10 jam di Selat Ombai luar biasa. Angin berhembus sedang-sedang saja. Cuaca pun mendukung ketika itu. Laut dari semula berwarna biru semakin ke tengah semakin hitam. Pertanda Selat Ombai memang dalam.Â
Di tengah keramaian penumpang saya tertarik dengan satu momen dimana terdengar percakapan 2 orang anak muda yang nangkring di atas truk yang sarat muatan.
Keduanya berbincang. "Ee kitorang tadi sonde pamitan deng kawan-kawan kita di Tenau," kata yang lebih muda. "Mereka bukan NTT. Kitorang tadi yang angkut barang-barang berat ke kapal. Mereka tidak tahu kitorang NTT berurat besi dan batulang baja. He He .."
Kedua anak muda itu, termasuk saya, ngakak terbahak-bahak. Boleh jadi seperti itu, sebab saya turut menyaksikan betapa kuatnya kedua anak muda itu memondong barang-barang berat ke kapal.
Hari pun sore jelang malam ketika kapal merapat ke Pelabuhan Ende yang ternyata jauh lebih kecil dibandingkan Pelabuhan Tenau. Angin kencang menderu-deru.Â
Kapten Kapal Ferry semula enggan merapat di pelabuhan Ende, karena ombak masih besar dan bisa mengguncang tangga penyeberangan dari kapal ferry ke darat. Tapi karena ombak tak juga kunjung reda, akhirnya sang Kapten yang adalah alumnus P3B (Pendidikan Perwira Pelayaran Besar) Semarang itu memutuskan untuk merapat dan menurunkan tangga.Â
Begitu keluar dari perut ferry, mobil kemudian saya pacu mencari penginapan di Ende. Setelah menelisik satu per satu, akhirnya pilihan jatuh pada sebuah Homestay yang dikelola oleh Abdullah seorang Arab Ende persis di jantung kota Ende.
Cukup semalam di homestay yang bersih dan apik serta harga terjangkau itu, sayapun atas arahan bung Abdullah dimotivasi untuk mengunjungi obyek wisata Kawah Kelimutu yang adalah salah satu dari sekian banyak pemandangan alam yang mempesona di Indonesia. Asal tau, Obyek Wisata Alam yang satu ini sudah dikunjungi turis sejak zaman Belanda.
Saya pun mulai menulis catatan penting selama bermalam di homestay Abdullah dan disambung keesokan harinya ketika bermobil ke Moni di pagi hari.