Tetapi tentu tak ada yang sempurna bukan. Di Unit Pelayanan Kesehatan Mata ini saya pikir yang sedikit agak ribet hanya di bagian pengguliran pasien yang akan ditindaklanjuti oleh akhli mata. Sepertinya ada penumpukan dokumen pasien baru dan pasien yang sudah lama. Data yang dioper ke basement turun-naiknya tak terkontrol dengan baik, bahkan ada kesan teraduk-aduk, sehingga ada penumpukan yang tak perlu, yang membuat ada pasien yang datang pagi, sampai Pk 13,00 belum terlayani juga atau sebaliknya. Tetapi ini saya pikir masalah kecil terkait kordinasi yang tak optimal saja. Kepala unit pelayanan disini diketuk sedikit saja oleh komando di atasnya, maka persoalan sepele tapi cukup meresahkan antrian pasien ini akan dapat diatasi dan ke depannya pelayanan pasien akan bergulir lagi dengan lancar sesuai flow of chart dari protap klinik mata ybs.
Nah, menunggu doi dalam antrian dan pelayanan medik oleh akhli mata, saya iseng jalan-jalan, keluar klinik mata. Ke kanan saya nyasar sampai ke pasar tradisional Cikini. Celingak-celinguk sembari cari sasaran kamera, saya agak terkejut ternyata ada sejumlah engkoh-engkoh yang jualan disini. Biasa barang kelontongan. Lalu saya lihat, masih di Jln. Kimia, berbanjar kios-kios pedagang informal yang diizinkan Walkot Jakpus untuk berdagang disini, utamanya ya warung-warung makan sederhana. Yang agak elit sedikit ada seorang Chinese Betawi yang jualan Mie Ayam dan segala mie-mie-an yang dibandrol dengan harga 30 rebeb sampai 40 rebeb. Rumahmakan lumayan ini tak jauh dari bibir sungai yang membelah Jln Diponegoro, yang di seberangnya ada Jln. Inspeksi dan di sebelahnya lagi menjulang agak tinggi gedung vip RSCM untuk pasien rawat-inap yang bernama Kencana.
Diluar dugaan Kemenparekraf pun ada di Jln Kimia ini. Persisnya Direktorat Tata Kelola Destinasi dan Pariwisata Berkelanjutan, Direktorat Infrastruktur Ekonomi Kreatif, Direktorat Pengembangan Destinasi Regional I dan Direktorat Pengembangan Destinasi Regional II. Juga terlihat gudang logistik farmasi RSCM bersebelahan dengan kemenparekraf tsb. Pantesan, pedagang-pedagang informal yang ada di sepanjang trotoar Jln Kimia itu nggak ada yang beringasan, malah mereka dipandang sangat membantu para karyawan yang bekerja di sekitarnya.
Disinipun secara keseluruhan saya lihat new normal sudah baku dalam perilaku komunitas yang berjejaring disitu. Semuanya bermasker, termasuk sejumlah pengamen yang menjajakan lagu-lagu Koes Plus dan Deddy Dores. Mereka hanya membuka masker ketika bernyanyi saja. Dan mereka juga tak pernah memaksa semua orang harus memberi duit kepadanya.
Yang sedikit unik adalah komunitas di sekitar mulut jembatan anak kali Ciliwung yang menjembatani Jln Kimia dan Jln Inspeksi yang apabila dilanjut ke utara, kita akan sampai di bilangan Kramat. Disini komunitasnya tak banyak. Mereka ngopi beristirahat setelah lelah memacu Gobike dan Grabbike atau taxi onlinenya ke seantero Jakarta. Juga ada terlihat sejumlah mobil ambulance swasta yang parkir di ujung Jln Kimia dan Jln Inspeksi. Sepertinya ambulance ini dikomersilkan untuk mereka yang memerlukannya ke RSCM.
Mpok kopi itemnye due, kasi gule secukupnya aje ye, kata seorang driver seraya menyeka keringat di dahinya. Udara memang cukup panas ketika itu. Meski nyaris di kolong jembatan, tapi warkop mpok-mpok itu terkesan bersih dan rapi, bahkan terasa teduh karena dinaungi pepohonan tua di sekitarnya. Dan si mpok, yang dibantu suaminya melayani mereka yang mau ngopi atau sekadar ganjal perut dengan mie instan disitu, keduanya tetap konsisten bermasker dan jaga jarak. Pengunjung yang tak bermasker pun hati-hati dalam menjaga jarak, termasuk irit omong. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa pandemi belum berakhir.