Tanpa pernyataan perang, Nazi Jerman menyerang Soviet pada 22 Juni 1941. Meski musuh akhirnya bisa dikalahkan, tetapi itu dengan biaya yang luar biasa mahal. Upaya untuk menenangkan agresor menjelang PD II terbukti merupakan kesalahan yang harus dibayar mahal oleh rakyat.Â
Pada bulan-bulan pertama setelah serbuan Jerman Nazi, Russia kehilangan wilayah strategis yang luas, serta jutaan nyawa. Russia kata Putin tidak akan membuat kesalahan ini untuk kedua kalinya.
AS dan sekutunya yang bercita-cita untuk mendominasi dunia telah secara terbuka menyebut Russia sebagai musuh mereka. Mereka melakukannya dengan impunitas, meski mereka tidak punya alasan untuk bertindak seperti itu. Memang benar bahwa mereka memiliki kemampuan finansial, ilmiah, teknologi dan militer yang cukup besar.Â
Russia menyadari hal ini dan memiliki pandangan objektif tentang ancaman ekonomi yang selalu digembargemborkan barat dengan meremehkan kemampuan Russia untuk melawan pemerasan yang tidak pernah berakhir ini.
Dalam urusan militer, bahkan setelah bubarnya Uni Soviet dan hilangnya sebagian besar kemampuannya, Russia saat ini tetap menjadi salah satu negara nuklir paling kuat. Selain itu, ia memiliki keunggulan tertentu dalam beberapa senjata mutakhir. Dalam konteks ini, tidak ada keraguan bagi Russia bahwa calon agresor seperti apapun itu akan menghadapi kekalahan dan konsekuensi yang tidak menyenangkan jika menyerang Russia.
Pada saat yang sama, teknologi, termasuk di bidang pertahanan, berubah dengan cepat. Kehadiran militer di wilayah yang berbatasan dengan Russia, jika diizinkan itu akan tetap ada selama beberapa dekade mendatang atau mungkin selamanya, menciptakan ancaman yang semakin meningkat dan sama sekali tidak dapat diterima bagi Russia.
Bahkan sekarang, dengan ekspansi Nato ke arah timur, situasi Russia menjadi lebih buruk dan lebih berbahaya dari tahun ke tahun. Selain itu, beberapa hari terakhir ini kepemimpinan Nato telah berterus terang dalam pernyataannya bahwa mereka perlu mempercepat dan meningkatkan upaya untuk membawa infrastruktur aliansi lebih dekat ke perbatasan Russia. Dengan kata lain, mereka telah memperkuat posisi mereka. Russia tentu tidak bisa tinggal diam dan pasif mengamati perkembangan ini.
Perluasan lebih lanjut dari infrastruktur Nato atau upaya berkelanjutan untuk mendapatkan pijakan militer di wilayah Ukraina tidak dapat diterima Russia.Â
Tentu saja, pertanyaannya bukan tentang Nato itu sendiri. Nato hanyalah alat kebijakan luar negeri AS. Masalahnya di Ukraina wilayah yang berdekatan dengan Russia, bahkan tanah yang sangat bersejarah bagi Russia, pemerintahan "anti-Russia" Â mulai terbentuk. Singkatnya pemerintahan Volodymyr Zelenskyy sepenuhnya dikendalikan dari luar. Zelenskyy melakukan segalanya untuk menarik angkatan bersenjata Nato dan mendapatkan senjata mutakhir dari barat.
Bagi AS dan sekutunya, ini adalah kebijakan untuk menahan Russia, dengan keuntungan geopolitik yang jelas. Bagi Russia, ini adalah masalah hidup dan mati, masalah masa depannya sebagai sebuah bangsa. Ini adalah sebuah garis merah dan barat telah melewatinya.
Dalam konteks Donbass. Russia melihat yang terjadi di Ukraina pada tahun 2014 adalah sebuah kudeta yang diseolahkan telah melalui sebuah pemilihan demokratis, padahal faktanya kosmetik dan regime baru telah meninggalkan penyelesaian konflik di Donbass secara damai.