Meski buku ini begitu tebal untuk ukuran anak-anak generasi Z di Indonesia, tapi percayalah bacaan ini mengalir bak Sungai  Ciliwung yang mengalir deras di musim penghujan yang melintasi GDC (Grand Depok City).
Diawali kata-kata : "Ketika nenek saya masih hidup, kehidupan sehari-hari saat beliau masih tinggal bersama keluarganya di Depok dibicarakan secara teratur di rumahnya. Beliau juga masih memelihara hubungan erat dengan keluarganya yang masih ada disana, meskipun nama keluarga mereka -- Laurens, Isakh, Loen atau Leander -- tidak terdengar sangat "indies" atau pribumi. Oleh warga pribumi nama-nama ini selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan Depok."
Pada akhirnya, demikian Kwisthout, semua orangtua asal Depok Bolanda yang tinggal di Belanda itu berpulang ke alam baka. Dengan meninggalnya mereka, maka hilang jugalah berbagai kisah pribadi mereka yang unik tentang masa lalu. Tempat mereka amatlah sentral dalam sejarah Depok. Tak heran Kwisthout termotivasi untuk menggali siapa Cornelis Chastelein yang melegenda itu, siapa itu 12 marga yang adalah cikalbakal warga Depok yang melting pot sekarang ini.
Dari titik inilah Kwisthout mengembara dari satu referensi primer ke referensi primer lainnya yang dimulai dari perjalanan hidup keluarga Chastelein di Belanda, sehingga Cornelis kemudian hijrah ke Hindia Belanda pada pertengahan 1600-an dan meninggal karena penyakit tropis di bilangan Depok pada 1714.
Semua referensi primer yang digali Kwisthout dari perpustakaan Belanda sangatlah lengkap, bahkan tandatangan Cornelis Chastelein yang sangat indah itu ada copynya. Luarbiasa kecermatan dunia Eropa, khususnya Belanda dalam ber-arsip, sebagaimana Dr. Uli Kozok mengaduk-aduk surat-menyurat Ludwig Ingwer Nommensen dengan pusat missionary di Barmen Jerman yang kemudian melahirkan buku penting tentang Sisingamangaraja XII yi "Utusan Damai DI Kemelut Perang : Peran Zending Dalam Perang Toba."
Bagian yang paling menarik dari tulisan Kwisthout adalah -- mengutip kata-katanya - Â upaya "merayap ke bawah "kulit Cornelis Chastelein" untuk memahami apa yang telah menggerakkan tokoh ini untuk mendirikan Depok. Dengan mempelajari dokumen-dokumen pribadinya dan menafsirkannya, tampaknya mungkin untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa ia mendirikan Depok.
Kwisthout mendasarkan tulisannya sebagian besar dari referensi abad 19 dan awal abad 20. Dalam literatur ilmiah belakangan ini tentang Hindia Belanda, wawasan baru muncul, yi tentang struktur sosial dalam masyarakat Batavia dan negara sekitarnya, juga tentang pemerintahan kolonial Belanda, hak atas tanah serta isu-isu sosial dan etika. Dalam konteks ini Kwisthout menyebut adanya publikasi terbaru yi "De Geschiedens van Indische Nederlanders" (Sejarah dari Orang-orang Hindia Belanda), dimana terdapat  studi mendasar yang ditulis secara menarik oleh U. Bosma, R. Raben dan W. Willems.
Cornelis Chastelein adalah anak lelaki bungsu dari keluarga Chastelein. Sangat sedikit bahan pustaka mengenai kehidupannya sewaktu muda dan bersekolah di Amsterdam. Berkenaan dengan nama keluarganya, ada banyak penulisan yang diketahui, karena nama-nama keluarga pada abad 16 dan 17 seringkali ditulis secara fonetik. Beberapa contoh dari ragam penulisan dimaksud adalah : Chasteleyn, Chasteleijn, Chastelijn, Kastelein, Chastelain, Castelein, Casteleyn dan Castelijn.
Cara penulisan yang paling banyak ditemukan dan tersimpan dalam akta abad 17 dan 18 adalah "Chastelein". Berdasarkan korespondensi yang tersimpan dan catatan-catatan pribadi anggota keluarga Chastelein, termasuk tulisan Chastelein sendiri. Ia sendiri lebih suka menggunakan penulisan Chastelein, demikian Kwisthout.
Baru saja berumur 17 tahun, Cornelis Chastelein bersama 2 saudara perempuannya Ida dan Machteld serta bibinya Henriette berangkat ke Hindia Belanda untuk merajut masa depan mereka. Berangkat tgl 24 Januari 1675 dan tiba di Batavia tgl 16 Agustus 1675 (204 hari pelayaran).