitu.

Dunia politik yang merupakan induk dari fenomena negeri wakanda ini, hanya pandai mempertontonkan kebebasan berpendapat atas nama HAM, mengidam sistem parlementer ala Inggeris, tapi tersentak begitu nggak lagi nyabu bahwa sistem kita adalah presidential. Ribut-ribut ekonomi seakan pro ekonomi liberal, tapi kemudian sadar bahwa sistem ekonomi kita sejatinya adalah sosialisme yang religious. Berteriak rule of law, kawal dan amankan jalannya pengadilan Sambo dst, sementara korupsi hukum dan kekuasaan sudah berlangsung sejak zaman feodal jauh sebelumnya, tapi tak juga terhentikan hingga saat ini, meski sudah dikawal Komisi Judicial sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun