Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Jan-Karel Kwisthout dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Sebuah Review

18 Juli 2022   17:48 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:51 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul belakang kunstdruuk Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.

Jan-Karel Kwisthout Dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok : Sebuah Review

Buku ini memang sudah cukup lama dipublished. Cetakan pertama pada 2015 dengan penerbit BPK Gunung Mulia. Dicetak edisi lux dengan kertas kunstdruuk, penerjemahan oleh Hallie Jonathans dan Corry Longdong. Tebal 398 halaman plus 11 halaman ekstra mulai dari daftar isi hingga kata pengantar. Total 409 halaman. Itulah buku Jejak-Jejak Masa Lalu Depok buah karya Jan-Karel Kwisthout.

Saya sudah lama tahu buku bagus ini. Apalagi kaki ini pernah berpijak di bumi Depok saat kedua anak perempuan saya studi di UI hingga selesai beberapa waktu lalu, juga pada 2017 pernah berkenalan dengan pengurus YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein) yang ketika itu Chairman-nya dipegang oleh Eduard G.Jonathans, Sekretaris Benyamin A. Laurens dan Ketua Bidang Sejarah dan Kebudayaan Jozua Dolph Jonathans.

Dengan pepatah "Dimana Kaki Berpijak Disitu Langit Dijunjung", saya sejak awal sudah mengidap rasa khawatir tentang Depok. Coba buka dan googling kata Depok. Kita akan terkesima betapa seenak udelnya orang berpendapat tentang asal-usul dan nama Depok itu sendiri.

Semuanya ngaco dan tambah ngaco memasuki 2021-2022 ini. Ada yang bilang Depok dari kata deprok atau ngedeprok yang artinya duduk santai ala melayu, dan ha ha saking indahnya pemandangan alam di Depok, Prabu Siliwangi konon ngedeprok begitu sampai di Beji, sok teu emangnya di Beji ada apa; ada yang bilang Depok dari kata padepokan jawara-jawara pencak Banten dan Preanger dst. Haddoohh ..

Walikota Depok Idris bahkan tak pernah menyebut orang asli Depok (keturunan dari 12 marga eks budak Belanda yang dibebaskan Chastelein pada awal abad 18), ia hanya menyebut suku Betawi 37%, suku Jawa 35,9%, suku Sunda 19% dan sisanya 8,1% berbagai suku yang merantau dan terdampar di Depok.

Tiadanya penyebutan nama orang asli Depok oleh Idris hanya menggambarkan betapa dominasi PKS sejak Nurmachmudi sudah kebangetan. Boleh dibilang secara hidden PKS bertekad mengeliminasi orang asli Depok ini dari bumi Depok. Kalaupun Idris menyebutkan orang Betawi adalah majority di Depok, tapi Betawi juga bukan nama suku melainkan sebutan yang menjadi slank dan akhirnya disepakati dari nama Batavialah nama Betawi itu berasal.

Sudahlah Depok tak usah lagi diplesetin macem-macem. Depok pastinya adalah singkatan dari "de Eerste Protestante Organisatie van Christenen" ("the First Protestant Organization of Christians"), dimana tempo doeloe Cornelis Chastelein menjadi tuan tanahnya dengan otoritas yang mandiri dari otoritas pemerintah Hindia Belanda yang kemudian menjadikan daerah Depok sebagai "het gemeente bestuur van het particuliere land" (the municipal administration of the private land), sebagai pengakuan atas otoritas Cornelis Chastelein di daerah Depok (lih https://bityl.co/DINJ).

Maka menimbang kembali buku Kwisthout yang telah begitu repot diterjemahkan oleh Hallie Jonathans dan Corry Longdong dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia ini, saya akhirnya mafhum bahwa Depok at now sudah berkembang sangat-sangat jauh dari bayangan pendirinya semula yi Cornelis Chastelein.

Kwisthout memang bukan sejarawan, tapi ia adalah seorang keturunan Depok Bolanda yang sangat terpelajar yang telah lama bermukim di Belanda. Yang patut disyukuri bahasa Belandanya yang benar-benar Belanda totok itu jatuh ke tangan penerjemah ulung seperti Jonathans dan Corry, maka segala idiom atau jalan bahasa yang beratpun dapat mereka atasi dengan baik.

Meski buku ini begitu tebal untuk ukuran anak-anak generasi Z di Indonesia, tapi percayalah bacaan ini mengalir bak Sungai  Ciliwung yang mengalir deras di musim penghujan yang melintasi GDC (Grand Depok City).

Diawali kata-kata : "Ketika nenek saya masih hidup, kehidupan sehari-hari saat beliau masih tinggal bersama keluarganya di Depok dibicarakan secara teratur di rumahnya. Beliau juga masih memelihara hubungan erat dengan keluarganya yang masih ada disana, meskipun nama keluarga mereka -- Laurens, Isakh, Loen atau Leander -- tidak terdengar sangat "indies" atau pribumi. Oleh warga pribumi nama-nama ini selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan Depok."

Pada akhirnya, demikian Kwisthout, semua orangtua asal Depok Bolanda yang tinggal di Belanda itu berpulang ke alam baka. Dengan meninggalnya mereka, maka hilang jugalah berbagai kisah pribadi mereka yang unik tentang masa lalu. Tempat mereka amatlah sentral dalam sejarah Depok. Tak heran Kwisthout termotivasi untuk menggali siapa Cornelis Chastelein yang melegenda itu, siapa itu 12 marga yang adalah cikalbakal warga Depok yang melting pot sekarang ini.

Dari titik inilah Kwisthout mengembara dari satu referensi primer ke referensi primer lainnya yang dimulai dari perjalanan hidup keluarga Chastelein di Belanda, sehingga Cornelis kemudian hijrah ke Hindia Belanda pada pertengahan 1600-an dan meninggal karena penyakit tropis di bilangan Depok pada 1714.

Halaman pertama bagian pembuka Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.
Halaman pertama bagian pembuka Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.

Semua referensi primer yang digali Kwisthout dari perpustakaan Belanda sangatlah lengkap, bahkan tandatangan Cornelis Chastelein yang sangat indah itu ada copynya. Luarbiasa kecermatan dunia Eropa, khususnya Belanda dalam ber-arsip, sebagaimana Dr. Uli Kozok mengaduk-aduk surat-menyurat Ludwig Ingwer Nommensen dengan pusat missionary di Barmen Jerman yang kemudian melahirkan buku penting tentang Sisingamangaraja XII yi "Utusan Damai DI Kemelut Perang : Peran Zending Dalam Perang Toba."

Bagian yang paling menarik dari tulisan Kwisthout adalah -- mengutip kata-katanya -  upaya "merayap ke bawah "kulit Cornelis Chastelein" untuk memahami apa yang telah menggerakkan tokoh ini untuk mendirikan Depok. Dengan mempelajari dokumen-dokumen pribadinya dan menafsirkannya, tampaknya mungkin untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa ia mendirikan Depok.

Kwisthout mendasarkan tulisannya sebagian besar dari referensi abad 19 dan awal abad 20. Dalam literatur ilmiah belakangan ini tentang Hindia Belanda, wawasan baru muncul, yi tentang struktur sosial dalam masyarakat Batavia dan negara sekitarnya, juga tentang pemerintahan kolonial Belanda, hak atas tanah serta isu-isu sosial dan etika. Dalam konteks ini Kwisthout menyebut adanya publikasi terbaru yi "De Geschiedens van Indische Nederlanders" (Sejarah dari Orang-orang Hindia Belanda), dimana terdapat  studi mendasar yang ditulis secara menarik oleh U. Bosma, R. Raben dan W. Willems.

Cornelis Chastelein adalah anak lelaki bungsu dari keluarga Chastelein. Sangat sedikit bahan pustaka mengenai kehidupannya sewaktu muda dan bersekolah di Amsterdam. Berkenaan dengan nama keluarganya, ada banyak penulisan yang diketahui, karena nama-nama keluarga pada abad 16 dan 17 seringkali ditulis secara fonetik. Beberapa contoh dari ragam penulisan dimaksud adalah : Chasteleyn, Chasteleijn, Chastelijn, Kastelein, Chastelain, Castelein, Casteleyn dan Castelijn.

Cara penulisan yang paling banyak ditemukan dan tersimpan dalam akta abad 17 dan 18 adalah "Chastelein". Berdasarkan korespondensi yang tersimpan dan catatan-catatan pribadi anggota keluarga Chastelein, termasuk tulisan Chastelein sendiri. Ia sendiri lebih suka menggunakan penulisan Chastelein, demikian Kwisthout.

Baru saja berumur 17 tahun, Cornelis Chastelein bersama 2 saudara perempuannya Ida dan Machteld serta bibinya Henriette berangkat ke Hindia Belanda untuk merajut masa depan mereka. Berangkat tgl 24 Januari 1675 dan tiba di Batavia tgl 16 Agustus 1675 (204 hari pelayaran).

Di awal pekerjaannya di VOC, Chastelein yang mulai bersinar di perusahaan, berimprovisasi dalam pemikiran baru yang tak  lazim dan pemikirannya nyambung dengan Gubernur Jenderal Johannes van Camphuijs yang pro politik etis ketimbang gubernur-gubernur sebelumnya yang cenderung hanya ingin mengeksploitasi lebih jauh bagaimana agar daerah koloni bisa mendatangkan keuntungan berlipatganda bagi perusahaan yang bergabung dalam VOC.

Di bagian inilah buku Kwisthout akan menghanyutkan kita betapa Chastelein adalah seorang pemimpi yang tak sudi selesai hanya sampai di mimpi saja. Tapi bagaimana ia akan mewujudkan mimpi itu dalam etos kristiani yang menghormati kerja keras sebagai sesuatu yang mulia dan di atas segalanya sangat menentang perbudakan.

Persahabatan mereka tak lama, Camphuijs yang dipandang tak tegas dan gagal memberantas korupsi di internal VOC, akhirnya digantikan oleh gubernur jenderal baru yang kembali ke irama jadul VOC yi bagaimana mengeksploitasi tanah koloni secara maksimal untuk melipatgandakan keuntungan VOC.

Cornelis Chastelein akhirnya matang dalam berpolitik etis, sekalipun Camphuijs sudah tiada. Menjelang kearifannya yang kesohor itu sebagai pembebas budak, Chastelein sudah kaya-raya. Di Batavia ia memiliki sebuah rumah di Kali Besar, disamping rumah besar Abraham Douglas yang adalah anggota Raad van Indie. Di luar Batavia ia memiliki gedung Weltevreden yang mewah, yang kemudian menjadi kediaman Gubernur Jenderal Albertus van der Parra. Ia juga membeli tanah di selatan Batavia, yakni tanah Seringsing (sekarang Serengseng, Lenteng Agung), dimana ia memiliki sebuah perkebunan.

Seringsing berada jauh di udik, sehingga tidak seorang pun percaya bahwa Chastelein berani tinggal disana. Lebih ke selatan, antara Batavia dan Buitenzorg (Bogor), ia mengakuisisi berbagai persil yang letaknya bersebelahan, yang keseluruhannya kemudian dinamakan Depok. Disana kemudian berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan olehnya dan menurut pandangannya sendiri, ia membangun suatu kantong masyarakat budak Kristen yang dibebaskannya.

Selama pemerintahan Camphuijs, Chastelein memanfaatkan keterbukaan Camphuijs dalam mengembangkan ide-ide inovatif di daerah koloni. Pada tahun 1686, sebagai saudagar muda yang baru berusia 29 tahun, Chastelein menulis "Pemikiran dan pertimbanganku yang jernih tentang perkara-perkara usaha dari Hindia Belanda." Ia memetik nasehat dari van Hoorn kepada Gubernur Jenderal Maetsuijker sebagai titik awal pemikirannya untuk masalah pertanian, khususnya beras.

Halaman kedua bagian pembuka Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.
Halaman kedua bagian pembuka Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.

Chastelein memiliki minat khusus pada bidang pertanian, tanaman dan metode pertanian. Tanahnya di Weltevreden dikelilingi banyak pabrik gula, dan ia mencoba membudidayakan tanaman kopi, salah satu yang pertama di Batavia. Tanaman kopi hasil semaian pertama Chastelein dibagikan kepada para pecinta kopi di Batavia maupun beberapa pemimpin bumiputera. Budidaya kopi di sekitar Batavia kemudian berkembang pesat, seperti yang terjadi pada tahun 1711, dimana seribu pon biji kopi pertama dapat dipanen. Perkembangan berikut sungguh luarbiasa, yi ekspansi besar-besaran budidaya kopi, terutama di daerah Priangan, Jawa barat. Dengan demikian, dasar-dasar "preangerstelsel" pun diletakkan, dimana penduduk dipaksa menanam kopi di Priangan.

Selain perkebunan kopi di Weltevreden, Chastelein memiliki tanah luas di Seringsing yang ditanami tebu. Di Depok,ia membudidayakan tanaman lada yang berasal dari stek-stek yang pernah diterimanya dari Camphuijs, juga menanam indigo, kakao, jeruk sitrun, nangka, sirsak, belimbing dan buah arak.

Setelah menggabungkan semua tanah yang dimilikinya di Batavia, Seringsing dan Depok, mulailah Chastelein mengelola tanah dan membudidayakannya. Tanah kering yang terletak di ketinggian baiklah itu untuk merumputnya kerbau-kerbau dan pengembangan perkebunan, sedangkan lahan basah dikembangkannya menjadi daerah persawahan.

Chastelein menyewakan sebagian tanahnya kepada orang-orang China agar ditanami tebu. Chastelein memiliki pandangan yang negatif tentang orang China. Hal ini terbukti dari wasiat dan pamflet yang ditinggalkannya. Suatu ketentuan pun dibuat, dimana orang China dilarang berurusan dengan para penanam padi asal Bali yang bekerja aktif di lahan persawahannya. Juga Chastelein tak pernah menyukai orang Jawa yang selalu dianggapnya licik dan akan membodoh-bodohi komunitasnya di Batavia dan Depok.

Ada kebiasaan orang Belanda membangun kanal-kanal di sekeliling tanah mereka. Tak heran sejak 1689 Chastelein memerintahkan penggalian parit untuk menandai kebunnya. Kemudian ia memerintahkan pembangunan sebuah villa dengan kebun di atas tanahnya. Pada tahun 1697, untuk pertamakali dilaporkan dibangunnya rumah di luar kastil, yang diperkirakan dibangun dengan bantuan para budak Bali. Mereka mungkin juga digunakan untuk pembangunan kebun dan sawah. Budak-budak Bali ini kemudian akan menjadi penduduk pertama Depok, dimana Chastelein akan mewariskan tanah dan barang-barangnya.

Chastelein secara intensif menyibukkan diri dengan membuat desain dan eksploitasi Depok. Para budak yang diambil dari Bali antara tahun 1693 dan 1697 dengan kapal ditetapkannya sebagai hidup dan bekerja di Depok. Kesuburan tanah pun jelas, karena panen yang berlimpah. Ini terutama disebabkan oleh adanya cukup banyak sungai yang mengalir di seluruh daerah. Di sebelah barat, tanah ini dibatasi sungai Pesanggrahan yang bersumber dari Gunung Salak dan mengalir ke Batavia melalui Tangerang. Di tengah-tengah tanah Depok, mengalir sungai Crocot yang bermula dari selatan Depok, yakni Citayam dan satu cabang mengalir ke danau Pitara. Dari Pitara, pada abad 19, digali sebah kanal ke Tanjung Barat. Sungai ketiga yang mengalir di seluruh negeri adalah sungai Ciliwung yang bersumber dari Gunung Gede dan bermuara di Batavia sebagai Kali Besar menuju laut.

Buku tebal mengasyikkan karya Jan-Karel Kwisthout ini pada akhirnya memastikan sosok Cornelis Chastelein yang sejati yi seorang pemimpi yang berhasil mewujudkan mimpinya melalui pandangan etis yang bertentangan dengan politik eksploitasi VOC yang diamini para gubernur jenderal yang mengendalikan Hindia Belanda yang luas.

Sampai di penghujung hayatnya ia meyakini dengan segala mimpinya bahwa hanya ada satu cara untuk membuat koloni Hindia Belanda makmur, yi pembentukan masyarakat pertanian sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah dicantumkan dan dijelaskan dari tahun 1686 dan 1705. Menurut Chastelein, pertanian lebih penting ketimbang kebijakan perdagangan VOC. Barulah setelah terbentuk daerah pertanian yang sehat, koloni akan berfungsi secara optimal.

Tak pelak lagi, Depok Bolanda adalah sebuah kantong historis Cornelis Chastelein. Status tanah Chastelein adalah tanah partikelir (pribadi) terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda. Ia menguasai Depok sejak tahun 1696 hingga wafat pada tahun 1714 dan dimakamkan di salah satu tempat di Batavia yang hingga kini siapapun tak tahu dimana tempat pemakamannya itu. Luarbiasa ..

Chastelein kemudian mewariskan seluruh lahannya di wilayah Depok kepada 12 budak-budaknya yang dinamainya al Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, Zadokh, kecuali kl 7 Ha hutan tak jauh dari Stadel atau Setasiun Depok Lama sekarang. Keturunan dari nama-nama yang kemudian menjadi marga itulah kini yang disebut sebagai "Kaoem Depok" atau Depok Bolanda.

Catatan terakhir Kwisthout, pada saat PD II berkobar, Depok telah berkembang menjadi masyarakat yang makmur dengan penduduk yang berjumlah lebih dari 5.000 jiwa. Masyarakat Kristiani yang taat dan terikat pada kebudayaan Belanda ini hidup relatif tenang di antara sawah, kebun kelapa, kebun bambu dan kebun buah-buahan milik mereka. Penduduk "Depok asli" yi keturunan para budak yang dibebaskan oleh Chastelein, terutama bermukim di tengah tanah legacy Chastelein yang luas bersama-sama seperti nama daerah itu sendiri, yang dinamakan sebagai "Depok Lama" (Old Depok). Jumlah mereka sekitar 1.500 jiwa. Mereka masih tetap hidup dari hasil tanah pertanian, sekalipun Depok telah berkembang menjadi tempat peristirahatan orang Belanda yang bekerja di Batavia atau Buitenzorg.

Setelah Indonesia merdeka, barulah kebebasan itu terenggut ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949 (4 tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI). Cukup banyak warga Depok asli yang eksodus ke Belanda. Dan pada tgl 4 Agustus 1952, pemerintah Indonesia secara resmi mencabut status Depok yang berdiri sendiri dan memasukkan Depok sepenuhnya kedalam wilayah RI. Beberapa tahun kemudian, pemerintah Indonesia mengembalikan beberapa persil tanah dan sejumlah bangunan. Dengan demikian orang asli Depok mendapatkan kembali geraja Protestan, Pastori dan tanah pemakaman.

Kaoem Depok atau Depok Bolanda kemudian mendirikan sebuah yayasan, yi Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), dengan tujuan mengelola tanah-tanah Depok yang tersisa. Yayasan tsb berkantor di bangunan kotapraja, dimana wartawan BBC Johan Fabricius pada masa "Gedoran Depok" di awal kemerdekaan RI menemukan ratusan orang perempuan dan anak-anak disekap para bandit berbaju gerilya republik. Bangunan itu kemudian menjadi Rumahsakit Harapan yang kini telah tutup karena tidak memperpanjang izin operasionalnya, sedangkan YLCC kini berkantor di bilangan Sekolah SMP-SMA Kasih, dekat GPIB Immanuel, Jln Pemuda No. 72, Depok Bolanda.

Kini Depok berpenduduk 2.486.186 jiwa dan hidup di tanah seluas 200,3 Km2 dengan densitas pada 2018 sebesar 10.883 jiwa/Km2 dengan kepadatan tertinggi di Sukmajaya sebesar 5.982 jiwa/Km2.

Ke depan kita berharap agar tatanan politik di Depok bisa lebih seimbang, dimana tak boleh lagi ada kekuatan yang seenak udelnya mengayunkan politik identitas, karena bagaimanapun juga Depok Heritage adalah kesejarahan partikelir dengan tokoh sentral Cornelis Chastelein yang meninggalkan legacy luarbiasa yi warga asli Depok yang adalah keturunan budak yang dibebaskan Chastelein dengan menghibahkan Depok secara keseluruhan kepada keturunan 12 marga dari budak-budak yang dibebaskannya itu.

At the end, Salam Chastelein buat kita semua yang anti perbudakan dan pro politik etis ala Chastelein.

Depok Bolanda, Mon', July 18, 2022

Sampul belakang kunstdruuk Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.
Sampul belakang kunstdruuk Jejak-Jejak Masa Lalu Depok karya Jan-Karel Kwisthout. Foto : Parlin Pakpahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun