Selama kemauan politik ala Putin ada di Kremlin dan selama harga ekspor tetap tinggi, dipastikan tidak bakal ada kendala keuangan langsung yang menghadang Kremlin.Â
Strategi G7 yang mirip kartel putus asa itu justeru hanya menyoroti kelemahannya sendiri. Rusia telah berhasil memproyeksikan kekuatan di Ukraina timur seraya menekan Kyiv secara berkelanjutan.Â
Barat, di sisi lain, telah fokus untuk memperkuat keamanannya sendiri ketimbang menyelesaikan konflik di Ukraina.Â
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah berulang kali menyatakan optimismenya, yi menolak untuk menyerahkan wilayah yang direbutnya ke Rusia dan berharap dapat bernegosiasi dari posisi yang kuat.Â
Namun, posisi itu hampir pasti akan goyah pada tahun 2023 ketika bantuan Barat mulai mengering.Â
Dengan kata lain, dalam perangkap resesi yang dibuatnya sendiri, barat takkan sanggup membantu puluhan milyard US $ seperti bantuan yang telah digelontorkan selama 6 bulan terakhir ini dalam perang Ukraina.
Campurtangan tidak langsung Nato dalam perang Ukraina hanya sebatas menahan Putin untuk tidak melancarkan invasi lain ke Eropa, tapi itu tidak bisa menghalangi Rusia untuk membongkar habis Ukraina.Â
Mungkin blok Barat harus berhenti sejenak dan mempertimbangkan beberapa kenyataan pahit. Pertama, ekspansi Nato ke timur sampai dengan Ukraina persis di halaman terdepan Kremlin adalah katalisator yang memicu invasi Rusia ke Ukraina.Â
Kedua, embargo komoditas Rusia tidak akan secara substansial merusak Kremlin, kecuali Asia (terutama India dan China) mendukung konsensus barat.
Dan dukungan itu tentu tidak akan diperoleh dengan cara menekan India atau membangkitkan ketegangan dengan China di Taiwan sehubungan dengan kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi belum lama ini ke Taiwan.
Logika barat di Ukraina lebih kepada melawan akal sehat. Misalnya Barat berhati-hati untuk tidak memasok persenjataan canggih ke Kyiv; menghindari perang melawan Rusia, karena khawatir pembalasan nuklir dari Putin.