Krisis IDI Dan PDSI Yang Menggebrak-gebrak
Mantan Menkes Terawan Agus Putranto resmi bergabung dengan Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI).
"Letjen TNI (Purn) Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) RI dan Mayjen TNI (Purn) dr. Daniel Tjen, Sp. S., resmi bergabung dengan PDSI," demikian Sekum PDSI, Erfen Gustiawan, sebagaimana ditulis tempo.co.id 14 Mei 2022 ybl.
Terawan resmi bergabung dengan PDSI sejak Jumat, 13 Mei 2022. Belum lama ini, PDSI menemui Terawan untuk menanyakan kesediaannya bergabung menjadi pengurus. Terawan diminta menjadi pelindung dan ia disebut telah bersedia.
Sebelumnya Ketua PDSI, Jajang Edy Prayitno, mengatakan, organisasinya akan mendukung dan memfasilitasi penelitian terapi "cuci otak" ala Terawan jika bergabung.
"PDSI akan memfasilitasi penelitian lanjutan dari DSA (Digital Subtraction Angiography) agar sempurna sehingga jadi terapi gold standard untuk kasus-kasus stroke", demikian Jajang eks stafsus Terawan kepada Tempo 30 April 2022 lalu.
PDSI adalah organisasi sempalan, so tidak memiliki kewenangan mengeluarkan rekomendasi izin praktik dokter. Sampai saat ini, organisasi profesi yang memiliki kewenangan tersebut hanya IDI. Izin praktik Terawan masih berlaku sampai 5 Agustus 2023. Setelah itu, ia butuh rekomendasi IDI untuk memperpanjang izin. Terkait hal itu, Jajang meyakini DPR akan segera merevisi Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagaimana yang belakangan digaungkan untuk mengevaluasi IDI.
Pemberhentian Terawan adalah hasil Muktamar Ke-31 IDI di Banda Aceh. Maret lalu diputuskan pemberhentian tetap Terawan sebagai anggota. Keputusan itu diambil oleh PB IDI setelah pengurus mendapat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI. Terawan dipecat karena dianggap melakukan pelanggaran etika berat.
Pemberhentian Terawan merupakan kelanjutan eksekusi sanksi terhadap Terawan sejak Muktamar IDI di Samarinda pada 2018 lalu. MKEK menjatuhkan sanksi etik kepada Terawan. Terawan dinyatakan terbukti melanggar etika kedokteran karena melakukan terapi pasien stroke dengan metode Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) atau metode cuci otak.Â
Menurut berbagai pakar IDI dan hasil investigasi Satgas Kemenkes, metode itu tidak memiliki bukti ilmiah, sehingga terapi untuk pasien dipastikan melanggar etik kedokteran.
Pada 2018 itu juga, Menkes dr. Nila F. Moeloek menegaskan masalah dr. Terawan adalah murni masalah keprofesian, dimana IDI memutuskannya melalui penelitian yang dalam hal ini dilakukan oleh MKEK.
IDI malah menawarkan kepada Terawan untuk kembali menjadi anggota IDI dengan sejumlah syarat dan prosedur. Namun sampai saat ini belum terdengar respon lanjutan dari Terawan. Terkorek dari staf dekatnya Terawan mengaku pasrah saja dengan keputusan IDI. Namun, belakangan orang terdekatnya membuat organisasi baru dan Terawan bergabung dengan organisasi baru itu, demikian tempo.co.id, 14 Mei 2022.
Terawan boleh dibilang adalah bintang panggungnya krisis IDI sekarang. Di balik ketenangannya yang misterius, PDSI sempalan IDI mulai menggebrak-gebrak. Ini mirip krisis Peradi, tapi tak sama. Di Peradi dikenal apa yang namanya kepastian hukum dan di IDI dikenal kepastian etik kedokteran.Â
Sesuatu yang belum melalui prosedur uji klinis dan nyata hasilnya di lapangan belum boleh dikatakan sebagai therapi, melainkan hanya sekadar diagnosis. IDI adalah ikatan profesi yang berhubungan dengan nyawa manusia. Sedangkan Peradi adalah ikatan profesi yang menyoal kepastian dalam pidana dan perdata, sedangkan masalah etika adalah sesuatu yang relatif di dewan kehormatan Peradi. Sedangkan di IDI, masalah etika kedokteran adalah sesuatu yang absolut.
Selayang pandang Terawan. Ia adalah dokter tentara kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1964 (58 Tahun). Lulus dari FK UGM pada 1990 di usia 26 tahun. Dia kemudian melanjutkan pendidikan spesialis Radiologi di Unair Surabaya,Â
kemudian mengambil program doktor di Unhas pada 2016 dengan disertasi berjudul "Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoke Potentials dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis" dengan promotor dekan FK Unhas, Prof Irawan Yusuf, PhD.
Terawan mulai menjadi dokter tentara begitu lulus dari FK UGM pada 1990 dan ditugaskan di berbagai wilayah, hingga akhirnya menjabat sebagai Kepala RSPAD Gatot Soebroto Jakarta sejak 2015.
Dilihat dari track recordnya terkesan normal. Namun sejak praktek cuci oktaknya di RSPAD yang membonceng opini sejumlah pesohor yang sempat jadi pasiennya yang seolah healing yang dilakukannya ok banget dan therapinya yang konon dibandrol Rp 35 jutaan sampai ratusan jutaan, bahkan digembargemborkan telah mengobati kl 4000 pasien stroke dengan hasil baik. Inilah yang membuat IDI meradang.
Dilihat dari sisi kedokteran yang manapun itu, cuci otak ala Terawan tak ada artinya, karena belum ditulis dalam jurnal ilmiah dunia, jurnal RSPAD sendiri dan dipertanggungjawabkan kepada IDI terkait apakah semua langkah-langkah uji klinis telah dilakukan Terawan, sebagaimana vaksin Covid-19 kemarin.
Begitu juga dalam lomba vaksin Covid-19, sepak terjang Terawan dalam vaksin nusantara dipertanyakan. Ujicoba yang hanya kepada segelintir tentara di Cimahi koq bisa dijadikan ukuran bahwa itu sudah melalui uji klinis dan minta segera dilegalisir oleh BPOM, sementara vaksin merah putih saja yang duluan dikembangkan lembaga Eijkman dan Unpad belum juga uji klinis hingga sekarang. Lha iki opo cak, tanya orang Malang.
PDSI dalam bayangan Terawan mulai menggebrak-gebrak agar pemerintah merevisi UU Kedokteran. Mereka tidak mau hanya IDI satu-satunya organisasi dokter. Gebrakan semacam ini terkesan keblinger. Posisi pemerintah sejauh ini masih mengacu pada UU Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004. Organisasi Profesi kedokteran yang diakui pemerintah adalah IDI dan PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia).
Sama dengan pendahulunya Dokter Nila F. Moeloek, Menkes sekarang Gunadi Sadikin menegaskan masalah Terawan adalah masalah keprofesian, seraya menambahkan kalaupun mau bikin organisasi sendiri ya itu sah-sah saja. Namanya aja demokrasi.
Kalau mau ditimbang lebih jauh, sebaiknya kita lihat dulu kasus-kasus stroke di lapangan. Penyakit stroke banyak penyebabnya, salah satunya adalah tekanan darah kita yang tiba-tiba tidak bisa berbalik, maka kita stroke.
Ada stroke ringan, sedang, berat dan superberat. Stroke bergradasi seperti itu, tapi dalam praktek selama ini stroke ringan maupun stroke superberat tak ada yang 100% sembuh, tetap saja akan meninggalkan cacad kl 20%. Orang stroke itu ibarat rumah tinggal yang saklar listriknya putus. Bagaimana agar saklar ini berfungsi kembali, tentu kalau listrik di rumah ya harus ganti saklar agar aliran listrik di rumah berfungsi kembali atau untuk manusia agar saklar syaraf kita berfungsi lagi.
Yang perlu diingat saklar untuk makhluk hidup yang namanya manusia tentu berbeda dengan sambungan listrik di rumah. Saklar syaraf yang harus diganti inilah yang belum ada sampai sekarang. Kalaupun Terawan punya metoda cuci otak. Itu bukanlah therapi, melainkan baru tahapan diagnosis.Â
Yang pasti untuk Terawan metodanya itu baru di tahapan uji akademis untuk S3nya di Unhas. Sedangkan uji klinisnya? Masih nol besar sampai sejauh ini, maka tak heran dianggap tidak signifikan, bahkan sangat tidak etis untuk digunakan sebagai therapi stroke.
Yang stroke superberat seperti PM Israel Ariel Sharon (2001-2006) yang tercatat spektakular pernah koma hingga 8 tahun. Sharon telah mengalami obesitas sejak tahun 1980-an, dan telah mengalami tekanan darah tinggi kronis dan kolesterol tinggi. Â
Sharon dirawat di rumah sakit pada 18 Desember 2005, setelah menderita stroke iskemik ringan. Selama dirawat di rumah sakit, dokter menemukan kelainan jantung yang memerlukan pembedahan dan memerintahkan istirahat di tempat tidur sambil menunggu kateterisasi jantung yang dijadwalkan pada 5 Januari 2006.Â
Sharon yang tak bisa diam, malah kembali bekerja dan menderita stroke hemoragik pada 4 Januari. Dia dilarikan ke Hadassah Medical Center di Yerusalem. Setelah dua operasi yang berlangsung selama 7 dan 14 jam, dokter menghentikan pendarahan di otak Sharon, tetapi tidak dapat mencegahnya dari koma.Â
Laporan medis selanjutnya menunjukkan bahwa Sharon telah didiagnosis dengan angiopati amiloid serebral (CAA) selama rawat inap di bulan Desember. Direktur Rumah Sakit Hadassah Shlomo Mor-Yosef menolak untuk menanggapi komentar bahwa kombinasi CAA dan pengencer darah setelah stroke Sharon Desember mungkin menyebabkan stroke berikutnya yang lebih serius.
Para ahli medis menunjukkan bahwa kemampuan kognitifnya kemungkinan besar telah dihancurkan oleh stroke. Setelah menghabiskan delapan tahun dalam keadaan koma, Sharon meninggal pada pukul 14.00 waktu setempat (12:00 UTC) pada 11 Januari 2014.
Gus Dur saja pernah berobat ke Israel terkait tumpukan gula di matanya, karena masalah healing di Israel memang mendunia. Tapi toh di bagian-bagian medik yang belum terpecahkan hingga sekarang, pihak medis tercanggih sekalipun seperti di Israel takkan dapat mengatasinya.
Akhirnya sudahi sajalah 4000 pasien x 150 jutaan = Rp 600 milyar itu, sebaiknya penuhi saja uji klinis yang memang adalah syarat mutlak yang tak bisa ditawar dalam praktek kedokteran.
Ini akan jauh lebih etis dan terhormat di mata bangsa dan dunia ketimbang menggebrak-gebrak dengan organisasi sempalan semacam PDSI, apalagi mencoba membonceng sphere of influence dari orang-orang yang dekat dengan penguasa, apalagi dijurubicarai seorang pendeta semacam Gilbert Lumoindong, untuk mempengaruhi legislator kita agar tergiring mau mengubah UU Kedokteran No. 29 tahun 2004.
Bravo IDI. Pertahankan terus etos kedokteran yang beretika tinggi. Itu sangat vital bagi manusia dan kemanusiaan di negeri ini.
Joyogrand, Malang, Mon', May 16, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H