Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mimpi Buruk Nato, Rusia Menepis Barat di Ukraina

31 Agustus 2022   17:59 Diperbarui: 31 Agustus 2022   18:08 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo Anti Perang Ukraina di Manhattan, NY, US. Foto : middleeasteye.net

Mimpi Buruk Nato, Rusia Menepis Barat Di Ukraina

Perang Rusia Vs Ukraina sudah kl 188 hari atau sudah 6 bulan dan sekarang memasuki bulan ketujuh. 

Kegagalan awal Rusia tidak bisa begitu saja dijadikan ukuran bahwa Rusia pasti dapat dipatahkan barat dengan segala bantuan persenjataan kepada Ukraina dan retorika politik serta kampanye militer yang mereka lakukan di Ukraina dan seantero dunia.

Sanksi keuangan dunia barat memang seolah melelahkan Rusia saat melewati rintangan terakhir untuk menguasai propinsi Donbas Luhansk.

Dengan jatuhnya kota Lysychansk, pasukan Rusia telah beralih ke Kramatorsk dan Slovyansk - kota-kota terdepan di wilayah Donetsk yang berdekatan.

Tembakan artileri menghujani kedua kota saat pasukan Rusia dengan kelompok separatis bergerak untuk menguasai tenggara Ukraina - memperkuat formasi Rusia hingga ke Krimea, bekas wilayah selatan Ukraina yang dianeksasi Rusia pada tahun 2014. 

Kemenangan strategis atas Donbas akan mengimbangi kegagalan awal di Ukraina tengah dan memungkinkan Rusia untuk melakukan regrouping untuk menekan Kyiv agar menyerah. 

Meskipun terlihat adanya sedikit gesekan dalam pasukan Rusia, serangan rudal yang intens telah dilanjutkan di Kyiv dan Kharkiv, sementara pasukan pertahanan Ukraina bersiap untuk melancarkan serangan balasan untuk merebut kembali Kherson. Koalisi Barat mengetahui perubahan ini - meskipun terkesan sedikit terlambat meresponnya.

KTT G7 minus Rusia adalah ejekan yang ingin digambarkan Barat. Melarang impor emas dari Rusia dan memperdebatkan batasan harga minyak adalah topik utama dari pertemuan tersebut.

Boleh jadi, embargo ekspor emas akan merugikan perekonomian Rusia. Rusia memiliki cadangan emas sekitar US $ 100-140 miliar -- sekitar 20% dari total kepemilikan bank sentralnya. 

Perkiraan anggaran mengungkapkan emas adalah komoditas ekspor paling menguntungkan kedua di Rusia setelah ekspor energi. 

Larangan itu akan secara signifikan memukul perdagangan Rusia, karena hampir 90% dari pendapatan ekspor emas berasal dari ekonomi G7. 

Meski Rusia masih dapat mengalirkan emas ke ekonomi alternatif di Asia, embargo itu dapat secara efektif mengunci akses Rusia ke pendapatan sekitar US $ 19 miliar per tahun, demikian Menlu AS Antony Blinken dalam wawancaranya dengan CNN. 

Dengan demikian, AS tampaknya bertekad menjatuhkan ekonomi Rusia untuk melumpuhkan ambisi Kremlin di Ukraina.

Manteranya sama, yi memotong pendapatan maksimum ke titik di mana Rusia berkutat untuk membiayai perang di Ukraina. Hanya, strategi itu sepertinya tidak cukup.

Mematok batas harga minyak pasokan Rusia jauh lebih sulit ketimbang melarang impor emas. 

Dalam perekonomian masa  kini, emas tidak terlalu penting untuk kelangsungan ekonomi dan sosial dan, pastinya, emas bukan dasar pergolakan di banyak negara maju yang berjuang keras melawan inflasi yang meroket. 

Sementara ekspor emas Rusia belum dapat mengalir dengan mudah ke pasar alternatif, Rusia sejauh ini telah cukup berhasil menggantikan Eropa sebagai pasar utama untuk pasokan minyak mentahnya.

Enam bulan sejak invasi, pendapatan Rusia dari ekspor minyak sudah naik lebih dari 50%, demikian laporan dari Badan Energi Internasional. 

Sejak invasi, Eropa secara relatif mengurangi ketergantungannya pada minyak Rusia, sementara AS benar-benar melarang impor minyak mentah dari Rusia. 

Namun, India telah memperoleh sekitar seperlima dari total ekspor Rusia sejak invasi -- naik dari di bawah 1% kuota sebelum perang.

 Menurut laporan eksklusif Reuters, pihak bea cukai India mengungkapkan perusahaan-perusahaan di India dengan cepat mengganti dolar AS untuk menghindari sanksi dan membeli pasokan energi Rusia. 

Pada bulan Juni saja, India mengimpor sekitar 44% dari 1,7 juta ton batubara Rusia melalui transaksi non-dolar, baik dalam yuan atau dolar Hong Kong. Pada bulan Juli, jumlah itu meningkat lima kali lipat ke rekor tertinggi 2,06 juta ton.

Sebagaimana diketahui, sejak awal China telah menjadi kekuatan utama penentang tekanan Barat terhadap Rusia, meskipun tidak langsung mendukung Putin, dengan menyebut sanksi terhadap Rusia sebagai "ilegal" dan "tidak bermoral".

China juga telah menjadi pendongkrak ekonomi yang penting bagi Rusia, baik secara simbolis maupun praktis. Menurut pihak Bea Cukai China, perdagangan bilateral dengan Rusia meningkat sebesar 29% YoY (tahun ke tahun) selama tujuh bulan pertama tahun ini.

Komoditas yang paling banyak diperdagangkan adalah minyak mentah Rusia. 

Beijing mengimpor sekitar 55% lebih banyak minyak Rusia pada Mei dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ini justeru telah mendorong Rusia menggantikan Arab Saudi sebagai pemasok minyak terbesar ke China. 

Dengan demikian, China dan India telah mengimbangi kekurangan pendapatan Rusia dengan impor energi sebesar US $ 24 miliar dari Rusia. 

Tak heran, pendapatan Rusia lebih dari US $ 13 miliar dibandingkan dengan tahun 2021. AS sekarang harus berhitung lebih cermat : bagaimana tepatnya batasan harga minyak dapat bekerja dalam skenario ini?

Menurut sumber resmi, koalisi G7 sedang mempertimbangkan untuk menempatkan batas pada US $ 40-60 per barel minyak Rusia. Namun, mekanisme pelaksanaannya masih kabur. 

Sampai sekarang, rencana ambisius untuk membatasi pendapatan minyak Rusia masih merupakan ambisi tanpa struktur konkret atau konsensus yang lebih luas. Di satu sisi, G7 sedang mempertimbangkan untuk membatasi pendapatan minyak Rusia. 

Di sisi lain, UE melonggarkan pembatasan pembayaran untuk pasokan minyak dari Rusia melalui Gazprom Neft dan Rosneft. Banyak ahli mempertanyakan kelayakan kebijakan teoretis dan kontradiktif semacam itu.

Para analis condong pada pendapat kebijakan pembatasan harga mnyak tidak akan menempatkan Rusia di bawah tekanan fiskal langsung sebagaimana diharapkan para petinggi barat.

Kegagalan untuk membawa India dan China bergabung disitu secara otomatis akan membuat rencana tersebut sia-sia bahkan sebelum diluncurkan. 

Layanan asuransi Eropa yang disediakan untuk kargo minyak Rusia dapat digantikan oleh rekan-rekan Asia, dengan asumsi perusahaan-perusahaan Eropa akan mematuhi alih-alih mengesampingkan batas untuk menghindari pembalasan pada pasokan minyak dari Rusia.

Pemotongan pasokan gas baru-baru ini melalui pipa NS1 (Nord Stream 1) mengisyaratkan bahwa Rusia berpotensi menghambat pasokan minyak ke Eropa jika pembatasan harga diberlakukan. 

Kami tidak akan memasok minyak ke negara-negara yang akan memberlakukan batasan harga seperti itu. 

Dan minyak kita (dan produk minyak) akan diarahkan ke negara-negara yang siap bekerjasama dengan kita, demikian Elvira Nabiullina Gubernur Bank Sentral Rusia. 

Menurut Kementerian Keuangan Rusia, pendapatan bahan bakar fosil telah melampaui proyeksi anggaran tahun lalu. Dengan demikian, Rusia tidak kekurangan keuangan untuk perempat terakhir tahun ini. 

Sebaliknya, musim dingin tanpa minyak atau gas Rusia akan menjadi mimpi buruk bagi Eropa yang sudah bergulat dengan hiperinflasi. 

Mengutip perkiraan JP Morgan belum lama ini, jika Rusia melakukan pengurangan produksi sebagai balasan, harga minyak global bisa melonjak menjadi sekitar US $ 380 per barel.

Oleh karena itu, meskipun memotong volume ekspor, keuntungan dari penjualan minyak masih akan menyuburkan pundi-pundi Rusia.

Pada akhirnya, kebijakan batas harga yang dangkal hanya bisa menimbulkan malapetaka -- tidak hanya untuk Eropa tetapi untuk seluruh ekonomi global yang tertatih-tatih di puncak resesi.

Selama kemauan politik ala Putin ada di Kremlin dan selama harga ekspor tetap tinggi, dipastikan tidak bakal ada kendala keuangan langsung yang menghadang Kremlin. 

Strategi G7 yang mirip kartel putus asa itu justeru hanya menyoroti kelemahannya sendiri. Rusia telah berhasil memproyeksikan kekuatan di Ukraina timur seraya menekan Kyiv secara berkelanjutan. 

Barat, di sisi lain, telah fokus untuk memperkuat keamanannya sendiri ketimbang menyelesaikan konflik di Ukraina. 

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah berulang kali menyatakan optimismenya, yi menolak untuk menyerahkan wilayah yang direbutnya ke Rusia dan berharap dapat bernegosiasi dari posisi yang kuat. 

Namun, posisi itu hampir pasti akan goyah pada tahun 2023 ketika bantuan Barat mulai mengering. 

Dengan kata lain, dalam perangkap resesi yang dibuatnya sendiri, barat takkan sanggup membantu puluhan milyard US $ seperti bantuan yang telah digelontorkan selama 6 bulan terakhir ini dalam perang Ukraina.

Campurtangan tidak langsung Nato dalam perang Ukraina hanya sebatas menahan Putin untuk tidak melancarkan invasi lain ke Eropa, tapi itu tidak bisa menghalangi Rusia untuk membongkar habis Ukraina. 

Mungkin blok Barat harus berhenti sejenak dan mempertimbangkan beberapa kenyataan pahit. Pertama, ekspansi Nato ke timur sampai dengan Ukraina persis di halaman terdepan Kremlin adalah katalisator yang memicu invasi Rusia ke Ukraina. 

Kedua, embargo komoditas Rusia tidak akan secara substansial merusak Kremlin, kecuali Asia (terutama India dan China) mendukung konsensus barat.

Dan dukungan itu tentu tidak akan diperoleh dengan cara menekan India atau membangkitkan ketegangan dengan China di Taiwan sehubungan dengan kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi belum lama ini ke Taiwan.

Logika barat di Ukraina lebih kepada melawan akal sehat. Misalnya Barat berhati-hati untuk tidak memasok persenjataan canggih ke Kyiv; menghindari perang melawan Rusia, karena khawatir pembalasan nuklir dari Putin.

Namun, mendorong Ukraina untuk merebut kembali wilayahnya di selatan, karena barat beranggapan strategi itulah yang lebih aman.

Dalam konteks ini barat terlihat naif. AS pasti menyadari realitas paradoks ini, namun terus mendorongnya untuk menyelamatkan muka dan memperpanjang kekalahan retorika pseudo-demokratisnya. 

Dapat dimengerti, dorongan untuk diplomasi dengan Rusia melalui jalur etis untuk mencegah pertumpahan darah lebih lanjut, itu semua akan menjadi kematian politik yang cepat bagi Presiden Biden, saat ia mempersiapkan upayanya untuk pemilihan kembali pada tahun 2024. Dilema AS dan barat adalah Ukraina terpisah dari Rusia atau menghadapi pembalasan nuklir Putin.

Pada akhirnya, sanksi emas dan energi dan strategi mau bergabungnya Finlandia dan Swedia ke Nato dan pencalonan Ukraina ke UE. Itu semua tidak akan menyurutkan Rusia. 

Putin tidak menunjukkan tanda-tanda surut, sebaliknya gesekan politik dan ekonomi secara bertahap mulai mendapatkan pijakan baru dalam koalisi yang dipimpin AS.

Mengharapkan Putin untuk menggantung sarung tangannya hanya karena Barat menunjukkan kohesi baru pasca perang dingin sama fantastisnya dengan mengharapkan kemenangan Ukraina melawan Rusia tanpa konsekuensi yang merugikan.

Joyogrand, Malang, Wed', August 31, 2022.

Demo Anti Perang Ukraina di Manhattan, NY, US. Foto : middleeasteye.net
Demo Anti Perang Ukraina di Manhattan, NY, US. Foto : middleeasteye.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun