Kalau digelar di atas meja, perkara ini sesungguhnya mudah, tapi kemudian menjadi kompleks karena Sambo telah menggunakan pengaruhnya selaku Kadiv Propam Polri dan Ketua Satgassus Merah Putih untuk menyeret sekian banyak polisi untuk menutupi kejadian sesungguhnya yaitu pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Semuanya itu untuk menutupi sesuatu yang hitam-kelam, mengutip Menkopolhukam, yang hanya layak dikonsumsi kalangan dewasa saja.
Katakanlah PC selesai diperiksa hari ini, tapi apakah PC dengan sendirinya mau jujur atau terbuka selebar-lebarnya kepada pihak penyidik tentang apa yang sesungguhnya melatari pembunuhan berencana dengan cara keji terhadap Brigadir J?
Kasus ini pada akhirnya memang on the track, tapi dengan catatan tidak akan seterang-benderang seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo dan publik luas se-Indonesia.
Sejauh ini motif pembunuhan Brigadir J yang diumbar masih versi Sambo yang diperkuat kesaksian PC, RR dan KM, except Bharada E yang telah balik kanan menjadi justice collaborator yang sekarang ada di bawah perlindungan LPSK.
Praktis sisa yang belum bisa diungkap sepenuhnya ntah itu dugaan perselingkuhan Sambo sendiri, mafia terselubung di internal kepolisian karena surplus of power di genggamannya selaku Kadiv Propam merangkap Ketua Satgassus Merah Putih. Sampai-sampai Menkopolhukam menyebut Sambo sebagai Mabes dalam Mabes.
Tak heran Presiden Joko Widodo sampai 6 kali memotivasi Kapolri agar bertindak tegas tanpa pandang bulu. Kapolri sudah bergerak cukup jauh memang dengan Timsus yang dibentuknya. Tapi pergerakan itu dipandang belum cukup menurut penilaian Komisi III apalagi penilaian publik luas.
Sebagai contoh masih banyak yang mempersoalkan hasil otopsi ulang (salah satunya Meilanie Buitenzorgie). Mereka lebih condong pada kesaksian keluarga korban yang menyertakan 2 tenaga medis dari pihak keluarga untuk ikut menyaksikan dan mencatat proses otopsi ulang jenazah Joshua di RS Sungai Bahar Jambi, akhir Juli lalu. Catatan itu telah di-akta notaris-kan oleh Kamaruddin Simanjuntak pengacara keluarga korban.
Meski keluarga korban tak menolak hasil otopsi ulang, tapi cukup banyak publik yang mengkritisi luka di tubuh Brigadir J yang dilaporkan Tim Kedokteran Forensik Gabungan sebagai pure luka dari 5 tembakan, empat keluar dan 1 masuk, tanpa merinci aneka luka di sekujur tubuh korban.
Hasil otopsi ulang itu justru bertentangan dengan fakta lapangan yang disaksikan pihak keluarga. Dengan kata lain, itu tak balance dan tak sesuai dengan ekspektasi publik luas, apalagi dengan pihak keluarga korban.
Belum lagi penggiringan opini secara halus ke arah kesalahan korban. Misalnya pemberitaan sejumlah media melalui kesaksian ART KM di Jakarta dan ART Susy di Magelang, juga kebertahanan PC dan lawyernya sejauh ini atas nama pelecehan seksual.
Boleh dikata, opini hukum terhadap kasus ini menjadi bola liar yang sungguh mengancam peradilan hukum kita, begitu kasus ini sampai di pengadilan dalam tempo dekat ini.