Kota Depok sekarang memang tidak bisa lagi sama dengan Depok 10-15 tahun lalu, apalagilah Depok Tempo Doeloe di masa Hindia Belanda, khususnya di masa pendirinya yi Cornelis Chastelein (1600-an-1714).
Depok yang adalah singkatan dari "de Eerste Protestante Organisatie van Chistenen" ("the First Protestant Organization of Christians"), dimana tempo doeloe Cornelis Chastelein menjadi tuan tanahnya dengan otoritas yang mandiri dari otoritas pemerintah Hindia Belanda yang kemudian menjadikan daerah Depok sebagai "het gemeente bestuur van het particuliere land" (the municipal administration of the private land), sebagai pengakuan atas otoritas Cornelis Chastelein di daerah Depok.
Depok Belanda yang adalah kantong historis Cornelis Chastelein di masa kini bukanlah bagian dari sebuah kota besar. Berawal pada akhir abad ke-17 ketika seorang saudagar Belanda, bernama Cornelis Chastelein (1657-1714) membeli tanah di Depok seluas 12,44 km2 (1.244 Ha) atau hanya 6,2% dari luas Kota Depok yang saat ini luasnya 200,29 km2.
Depok at now semakin padat merayap. Bisa kita bayangkan Jakarta yang sekarang berpopulasi antara 10-11 juta pada Pk 00.00, kemudian pada dini hari orang mulai mengalir dari Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor dan tepat Pk. 12.00 tengah hari Jakarta sudah berpopulasi kl 20-22 juta. Bukan main!
Tak heran KRL sudah menggelinding dari arah Bogor, Bekasi, Tangerang dan Depok kl Pk 04.00 pagi. Lebih dini lagi, kenderaan roda dua dan roda empat  mengalir dari segala arah ke Jakarta dan itu semakin menggebu jelang Pk 06.00 pagi.
Populasi Depok sekarang 2.484.186 (BPS Depok). Tak heran dengan tingkat densitas 12,40 per Km2 pada jam normal, kemudian menjadi nggak normal ketika para pekerja kembali ke Depok untuk tidur beristirahat. Dan ini terlihat pada malam minggu atau hari-hari libur tertentu, dimana Depok akan terlihat padat merayap tak ubahnya barisan siput padat merayap.
Itu sebagai gambaran mayoritas warga Depok sekarang adalah para pendatang yang bermukim di Depok dan mencari makan atau penghidupan di Jakarta. Atau sebaliknya Depok yang tak luas itu jadi tempat pertaruhan sebagian warga pendatang dari luar jawa atau internal jawa seperti Jateng, Jatim dan Jabar untuk mengadu nasib, meski hanya sekadar melapak di sektor informal seperti warung-warung makan, berdagang barang-barang kelontongan dst.
Kaoem Depok atau orang asli Depok atau keturunan langsung dari budak-budak Cornelis Chastelein yang telah berpulang pada 1742 lalu, kini ditaksir kl 3000 keluarga. Mayoritas di antaranya sudah tidak lagi tinggal di Depok Belanda.Â
Perjalanan waktu telah mengubah segalanya, terutama tekanan ekonomi. Rumah yang tadinya asri dengan jejak-jejak masa lalu sudah semakin berkurang. Tanah-tanah persawahan dan perladangan sudah tak kelihatan lagi.Â
Dulu ada kopi, ada karet dst yang berhubungan dengan plantation Hindia Belanda tempo doeloe. Kini semuanya itu sudah raib dan berubah jadi hutan beton alias perumahan penduduk garapan developer mini hingga developer kakap sampai ke ujung Citayam sana.
Warga Depok, khususnya kaoem Depok dan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) kini sangat prihatin dengan nasib bangunan-bangunan tua peninggalan Cornelis Chastelein.Â
Di Depok Lama atau Old Depok atau Depok Belanda atau Depok Heritages di bilangan Pancoran Mas, dari 57 bangunan tua, hanya sekitar 20 persen yang masih tersisa (lih Tempo https://tinyurl.com/296j9qgh).
Sebagian Depok Heritages yang masih utuh dan terpelihara dengan baik antara lain, Kantor YLCC yang terletak di Jalan Pemuda, Gereja GPIB Immanuel, bangunan sekolah SD Pancoran Mas 2, RS Harapan Depok, Taman Pemakaman YLCC, GKP dekat setasiun Depok Lama, kediaman mantan Presiden Depok tempo doeloe yang kini rumah keluarga Jonathan persis di depan RS Harapan, jembatan Panus di ujung Depok lama, Cagar Alam Cornelis Chastelein di Jln Cagar Alam tak jauh dari setasiun Depok Lama, Rumah Cimanggis peninggalan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra yang tadinya sempat terancam tergusur karena adanya proyek pembangunan UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia).Â
Kini Rumah Cimanggis yang adalah salah satu heritages penting itu telah menjadi situs yang terlindungi dengan SK Walkot Depok No. 593/289/Kpts/Disporyata/HUK/2018 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya Gedung Tinggi Rumah Cimanggis.
Sebagaimana di kota Sukabumi dan kota Malang, bangunan-bangunan tua di Depok Lama tak dapat bertahan lama, salah satunya karena tekanan ekonomi yang menyebabkan ahli waris terpaksa menjual tanah dan bangunannya.Â
Biasanya, pemilik baru memilih untuk tidak mempertahankan keaslian bentuk bangunan. Ada yang langsung dirobohkan sehingga masa lalu yang bersejarah dalam bangunan tua itu tak berbekas sama sekali.
Kaoem Depok dan YLCC telah berulang kali mengusulkan ke Pemkot maupun DPRD kota Depok untuk melindungi cagar budaya tsb, agar menerbitkan kebijakan yang mengatur supaya warga tidak sembarang merubuhkan atau merenovasi bangunan tua. Renovasi boleh-boleh saja, tapi tidak untuk merubah bentuk asli. Sayang, pemerintah seakan cuek atas perkembangan yang memprihatinkan itu.
Hilangnya sebagian besar The Old Depok berimplikasi sebagian keturunan Belanda Depok yang tinggal di luar Depok menjadi kelimpungan untuk bernostalgia mengenang suasana Depok tempo doeloe.Â
Para Depokers di Belanda pun sama bingungnya ketika berwisata nostalgia ke Depok, karena banyak rumah-rumah tua yang sudah berubah bentuk. Para Depokers yang besar dan menua di negeri Belanda itu hanya ingat catatan dan impresi para leluhurnya yang dulu bermigrasi ke Belanda. Diluar itu ya bingung tentu.
Yang terparah dari semuanya saya kira adalah Tahura atau Taman Hutan Rakyat di Jln. Cagar Alam, Pancoran Mas, Depok lama. Chauvinisme kita yang tak berdasar membuat kita dulu sembarang menamainya sebagai Tahura. Padahal itu adalah legacy Cornelis Chastelein.
Luas Tahura ini semula 150 Ha dan itu adalah hibah dari Cornelis Chastelein yang ia tulis dalam sepucuk surat wasiatnya bertanggal 13 Maret 1714 bahwa lahan hutan di Pancoran Mas dengan kontur berbukit-bukit, tidak doleh dipindahtangankan dan harus dikelola sebagai sebuah cagar alam atau "natuurreservaat" karena keindahan alamnya.
Dua abad kemudian atau tepatnya 31 Maret 1913, cagar alam tsb diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk kemudian dikelola oleh Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda. Kawasan ini kemudian dikukuhkan sebagai cagar alam berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7 tgl 13 Mei 1926.
Di zaman merdeka setelah melewati era gedoran Depok yang dipenuhi para maling dan kaum oportunis penjarah, dan melewati masa orde baru Soeharto, ee nama Tahura tiba-tiba muncul dengan mencoret begitu saja nama Cornelis Chastelein yang seharusnya disematkan dengan nama Cagar Alam Cornelis Chastelein. Kini lahan 150 Ha legacy Chastelein telah menciut dahsyat hanya tinggal antara 3-4 Ha saja. Siapa yang bertanggungjawab? Tak jelas.
Kedatangan Lambert Grijns Dubes Belanda ke Depok belum lama ini sebetulnya adalah dalam rangka menjajaki kawasan Depok Lama yang dikenal sebagai legacy tempo doeloe.Â
Selain bertemu dengan Walkot Depok Mohammad Idris, Grijns juga bertemu dengan perwakilan UI yang dipercaya pemkot Depok untuk mengembangkan kawasan heritages di Depok lama, termasuk bertemu dengan generasi ke-10 kaoem Depok atau asli keturunan Depok Belanda yang masih settled di Depok lama, khususnya mereka yang tinggal di bilangan Jln Pemuda.Â
Pemkot dan Grijns sudah bersepakat dalam banyak hal untuk pengembangan Kawasan Depok Belanda sebagai daerah cagar budaya dan wisata sejarah. Inilah yang dalam konteks kepariwisataan sekarang disebut sebagai "Depok Heritages".
Mumpung isu itu masih panas, maka tentu semua ide terbaik yang berkembang perlu segera ditempa tanpa reserved. Kalau sudah mendingin, tentu apapun yang terbaik disitu takkan tertempa lagi. Jangan-jangan palu penempanya malah yang pecah berantakan.
Mari kita lihat RS Harapan yang adalah salah satu legacy terbaik di Jln Pemuda yang tempo doeloe bernama Jln Gereja, kini telah dikosongkan dan disegel, dan mari kita lihat SD Pancoran Mas 2 yang berhadapan dengan Bajawa Cafe yang juga sudah dikosongkan dan disegel. "Itu Pak, bayar sewanya nggak keruan sesukanya, kadang bayar kadang tidak. Kedua penyewa ntah RS maupun SD Pancoran Mas 2 ya begitu, demikian Merry Samuel seorang perempuan setengah baya kaoem Depok yang sempat berbincang dengan penulis.
Geliat dadakan ini sepertinya adalah dampak dari sengatan beberapa tulisan saya di Kompasiana, termasuk sengatan dari sejumlah media yang mengkritisi tentang hampir hilangnya situs Rumah Cimanggis dan ini semakin berkembang dengan adanya rencana Pemkot Depok untuk tahun 2023 yad berharap dari berkembangnya kepariwisataan sejarah dan budaya di kota Depok.
Kita tentu harus respek kepada pihak Belanda yang telah mengutus Mr Grijns untuk berbicara dan tatap muka langsung dengan Walkot Depok, termasuk dengan perwakilan UI yang dipercaya Pemkot dapat mendesain pengembangan Depok Heritages dimaksud.Â
Kitapun menyambut gembira Grijns telah berbicara langsung dengan representasi kaoem Depok di Depok Belanda, termasuk dengan para Depokers di negeri Belanda yang tentu merasa perlu terhubung dengan sejarahnya di kota Depok sekarang.
Dalam konteks Depok. Kita hanya perlu menggarisbawahi legacy tempo doeloe dan bukan bahwa itu berbau Belanda atau itu berbau kolonialisme dan bla bla bla Chauvinisme sempit yang sama sekali tak berdasar.Â
Depok adalah legacy seorang tokoh etis Belanda tempo doeloe yang tak mau berkonspirasi dengan VOC untuk mengeksploitasi habis-habisan Indonesia. Cornelis Chastelein bukan pula penginjil dan sebangsanya. Ia adalah seorang Humanis Besar pada zamannya yang berhasil membebaskan budak-budak perkebunannya menjadi manusia merdeka.Â
Kalaupun kedua belas nama marga kaoem Depok dia yang menyematkannya. Itu bukan berarti telah terjadi kristenisasi sejak zamannya. Tidak! Justeru pada masanya, Chastelein dalam catatan otentik sejarah, juga menghibahkan tanahnya yang sangat luas itu kepada kalangan Muslim.
Jadi adalah salah besar kalau di zaman Walkot Depok Nurmachmudi Ismail ada larangan menyematkan nama Cornelis Chastelein pada monumen pembebasan budak di depan RS Harapan yang dikatakan sebagai kebelanda-belandaan.Â
Oh no. Monumen itu adalah untuk mengenang betapa pada tahun 1700-an terjadi peristiwa besar yi Cornelis Chastelein membebaskan budak-budak perkebunannya menjadi manusia-manusia merdeka yang bermartabat.
Saya pikir, pengosongan dan penyegelan rumah-rumah atau bangunan-bangunan tempo doeloe yang bernilai tinggi dalam sejarah kota Depok perlu segera ditindaklanjuti, termasuk juga bagaimana agar rumah ibadah di sebelah Alfamart dan KPP Pratama yang ada di Jln Pemuda diajak berkordinasi bagaimana agar pengeras suara jangan dibunyikan semena-mena, karena Jln Pemuda Depok lama yang cukup Panjang itu adalah kawasan heritages yang akan dikembangkan sebagai salah satu ikon kota Depok.Â
Kalau Bajawa Cafe sudah berdiri, mungkin tak jauh dari rumah ibadah dimaksud juga akan berdiri heritages lain yang sudah fresh atau boleh jadi sebuah cafe khas Depok Belanda, seperti Jacob Koffie Huis di Jln Kemuning, Louis Cafe di Jln Siliwangi, De Gade Cafe di Jln Siliwangi dst. Maka kalau cafe dimaksud berdekatan nanti, tentu kita harus mau berkordinasi dan bertoleransi penuh.Â
Sesuaikanlah suara elektronik itu dengan decibel yang telah ditentukan oleh Menag belum lama ini. Dan jangan pernah paksakan bahwa semua harus dipengerassuarakan di tempat sumber suara yang belum terprogram dengan baik itu, kecuali panggilan untuk memuliakan Tuhan.
Perlu digarisbawahi, apabila kawasan heritages ini telah mewujud di sepanjang Jln Pemuda, maka tentu frequently akan diselenggarakan katakanlah Depok Tempo Doeloe sebagaimana Malang Tempo Doeloe di sepanjang Ijen Boulevard.Â
Di sinilah arti kata toleransi itu perlu kita maknai lebih jauh. Sebagian dari Depok lama ini kan sudah berpindah tangan karena ketertekanan ekonomi dan dinamika kaoem Depok itu sendiri. So, bukan salah bunda mengandung bukan.
At the end, Pemkot Depok sudah mencanangkan bahwa tahun 2023 yad kota Depok sudah harus mempunyai kawasan heritages yang dapat dibanggakan warganya dalam kepariwisataan kota sebagaimana halnya Malioboro Heritages di Yogya dan Kajoetangan Heritages di downtown Malang.
Depok Bolanda, Fri', Oct' 21, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H