Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Aek Naoto dan Traveling ke Obyek Wisata yang Masih Polos di Tano Batak

21 Juni 2022   19:43 Diperbarui: 21 Juni 2022   20:45 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aek Naoto, Rahut Bosi, dari sisi jembatan sebelah kiri menuju Huta Pakpahan ibukota Pangaribuan dari  Pansurnatolu. Foto : Parlin Pakpahan.

Aek Naoto Dan Traveling Ke Obyek Wisata Yang Masih Polos Di Tano Batak

Traveling ke Bali, sangat mudah mengucapkannya dan mudah pula mereka-rekanya karena Bali sudah lekat khusus di benak kita sebagai DTW (Daerah Tujuan Wisata Utama) di Indonesia.

Traveling ke tano Batak? Inilah yang jadi persoalan bagi kita? Yang pasti di benak orang yang menggemari traveling atau orang yang suka berwisata, traveling ke tano Batak hanya berarti berwisata ke Danau Toba.

Orang tak pernah diajari dengan pengajaran pariwisata yang benar bahwa Toba itu adalah salah satu nama sub-suku dari 5 suku utama orang Batak yang meliputi Batak Toba, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Simalungun.

So, kalau traveling ke tano Batak hanya berarti "ngelencer" ke Danau Toba sebagai satu-satunya obyek wisata di tano Batak. Maka itulah kerancuan yang terjadi dalam pariwisata tano Batak.

Tak heran seorang Annette Horschmann pengusaha pariwisata berdarah Jerman di Tuktuk Samosir jadi bingung. Annette yang bersuamikan seorang Batak yi Antonius Silalahi selalu kebingungan kalau hanya Danau Toba dan Samosir saja yang dijual.

Berhubung Annette pemain lama di bisnis perakomodasian dengan bendera Tabo Cottage di Tuktuk Samosir, maka mujurlah bagi dia, cukup hanya melalui situsnya www.tabocottage.com, turis dari Eropa Barat khususnya tempat asalnya Germany bisa berdatangan traveling ke Danau Toba. Mereka datang bukan karena aura tano Batak, melainkan karena aura Danau Toba.

Inilah yang perlu diubah oleh pemerintah dan stake holder kepariwisataan tano Batak. Apalagi sekarang infrastruktur udara dan darat di nucleus pariwisata tano Batak yi Danau Toba dan pulau Samosir sudah bagus, maka pada tahap berikutnya kita harus bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Danau Toba hanyalah salah satu obyek wisata alam saja di tano Batak.

Bisa saja termnya tetap, yi Traveling ke Danau Toba, tetapi harus dengan catatan bahwa perjalanan wisata itu banyak pilihannya. Kalau hanya satu doang, yi Danau Toba, syukur-syukur length of stay para turis bisa 2-3 hari. 

Setelah ambil foto sana sini sono, ngopi, makan, sekadar gathering sesama turis di tempat akomodasi, sortir hasil fotografi sebelum tidur jelang tengah malam. 

Ya hari kedua, mereka sudah di awal jenuh dan hari ketiga tambah jenuh lagi. Tak heran tengah hari sesuai ketentuan akomodasi, mereka langsung cabut dari pondokannya. Emang gue pikirin.

Seorang penggembala kerbau di Aek Gorat, pinggiran Pangaribuan menuju Tarutung. Foto : Parlin Pakpahan.
Seorang penggembala kerbau di Aek Gorat, pinggiran Pangaribuan menuju Tarutung. Foto : Parlin Pakpahan.

Behaviour mereka tak seperti di obyek wisata pantai di Bali, pulang lihat obyek wisata ntah di Ubud ntah di Trunyan, langsung nge-club di bar-bar tepi pantai dengan musik riuh dan dansa-dansi cukup dengan hanya memakai celana pendek dan t-shirt wisata apa adanya. Nggak bakal ada lagu Lewis Capaldi atau Adele disini. Yang agak medium sedikit palingan lagu reggaenya Bob Marley. Wisata pantai memang begitu. Lagian udaranya panas, orang gampang gerah dan sebagai konsekuensi logis ya harus berpakaian minim, syukur-syukur turis ybs nggak pakai celana kolor doang ketika nge-club. He He ..

So traveling ke Danau Toba seharusnya menggunakan diksi lain dalam penjelasan wisatanya yi traveling ke tano Batak. Ini kan luas cakupan alam maupun budayanyanya. Bayangkan dari Danau Toba dan pulau Samosir mereka dipandu ke  Tapanuli Utara hingga ke Pangaribuan, Sigotom, Garoga dan Silantom; dipandu ke Humbang Hasundutan; dipandu ke Tobasa; dipandu ke Dairi; dipandu ke Karo; dipandu ke Simalungun, bahkan dipandu hingga ke Tapsel dan Tapteng. Itulah sejatinya Traveling ke Danau Toba.

Pariwisata Lintas Alam misalnya bisa kita tawarkan agrowisata ke hutan-hutan Haminjon di Pangaribuan Tapanuli Utara, ada artefak kuno Datu Ronggur Diaji Pakpahan di Huta atau Desa Pakpahan yang adalah ibukota Kecamatan Pangaribuan, ada makam Demang pertama sekaligus pahlawan perang kemerdekaan di zaman Belanda di Batunadua, ada Aek Naoto yang unique di Rahut Bosi, ada Dolok Matutung yang kaya Mika,  begitu juga Pemandian Air Panas di Sipoholon dan pemandian serupa di desa Hutabarat, Tarutung dan Salib Kasih di Siatasbarita. 

Di Tobasa ada makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII dan sejumlah situsnya di Balige, ada makam Apostel tano Batak Ludwig Ingwer Nommensen di Sigumpar, ada Museum Batak di Balige dll. Di Humbang Hasundutan ada agrowisata ke hutan-hutan Haminjon, ada banyak air terjun alami. 

Di Dairi kita berwisata kopi dan tanaman kapur barus. Di Karo kita berwisata agro dan melihat berbagai air terjun yang indah. Di Simalungun, kita berwisata sawit, melihat jejak Belanda yang masih banyak, mencicipi kuliner Siantar yang terkenal itu seperti Mie Siantar, becak bermotor Siantar yang bermotor BSA jadul dst.

Kembali ke Samosir dan Danau Toba, ada berbagai situs peninggalan orang Batak tempo doeloe, antara lain Situs Toga Pakpahan di huta Sipira, Sosor Pasir, ada peninggalan megalitik di Simanindo, tenun tradisional ulos Batak di hampir setiap desa, berwisata melihat-lihat alat musik Batak yang banyak ragamnya mulai dari Gong, Gondang, Hasapi, Sulim Bambu, Garantung (perkusi Batak dari kayu), Taganing, Gitar dll, lalu Traveling Wisata Minum Tuak dan Kombur atau Cangkruk atau Ngrumpi ala Batak jadul di desa-desa di Samosir antara lain Onan Runggu, Sosor Pasir, Sosor Batu, sampai ke ujung Samosir lainnya yi desa-desa di bilangan Pantai Batu Hoda dll.

Setelah menimbang-nimbang betapa berjasanya Pak Jkw dan Pak Luhut dalam membangun infrastruktur vital di Danau Toba selaku nucleus kepariwisataan tano Batak. Kita pun berpikir, dua tahun ke depan ini masa pemerintahan Jkw akan berakhir. 

Akankah semuanya ini ada kesinambungannya? Agak cemas sih. Maklumlah pemeo lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, itu sering terjadi dalam dunia politik kita. 

Sekurangnya kita hanya berharap dalam doa, semoga pemerintahan berikutnya dapat melanjutkan program-program besar di sektor kepariwisataan Danau Toba yang dalam hal ini adalah legacy-nya Pak Jkw dan Pak Luhut.

Kelanjutan dimaksud jelas sangat penting dalam rangka mengembangkan kepariwisataan tano Batak lebih jauh. Kalau hanya berhenti sampai di nucleusnya saja, maka itu tak ada artinya, karena Danau Toba ini dilingkari oleh 7 Kabupaten se-tano Batak, except Tapteng dan Tapsel yang hanya berpantai di sisi barat Sumut. Ke-7 kabupaten ini al Taput, Tobasa, Samosir, Humbahas, Dairi, Karo dan Simalungun.

Akhirnya saya bagaimanapun harus menjelaskan apa itu Obyek Wisata Alam dan Budaya Yang Masih Polos? Ya obyek yang selama ini hanya dikonsumsi warga lokal saja karena keterpencilan lantaran aksesibilitas yang buruk sepanjang masa. 

Kalau di nucleus yi Danau Toba sudah rapi seperti yang kita lihat sekarang ini, mengapa para Bupati masih bengong nggak tahu mau kemana. Meski APBD secuil karena rendahnya PAD dan sebagian besar pemda di tano Batak ini masih berAPBD dari perimbangan anggaran secara nasional. Itu tak masalah. Alokasi dana sejumput saja pun, asalkan tepat sasaran, paling tidak itu sudah akan mendapat pemberitaan yang baik dari media sosial yang ada di tano Batak. Inilah persoalan yang harus betul-betul diperhatikan oleh Pemda se-tano Batak plus stake holder lainnya.

Kita ambil contoh obyek wisata alam yang masih polos ini misalnya Aek Naoto (Sungai Bodoh) di Rahut Bosi, Pangaribuan, Taput. Asal tau Pangaribuan hanya berjarak kl 30 Km saja dari kota Tarutung selaku ibukota Taput. Dan dari Pangaribuan ke Aek Naoto Rahut Bosi hanya berjarak 9,7 Km saja. Sedangkan dari Ajibata (Simalungun) -- dermaga penyeberangan Ferry ke pulau Samosir -- ke Aek Naoto berjarak kl 127 Km. Ajibata ke Tarutung 102 Km.

Aek Naoto duplikat di Desa Rura Julu Dolok, Sipoholon. Foto : ninna.id
Aek Naoto duplikat di Desa Rura Julu Dolok, Sipoholon. Foto : ninna.id

Tak berapa jauh, tapi karena berlika-liku naik-turun. Tur ke Aek Naoto memang melelahkan. Tapi syukurlah, kita cukup terhibur melihat pemandangan alam di kiri dan kanan kita sepanjang perjalanan ke Tarutung sebagai stop over. Dan dari Tarutung langsung ke Aek Naoto atau singgah dulu di Huta Pakpahan selaku ibukota Kecamatan Pangaribuan untuk melihat situs Datu Ronggur Diaji Pakpahan yi penakluk Pangaribuan kl 280-300 tahun lalu.

Aek Naoto, Rahut Bosi, Pangaribuan, adalah sebuah sungai alami yang bening dari sumber Dolok Saut. Dinamai Aek Naoto sudah sejak zaman sang penakluk Pangaribuan kl 300 tahun lalu yi Datu Ronggur Diaji Pakpahan. Sungai ini di musim kemarau sangat jernih airnya, tapi frequently meluap justeru di musim kemarau. 

Sedangkan di musim penghujan air sungainya normal atau biasa-biasa saja nggak ada kecenderungan bakal meluap kalaupun hujannya deras. Tak heran warga Pangaribuan sudah luama sekali menamai sungai medium ini sebagai Aek Naoto atau sungai bodoh,

Kalaupun ada sungai serupa dinamakan Aek Naoto di Sipoholon, Tarutung. Itu tiruan. Perbedaannya, pertama kalau Aek Naoto Pangaribuan itu sudah lama ada dalam folklore atau turi-turian warga Pangaribuan, sedangkan yang di Desa Rura Julu Dolok, Sipoholon, tak ada turi-turiannya, maka dipastikan ada warga Sipoholon yang berdagang di onan atau Pasar Pangaribuan yang buka sekali seminggu itu, pernah menyegarkan diri ke Aek Naoto Pangaribuan dan di antaranya ada yang mengutip nama itu begitu saja karena merasa fenomena alamnya yang tak terjelaskan serupa yi sungai itu sewaktu-waktu meluap di musim kemarau dan normal di musim penghujan. 

Kedua, sungai yang di Sipoholon itu tidak deras airnya seperti yang di Rahut Bosi. Ketiga, sungai di Sipoholon itu telah dikelola oleh salah seorang warga menjadi salah satu obyek wisata berenang dan memancing kepiting sungai.

Penamaan duplikatif obyek wisata seperti ini juga harus ditertibkan, agar panduan wisata tano Batak tidak tercemari penamaan plagiat seperti ini. Juga sudah saatnya pemda setempat membenahi obyek wisata semacam itu seperti tangga batu turun-naik ke sungai; tempat bersih-bersih diri dan ganti baju saat mau mandi atau berenang dan saat setelah mandi, lalu diberi penanda Aek Naoto selaku salah satu obyek wisata alam di Taput.

Menurut tetua Pangaribuan, jangan pandang enteng penamaan Aek Naoto itu dan jangan sembarang omong disitu. Sudah cukup bukti selama ini, mereka yang cakap kotor disitu "peol babana", demikian O. Herlina Pakpahan kepada saya ketika pulkam beberapa waktu lalu ke huta Pakpahan, Pangaribuan, Tapanuli Utara.

Wow, sebuah misteri menarik. Dan fenomena alam tak terjelaskan ini sebagaimana telah  disinggung di muka, membuat sungai medium yang deras dan jernih airnya ini dinamakan Aek Naoto? 

Kalau dipikir seseorang sampai bisa "peol baba"nya karena hanya bercakap kotor yang tak berkenan bagi si penunggu sungai, mengapa nama yang dikukuhkan bukan Aek Begu (Sungai Iblis) saja. Inilah saya pikir pandai dan bijaknya orang jadul Pangaribuan. 

Kalau dinamai horrific seperti itu, ya tentu nggak bakal ada yang berani nyebur berendam di sungai jernih dan alami itu. Ini semacam warning juga bagi pengelola wisata setempat agar menempatkan tata tertib yang salah satu pasalnya adalah folklore warga yang menyatakan bahwa kita tak boleh asal-asalan disitu ntah buang sampah sembarangan atau bercakap kotor yang nggak perlu. Pokoknya berdisiplin yang baguslah seperti orang Jerman dan Jepang, niscaya semuanya akan berjalan dengan baik dan berakhir happy.

Salah Satu keunikan Aek Naoto selaku obyek wisata alam yang masih polos adalah tekanan air di sungai medium ini lumayan kuat, sehingga bisa dijadikan media untuk mengurut badan yang terasa pegal. 

Singkatnya bisalah untuk terapi kelelahan fisik. Selepas berenang di sungai, kita pun dapat mendaki ke bukit Pagaran bagian dari Dolok Saut untuk ambil foto panorama alam yang bagus, termasuk memotret pohon haminjon atau kemenyan atau styrax sumatrana, pohon harumonting yi sejenis perdu yang berbuah asam-manis yang hanya ada di sebagian tano Batak seperti Rahut Bosi dan jangan lupa memotret pohon Andaliman yi lada khas tano Batak untuk bumbu masak atau yang mudah adalah sambal andaliman untuk daging panggang apa saja.

Obyek wisata alam yang masih polos seperti Aek Naoto ini banyak sekali di seantero tano Batak. Itulah PR bagi pemda setano Batak dan stake holder lainnya untuk bagaimana agar kesinambungan benah-benah Danau Toba yang telah diajarkan dengan optimal oleh Pak Jkw dan Pak Luhut dapat berkelanjutan tanpa harus mencemaskan pemerintahan berikut pasca Jkw bagaimana?

Akhirnya, mari Traveling ke Danau Toba dengan Mindset Baru bahwa bukan hanya Danau Toba saja pilihan pariwisata kita, melainkan banyak pilihan disana. Ayoo ....

Joyogrand, Malang, Tue', June 21, 2022.

Aek Naoto, Rahut Bosi, dari sisi jembatan sebelah kanan menuju Huta Pakpahan ibukota Pangaribuan dari Pansurnatolu. Foto : Parlin Pakpahan.
Aek Naoto, Rahut Bosi, dari sisi jembatan sebelah kanan menuju Huta Pakpahan ibukota Pangaribuan dari Pansurnatolu. Foto : Parlin Pakpahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun