Yang paling saya ingat dari kota ini adalah bercirikan warisan Belanda yang rapi tata kotanya, termasuk yang unik setiap gang/lorong diperkeras dengan batu-batu lava seukuran ubi jepang berukuran medium yang tersusun rapi seperti con block di masa modern sekarang.Â
Karena begitu rapinya batu-batu lava itu disusun, kaum perempuan yang bersepatu hak tinggi tak pernah ragu melangkah di seantero gang/lorong yang ada di kota Sukabumi. Tak pernah ada berita bahwa mereka jatuh tergelincir ketika melewati susunan batu-batu lava itu. Bukan main!
Waktu pun bergulir tanpa ada yang bisa menghentikannya kecuali Tuhan melalui tangan Moses yang pernah menghentikan rotasi planet bumi agar mentari tetap bersinar ketika Israel berperang melawan musuhnya jelang memasuki tanah yang dijanjikan Kanaan.
Zaman pun berubah dan sekarang apa mau dikata Sukabumi tak lagi mungil, indah permai dan lestari. Sukabumi kini semakin padat dan mulai kumuh di pelosok perkotaannya. Angkot dan angdes merajalela dimana-mana.Â
Kaki lima penuh sesak dengan orang yang berjuang bertahan hidup. Dan yang tersulit sekarang adalah untuk bisa menerima kenyataan bahwa lahan-lahan agro yang dulu indah permai yang merupakan salah satu rekam jejak perkebunan teh Belanda tempo doeloe di lereng Gunung Gede tak jauh dari Selabintana (Km 7 sebelah utara Sukabumi), kini diinvasi habis-habisan oleh bangunan Villa dan perumahan kalangan eksklusif.
Dampak dari semua itu? Sukabumi tak lagi Suka dengan Bumi, melainkan menjadi musuh dari planet Bumi, karena kita telah merusaknya dengan mengizinkan Kapitalisme REI merajalela di lahan-lahan agro yang tempo doeloe di era 1960an-1970-an indah permai, mengizinkan perorangan dan sekelompok orang membangun seenak udelnya, tak peduli yang mana legacy tempoe doeloe yang perlu dirawat-lestarikan dan yang mana milik siapa dan mau diapakan.
Adik ipar saya Lucky Noor Lukman yang adalah native Sukabumi mengatakan bahwa kalau dia berjalan sekarang keliling kota Sukabumi, sepertinya teman-teman seangkatannya yang masih settled di kota Sukabumi sudah sangat langka. Dan rumah-rumah indah tempo doeloe sudah banyak berpindah tangan.Â
Kalaupun pada akhirnya mereka tahu bahwa rumah mereka adalah legacy tempo doeloe yang harus dirawatlestarikan, tapi dalam perjalanan waktu, itu semua tergilas oleh dinamika hidup itu sendiri, entah yang bersangkutan bermigrasi ke kota lain, atau diperjualbelikan dengan sedikit pengetahuan tentang rumah tersebut, maka rumah itu pun berpindah tangan sudah, atau ada juga yang menjual rumahnya karena tekanan ekonomi dst.Â
Sementara sampai sejauh ini belum ada Perda kota yang khusus mengatur perlindungan heritages semacam ini, bahkan untuk sarana dan prasarana fisik perkotaan tempo doeloe seperti di bilangan capitol, yang kini sudah berubah bentuk karena tak adanya perlindungan melalui instrumen hukum tersebut.