Selama delapan tahun terakhir ini Russia telah melakukan segala kemungkinan untuk menyelesaikan situasi di Donbass dengan cara damai. Semuanya sia-sia.
Dunia tanpa standar barat seharusnya tidak mentolerir kekejaman yang terjadi di Donbass. Russia harus menghentikan kekejaman itu, genosida jutaan orang yang tinggal di sana dan yang menggantungkan harapan mereka pada Russia. Aspirasi mereka, perasaan dan rasa sakit orang-orang inilah yang menjadi kekuatan pendorong utama di balik keputusan Russia untuk mengakui kemerdekaan republik rakyat Donbass.
Fokus pada tujuan mereka sendiri, negara-negara Nato utama mendukung nasionalis sayap kanan dan neo-Nazi di Ukraina, mereka takkan pernah memaafkan orang-orang Krimea dan Sevastopol karena dengan bebas membuat pilihan untuk bersatu kembali dengan Russia.
Mereka pasti akan mencoba untuk membawa perang ke Krimea seperti yang telah mereka lakukan di Donbass, untuk membunuh orang yang tidak bersalah seperti yang dilakukan oleh nasionalis Ukraina dan kaki tangan Hitler selama Perang Soviet Vs Jerman. Mereka juga secara terbuka mengklaim beberapa wilayah Russia lainnya.
Russia pada dasarnya menerima realitas geopolitik baru setelah pembubaran Uni Soviet. Russia telah memperlakukan semua negara baru pasca-Soviet dengan hormat dan akan terus bertindak seperti itu. Russia akan menghormati kedaulatan mereka, terbukti dengan bantuan Russia kepada Kazakhstan ketika menghadapi peristiwa tragis dan tantangan dalam hal kenegaraan dan integritasnya. Namun, Russia tidak bisa merasa aman, berkembang, dan eksis saat menghadapi ancaman permanen dari wilayah Ukraina pada saat ini.
Pada tahun 2000--2005 Russia telah menggunakan militernya untuk melawan teroris di Kaukasus. Pada tahun 2014, Russia mendukung orang-orang Krimea dan Sevastopol. Pada 2015, Russia menggunakan militernya untuk membuat perisai andal yang mencegah teroris dari Suriah menembus Russia. Ini adalah masalah bela negara. Russia tidak punya pilihan lain.
Republik rakyat Donbass telah meminta bantuan Russia. Dalam konteks ini, sesuai Pasal 51 (Bab VII) Piagam PBB, dengan izin Dewan Federasi Rusia, dan dalam pelaksanaan perjanjian persahabatan dan bantuan timbal balik dengan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk dan telah diratifikasi oleh Majelis Federal pada 22 Februari, Vladimir Putin telah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus di Ukraina.
Tujuan dari operasi ini adalah untuk melindungi orang-orang yang selama delapan tahun terakhir ini telah menghadapi penghinaan dan genosida yang dilakukan oleh rezim Kiev. Untuk tujuan ini, Russia akan berusaha untuk melakukan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina, serta mengadili mereka yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk terhadap warga Federasi Russia.
Bukanlah Rencana Russia untuk menduduki wilayah Ukraina. Russia tidak bermaksud memaksakan apa pun. Pada saat yang sama, Russia telah mendengar semakin banyak pernyataan yang datang dari Barat bahwa tidak perlu lagi mematuhi dokumen-dokumen yang menguraikan hasil Perang Dunia II, sebagaimana ditandatangani oleh rezim totaliter Soviet. Bagaimana respon Russia terhadap arogansi semacam ini?
Hasil Perang Dunia II dan pengorbanan Russia untuk mengalahkan Naziisme adalah suci kata Putin. Hal ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kebebasan dalam realitas yang muncul selama beberapa dekade pasca perang. Ini bukan berarti bahwa negara-negara tidak dapat menikmati hak untuk menentukan nasib sendiri yang diabadikan dalam Pasal 1 Piagam PBB.
Orang-orang yang tinggal di wilayah yang merupakan bagian dari Ukraina hari ini tidak ditanya bagaimana mereka ingin membangun kehidupan mereka ketika Uni Soviet didirikan atau setelah Perang Dunia II. Kebebasanlah yang memandunya. Russia percaya bahwa semua orang yang tinggal di Ukraina saat ini harus dapat menikmati hak ini untuk membuat pilihan bebas.