Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Masalah Kebersamaan Kita yang Tak Kunjung Beres

24 Maret 2022   16:01 Diperbarui: 24 Maret 2022   16:03 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Menkopolhukam Mahfud MD. Foto : bicaraberita.com

So di banyak postingan sebelumnya, Syaifuddin sesungguhnya lebih banyak bertindak sebagai apologet. Hanya perbedaannya karena ia menguasai agama Islam secara keilmuan dan juga tahu benar Bahasa Arab, tidak seperti Yahya Waloni yang tak tahu sama sekali Bahasa Arab. Tak heran dalam penjelasan apologetiknya, terutama dalam menyingkap ayat-ayat tertentu yang langsung diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia dengan begitu fasihnya, maka ini yang membuat gaduh publik yang unliterer. 

Saya mencoba buka juga narasi-narasi dari dunia pendidikan tinggi agama seperti Eko Nopriyansyah misalnya dari STAI di Palembang sana. Ujung-ujungnya hanya karena menanggapi Syaifuddin bukan dengan katakanlah semacam rudal terkini Russia yi Kinzhal atau Belati, maka yang terjadi dalam karya tulis itu ialah pembenaran diri sendiri dengan menghempaskan pendapat Syaifuddin ke tong sampah. Masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu yang sungguh menyesakkan dada dan tak logis buat Indonesia yang majemuk ini.

Saya pikir lebih jauh dengan pengalaman liberalisme kita pasca Soeharto, sebaiknya semua kegaduhan yang sesungguhnya tak perlu dalam kebersamaan Indonesia ini ditinjau ulang dengan terlebih dahulu memahami mengapa koq hanya Islam dan Kristen saja yang berduel soal keyakinannya. Kalaupun ada keyakinan lain. Itu dipastikan terimbas dari duel berkepanjangan ini. Misalnya Hindu Bali dan Wiwitan Sunda yang dicerca Rizieq, beberapa klenteng yang sempat mau dibakar massa hanya gegara kasus Rohingya di Myanmar.

Saya pikir begini Kristen dan Islam itu perlu kita letakkan pada garis continuum yang berbeda. Kristen dan Islam pada dasarnya adalah kelanjutan agama Yahudi. Keduanya bernabikan nabi-nabi Yahudi. Keduanya meyakini Taurat Musa. Hanya dalam konteks ini kita perlu meyakinkan kedua pemeluk agama wahyu ini bahwa keduanya tidak lagi dari garis continuum Yahudi begitu sampai di titik Yesus dan Muhammad. Yahudi tetap pada garis continuumnya. Tapi Kristen dan Islam tidak lagi di garis itu. Kalau dicobapaksakan diletakkan pada garis continuum itu yang terjadi adalah malapetaka, karena apapun tak lagi ketemu disitu kecuali taurat Musa dan nabi-nabi Yahudi.

Seyogyanya pengajaran agama Kristen dan Islam, tanpa harus mengubah ayat, menegaskan perkembangan keyakinan mereka berangkat dari titik Yesus dan Muhammad. Sebuah keyakinan, apapun itu, tak bisa disebut ilmiah. Seperti Yesus bagi Kristen adalah Tuhan Allah itu sendiri. Islam meyakini Allah adalah Allah bukan dalam tampilan manusia. Keduanya hanya bisa dijelaskan oleh keyakinan mereka sendiri. Maka siapapun yang mencoba mengeksplorasi dengan cara apapun akan jatuh ke jurang kebodohan yang dapat menyengsarakan bangsa ini karena akan berujung pada usaha menampik keberagaman itu sendiri dalam sebuah kesatuan nation.

At the end, saya hanya ingin mengatakan Pendeta Syaifuddin Ibrahim perlu dipanggil untuk pulang ke tanah air dan dimintai keterangan, tapi tentu ke depannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, negara ini perlu memposisikan persoalan jadul pasca Soeharto ini untuk segera dimejabundarkan. Dengan kata lain perlu ada rekonsiliasi nasional dengan melibatkan semua petarung kedua agama di udara yang selalu bikin heboh ini dan tokoh-tokoh agama yang piawai di bidang keormasan agama serta theolog-theolog yang mumpuni yang betul-betul literasinya jempol dan bukan kaleng-kaleng.

Saya pribadi berasal dari keluarga yang melting pot, ada Islam, Kristen bahkan Agnostik disitu. Kami keluarga besar koq bisa damai sedangkan jagad nasional nggak bisa, malah lebih memilih tarik urat tak habis-habisnya. Ini sangat berbahaya, karena negara crazy seperti AS dapat memelintirnya asal-lah untuk kepentingan nasionalnya, sebagaimana AS mengipa-ngipas kaum Wahabi di Arab Saudi yang membuat bencana dahsyat di middle east yang banyak memakan korban itu.

Joyogrand, Malang, Thu', March 24, 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun