Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Masalah Kebersamaan Kita yang Tak Kunjung Beres

24 Maret 2022   16:01 Diperbarui: 24 Maret 2022   16:03 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Menkopolhukam Mahfud MD. Foto : bicaraberita.com

Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Masalah Kebersamaan Kita Yang Tak Kunjung Beres

Tak terasa krisis Ukraina nun jauh di Eropa sana telah memasuki hari ke-29. Meskipun ada sirkuit MotoGp Mandalika yang baru saja menyelesaikan event Superbike dan ada Mbak Rara yang beraksi selaku pawang hujan disitu. Tapi tetap fokus kita dan dunia masih pada masalah Ukraina.

Hal itu sontak berubah ketika lagu lama muncul lagi belum lama ini dalam video Pendeta Syaifuddin Ibrahim. Video yang direlease 16 Maret lalu itu bikin geger karena tanpa reserve menyatakan 300 ayat-ayat kebencian dalam Al Quran perlu dihapus.

"Selama ini orang Kristen dihina, di televisi, di toa masjid, itu luarbiasa penghinaan yang dialami orang Kristen, membangun gereja pun susah," kata Syaifuddin dalam video yang diunggah di kanal YouTube-nya, Rabu, 16 Maret 2022.

Dia mengatakan Undang-Undang dengan jelas menjamin setiap orang untuk menjalankan ibadahnya. Namun menurut dia, setelah tahun 1990-an, penghinaan terhadap orang Kristen semakin marak.

"Jadi jangan lihat video saya ini memecah belah, saya ini minoritas, siapa saya bisa memecah belah bangsa Indonesia," kata dia.

Dia mengatakan permintaannya agar 300 ayat di Al Quran dihapus hanyalah sebuah permintaan. Dia mengatakan permintaan itu bisa diterima atau ditolak.

Syaifuddin menolak permintaannya itu dianggap menghina Islam. Menurut dia, lebih banyak pemuka agama lain lebih menghina agamanya ketimbang yang dia lakukan. Menurut Syaifuddin, permintaan itu tidak akan keluar dari mulutnya bila toleransi di Indonesia benar-benar dijalankan.

Permintaan penghapusan 300 ayat ini ditujukan kepada Menag Yaqut Cholil Qoumas dan di luar dugaannya yang spontan membypass menjawabnya malah Menkopolhukam Mahfud MD. Tak ayal pendeta ini pun marah besar dan menantang Mahfud yang asal Madura untuk carok ala Madura. Syaifuddin yang merasa tak menista Islam, sebagaimana dituduhkan Mahfud, koq malah dituduh menista dengan ancaman pidana 5 tahun penjara. Yang bener saja Pak Mahfud, ujarnya.

Masalah Ukraina pun bergeser dari pandangan saya yang semula ingin menulis kembali artikel tentang Ukraina dan sepak terjang Russia serta hiruk-pikuk propaganda AS dan barat dalam krisis tersebut. Terpaksa niat itu ditunda dulu untuk sementara, karena sepertinya Kyiv sudah semakin dekat akan jatuh ke tangan Putin dan pastinya akan kembali ke pangkuan Ibu pertiwi Ukraina yi Russia dan Slavia Raya.

Kita kembali ke pendeta yang satu ini. Semula Syaifuddin yang asal Bima Sumbawa ini adalah seorang penganut Islam yang belajar agama di Fakultas Ushuluddin jurusan perbandingan agama di Universitas Muhammadiyah, Solo dan selepas itu sempat mengajar di salah satu Ponpes di Depok dan Kuningan. Kemudian ybs beralih ke agama Kristen pada 2006 dan dalam perjalanan waktu malah jadi seorang pendeta Kristen. 

Ia pertamakali berhadapan dengan hukum negeri ini pada 2017 ketika dituduh menghina Nabi Muhammad. Ia pun divonis 4 tahun penjara pada Mei 2018. Dan Maret 2022 ini adalah yang kedua kalinya dia dituding menghina Nabi Muhammad dan Islam. Kalau posisinya di tanah air, boleh jadi pendeta yang sesungguhnya kalem ini bakal diciduk bareskrim untuk dimintai keterangan sebagaimana biasanya. 

Menurutnya ia memang sedang di AS dan salah satu misinya ialah ke divisi hukum internasional di PBB untuk melaporkan soal tidak fairnya pengadilan di negeri ini dalam memutus banyak kasus dalam interaksi antar agama. 

Kasus yang dibawanya adalah kasus MKC yang divonis 10 tahun penjara hanya karena menerjemahkan salah satu ucapan Nabi Muhammad sesuai aslinya, bahkan MKC sempat divermak secara keji oleh seorang perwira polisi bernama Napoleon Bonaparte yang telah melepaskan independensinya selaku penegak hukum. 

Dalam tempo dekat ini keputusan pengadilan akan ditetapkan terhadap MKC. Kita akan melihat apakah pengadilan terkait interaksi beragama di Indonesia itu Adil atau Biadab, cetus Syaifuddin lagi.

Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Menkopolhukam Mahfud MD. Foto : bicaraberita.com
Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Menkopolhukam Mahfud MD. Foto : bicaraberita.com

Seorang dirikah Syaifuddin yang katakanlah sang penantang soal kebersamaan bernegara berbangsa dan bermasyarakat ini? Bisakah kita mencapnya semena-mena sebagai orang gila? Atau menyamakannya dengan para teroris yang selama ini ditangkap Densus 88? Dan masih banyak pertanyaan lain yang tentu akan panjang sekali tak ada habisnya. 

Tapi satu yang terpenting dalam penampilan videonya yang terkini itu bahwa Syaifuddin terlihat tenang dengan narasi yang sangat logis, tapi ada beberapa intonasi yang prinsipil seperti koreksinya terhadap kegegabahan Menkopolhukam Mahfud yang langsung meresponnya sebagai segera diusut karena menista agama untuk merevisi ajaran pokok dan membuat gaduh; juga ada tekanan untuk melihat kembali peradilan mulai dari kasus Meliana di Tg Balai Sumut; kasus Yahya Waloni si penista Yesus dan Kristen yang hanya dihukum 4 bulan penjara, kasus Rizieq, kasus Abdul Somad, kasus Nandar, kasus Kaimana, kasus Irene Handoko dan banyak lagi lainnya.

Mungkin ada sosok lain seperti Paul Zhang. Tapi Zhang yang kini adalah warga Jerman jauh berbeda dengan  Syaifuddin. Zhang kelihatan membawa soal interaksi beragama dalam kebersamaan Indonesia ini sebagai persoalan pribadi. Ia mengajak duel udara melalui zoom-zoom-an. Lalu mendungu-dungukan orang yang tak sependapat dengannya tak ubahnya Rocky Gerung dan Fadli Zon di zona perpolitikan buzzers. Kalaupun ada YouTuber lainnya seperti Bambang Rooseno dan Ezra Soru. Keduanya hanyalah apologet yang berusaha menjelaskan keimanannya tanpa harus duel udara dengan lawan bicara. Sependapat monggo, tak sependapat ya ora opo-opo. Titik!

Lalu dari pihak lain. Ya tak terhitung. Dan benar tak lama setelah regime Soeharto hengkang dari sistem. Semuanya berubah. Arak-arakan agama tak pernah berhenti bahkan hingga saat ini. Belum lagi bom-bom bunuh diri yang meledak dimana-mana nggak di gereja nggak di tempat umum, tempat wisata dst.

Media Online pun berkembang seiring dengan dengan kebebasan yang menggila itu. Dakwah-dakwah meluncur seenak beronya tanpa melihat lagi rambu-rambu kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Dan ini sangat menonjol pada sosok Abdul Somad Batubara, Rizieq, Felix Siauw dan sebangsanya.

So di banyak postingan sebelumnya, Syaifuddin sesungguhnya lebih banyak bertindak sebagai apologet. Hanya perbedaannya karena ia menguasai agama Islam secara keilmuan dan juga tahu benar Bahasa Arab, tidak seperti Yahya Waloni yang tak tahu sama sekali Bahasa Arab. Tak heran dalam penjelasan apologetiknya, terutama dalam menyingkap ayat-ayat tertentu yang langsung diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia dengan begitu fasihnya, maka ini yang membuat gaduh publik yang unliterer. 

Saya mencoba buka juga narasi-narasi dari dunia pendidikan tinggi agama seperti Eko Nopriyansyah misalnya dari STAI di Palembang sana. Ujung-ujungnya hanya karena menanggapi Syaifuddin bukan dengan katakanlah semacam rudal terkini Russia yi Kinzhal atau Belati, maka yang terjadi dalam karya tulis itu ialah pembenaran diri sendiri dengan menghempaskan pendapat Syaifuddin ke tong sampah. Masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu yang sungguh menyesakkan dada dan tak logis buat Indonesia yang majemuk ini.

Saya pikir lebih jauh dengan pengalaman liberalisme kita pasca Soeharto, sebaiknya semua kegaduhan yang sesungguhnya tak perlu dalam kebersamaan Indonesia ini ditinjau ulang dengan terlebih dahulu memahami mengapa koq hanya Islam dan Kristen saja yang berduel soal keyakinannya. Kalaupun ada keyakinan lain. Itu dipastikan terimbas dari duel berkepanjangan ini. Misalnya Hindu Bali dan Wiwitan Sunda yang dicerca Rizieq, beberapa klenteng yang sempat mau dibakar massa hanya gegara kasus Rohingya di Myanmar.

Saya pikir begini Kristen dan Islam itu perlu kita letakkan pada garis continuum yang berbeda. Kristen dan Islam pada dasarnya adalah kelanjutan agama Yahudi. Keduanya bernabikan nabi-nabi Yahudi. Keduanya meyakini Taurat Musa. Hanya dalam konteks ini kita perlu meyakinkan kedua pemeluk agama wahyu ini bahwa keduanya tidak lagi dari garis continuum Yahudi begitu sampai di titik Yesus dan Muhammad. Yahudi tetap pada garis continuumnya. Tapi Kristen dan Islam tidak lagi di garis itu. Kalau dicobapaksakan diletakkan pada garis continuum itu yang terjadi adalah malapetaka, karena apapun tak lagi ketemu disitu kecuali taurat Musa dan nabi-nabi Yahudi.

Seyogyanya pengajaran agama Kristen dan Islam, tanpa harus mengubah ayat, menegaskan perkembangan keyakinan mereka berangkat dari titik Yesus dan Muhammad. Sebuah keyakinan, apapun itu, tak bisa disebut ilmiah. Seperti Yesus bagi Kristen adalah Tuhan Allah itu sendiri. Islam meyakini Allah adalah Allah bukan dalam tampilan manusia. Keduanya hanya bisa dijelaskan oleh keyakinan mereka sendiri. Maka siapapun yang mencoba mengeksplorasi dengan cara apapun akan jatuh ke jurang kebodohan yang dapat menyengsarakan bangsa ini karena akan berujung pada usaha menampik keberagaman itu sendiri dalam sebuah kesatuan nation.

At the end, saya hanya ingin mengatakan Pendeta Syaifuddin Ibrahim perlu dipanggil untuk pulang ke tanah air dan dimintai keterangan, tapi tentu ke depannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, negara ini perlu memposisikan persoalan jadul pasca Soeharto ini untuk segera dimejabundarkan. Dengan kata lain perlu ada rekonsiliasi nasional dengan melibatkan semua petarung kedua agama di udara yang selalu bikin heboh ini dan tokoh-tokoh agama yang piawai di bidang keormasan agama serta theolog-theolog yang mumpuni yang betul-betul literasinya jempol dan bukan kaleng-kaleng.

Saya pribadi berasal dari keluarga yang melting pot, ada Islam, Kristen bahkan Agnostik disitu. Kami keluarga besar koq bisa damai sedangkan jagad nasional nggak bisa, malah lebih memilih tarik urat tak habis-habisnya. Ini sangat berbahaya, karena negara crazy seperti AS dapat memelintirnya asal-lah untuk kepentingan nasionalnya, sebagaimana AS mengipa-ngipas kaum Wahabi di Arab Saudi yang membuat bencana dahsyat di middle east yang banyak memakan korban itu.

Joyogrand, Malang, Thu', March 24, 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun