Pada awal penerapan, US$ menimbulkan gelojak di tengah masyarakat. Hal ini karena nilai dollar AS sangat tinggi untuk ukuran standar harga barang dan jasa di Timor Leste. Menerapkan US$ sebagai mata uang resmi negara, membuat harga-harga barang dengan cepat melambung tinggi.
Namun pemerintah bersikukuh dengan asumsi bahwa penggunaan US$ tidak berpengaruh pada harga, namun masyarakatlah yang harus menyesuaikan melalui pengaturan jumlah barang atau jasa.
Setelah cukup lama tercenung karena saya pernah bertugas disana, saya pikir ada keterlenaan panjang disini. Rising demand expectations dari sebuah bangsa yang baru merdeka tak ada dalam kalkulasi politik para politisi senior sebangsa Xanana dan Horta. Mereka terkesan lebih sibuk dengan penataan politik di pusat kekuasaan seraya bermain mata dengan Australia soal Timor Gap yang harus segera dijadikan uang.
Memang benar parlemen mulai bergerak, KPU terbentuk, Judikatif dengan Kejagung dan Kehakiman segera terbentuk dst, begitu juga dengan ladang minyak Laut Timor telah dieksploitasi dan menghasilkan uang.
Di tengah jalan rising demand expectations itu meledak ketika Mayor Alfredo dari angkatan yang lebih muda memberontak sehingga menimbulkan kekacauan di kota Dili.
Usai krisis ini diatasi, kemudian giliran investor yang akan berinvestasi ternyata menjadi Mr Akan semuanya, termasuk investor asal Indonesia, kecuali China yang diam-diam membantu banyak hal di Timor Leste, mulai dari PLTD, Proyek Tasi Mane, infrastruktur jalan dan jembatan dan secara bertahap memasukkan warganya sendiri untuk memutar ekonomi Timor Leste. Tak heran kini tercatat kl 4000 warga China yang berbisnis di Timor Leste, mulai dari bisnis skala kecil hingga skala besar.
Tapi pemerintah lupa warisan Indonesia untuk pertanian dan perkebunan. Impor beras sudah sangat memberatkan, karena Timor Leste lupa dua faktor kunci swasembada pangan disana yi mewujudkan Dam Iralalara di Los Palos dan Dam Betano di Manufahi.
Sumber air di kedua daerah itu sangat cukup untuk pengairan sawah-ladang. Hanya tinggal bagaimana blue print Indonesia di masa lalu dapat dilanjutkan Timor Leste dengan teknologi masa kini dalam rangka swasembada pangan. Juga pemerintah Timor Leste lupa peremajaan sandalwood atau tanaman cendana.
Maka sandalwood praktis tak terdengar lagi namanya. Indonesia punya blue print untuk melestarikannya dan sekaligus memproduksinya sebagai minyak cendana bernilai jual tinggi sebagai bahan parfum dunia.
Juga Timor Leste lupa bahwa perkebunan kopi di Ermera, Liquica dan Manufahi tak bisa dilanjutkan begitu saja tanpa peremajaan, karena usia produktif tanaman kopi itu hanya 8-10 tahun saja.
Maka saya terkejut sekali ketika melintasi Ermera beberapa waktu lalu, karena pohon kopi warisan Indonesia ternyata itu-itu juga dan belum pernah diremajakan.