TPU KERKHOF SUKABUMI KORBAN VANDALISM DAN KETIDAKPERDULIAN
Arnold Joseph Toynbee (14 April 1889 -- 22 Oktober 1975) adalah Sejarawan Inggeris terkemuka pada dekade 1940-1950. Karya dahsyat Professor Toynbee adalah "A Study of History" 12 jilid tebal-tebal yang ditulis sepanjang hampir 3 dekade (1934-1961).Â
Salah satu yang menarik dari buku monumental itu adalah kesimpulan Toynbee setelah meneliti kebangkitan dan kejatuhan 26 peradaban dalam perjalanan sejarah manusia.Â
Sebuah peradaban bangkit karena berhasil menjawab tantangan zaman di bawah kepemimpinan minoritas kreatif yang terdiri dari para pemimpin elit, demikian Toynbee.Â
Sampai sejauh ini kedua belas jilid buku monumentalnya itu masih dikutip banyak orang, bahkan cukup banyak bagian dari buku 12 jilid itu yang dijadikan quotes dalam diskusi-diskusi akademik maupun politik..
Ingatan tentang Toynbee tak lepas dari permasalahan yang dihadapi Indonesia sekarang. Mampukah kita mencari solusi apapun sejauh terkait dengan kepentingan nasional kita, ntah itu masalah yang kelihatan sepele seperti kerukunan antar tetangga misalnya, apalagilah yang besar-besar seperti eksperimen kemandirian kita terkait ekonomi kreatif dan iptek masa kini yang menopang kehidupan nasional kita dan yang terpenting lagi bagaimana kita berkompetisi dengan negara-negara lain yang tentu ingin survive dan abadi seperti apa maunya kita sekarang.
Mengerucut ke bawah salah satu permasalahan yang saya lihat belum lama ini adalah soal tempat pemakaman umum. Sialnya masalah itu nongol di kota Sukabumi yi kota masa kanak-kanak saya hingga tamat SMP sebelum melanjutkan SMA ke Yogyakarta dan PT di Semarang, kemudian married, lalu dinas everywhere hingga ke Timtim.Â
Tak heran saya lama eksodus dan jauh dari kota kecil yang indah itu. Yang saya syukuri ada penjaga gawang disana yi adikku Ninik dan iparku Lucky.Â
Keduanya tetap setia di kampung halaman keduaku itu setelah Rantau Prapat Sumatera utara. Adikku perempuan satu-satunya itu baru saja berpulang ke rumah Tuhan akhir 2021 ybl. Syukurlah adik iparku beserta keluarga tabah melepasnya.
Btw, koq harus Toynbee yang saya jadikan quotes hanya untuk masalah pemakaman. Saya pikir ya siapa lagi. Inget Rendra dia hanya mensuggest dalam salah satu puisinya tanyalah kepala desa.Â
Inget Chairil Anwar ia hanya mensuggest hidup hanya menunda kekalahan. Terpaksalah saya tanya raksasa filsafat sejarah Toynbee. Yang penting related. Kl begitu.
Gegaranya ketika saya mencoba mencari makam adik saya Ingot Pakpahan di TPK Kerkhof Sukabumi. Saya kaget bukan alang kepalang karena tempat yang dulunya saya tahu persis di Citamiang ini tak jauh dari kelurahan Tipar terlihat tidak lagi sebagai pemakaman umum, tapi sebagai ranah pembiaran untuk vandalism, ntahlah atau karena tempat itu adalah pemakaman eks Belanda yang kemudian namanya diganti pemkot dari TPK Kerkhof menjadi TPU Kerkhof. Yang pasti melihat sikon kita sekarang maka Bob Dylan benar dalam salah satu baladanya yi "the answer is blowin in the wind".
Sebelum lebih jauh, nama Kerkhof bukanlah legacy nenek moyang kita, melainkan  berasal dari kata Belanda (kerk = gereja, hof = makam) yang berarti tanah makam yang berada di halaman gereja. Penggunaan term Kerkhof adalah umum di Eropa, khususnya pada abad pertengahan.Â
Di Inggeris tanah makam di halaman gereja disebut "churchyard". Mengutip Mike Parker Pearson (1999) dalam "The Archaeology of Death and Burials", church atau gereja dan churchyards di Eropa, khususnya di Inggeris merupakan bangunan yang dianggap penting, suci dan mempunyai pengaruh yang kuat sekaligus sebagai pembeda kelas sosial.Â
Tapi itu sekarang sudah berubah total, kecuali kalangan super minoritas yi bangsawan Eropa seperti Pangeran Philips yang belum lama ini dimakamkan di bagian belakang salah satu istana kerajaan Inggeris.Â
Semua tanah makam di Eropa sudah menjadi TPU dan bukan lagi Kerkhof atau Churchyard yang adalah tanah makam di laman belakang gereja. Maklumlah populasi Eropa sudah padat, total Uni Eropa hampir 400 juta jiwa, apalagilah kita Indonesia yang kini berpopulasi total kl 275 juta jiwa.
TPU Kerkhof kota Sukabumi terletak di Jln Pramuka, Citamiang, Sukabumi, Jawa Barat. Area makam yang cukup luas ini adalah sebuah pemakaman eks Belanda yang sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.Â
Kerkhof tak jauh dari pusat kota. Menuju Kerkhof kita lewat Jln Kapten Harun Kabir di downtown Sukabumi, kemudian Jln Pelabuhan melewati kelurahan Tipar, dan tak jauh dari situ kemudian belok kiri, tak berapa lama kita pun sampai di TPK Kerkhof yang berbentuk seperti pulau dengan jalan Pramuka yang melingkarinya, dimana di sebelah atasnya juga Jln Pramuka dan di satu titik Polsek Citamiang berdiri nyaris di ujung pulau Kerkhof.
Sukabumi yang saya tahu
Ada baiknya kita telisik dulu sekilas kota Sukabumi yang di mata saya dan kaum beradab lainnya bermasalah dengan TPK Kerkhof.
Sukabumi adalah sebuah kota pegunungan di lereng Gunung Gede, Propinsi Jawa Barat. Kota ini merupakan kota dengan luas wilayah urutan ketiga terkecil di Jabar setelah Cirebon dan Cimahi, yakni 48,33 Km2 dengan jumlah penduduk 353.455 jiwa (data 2021). Sukabumi meliputi 7 Kecamatan yi Baros, Cibeureum, Cikole, Citamiang, Gunungpuyuh, Lembursitu dan Warudoyong serta 33 kelurahan.
Sementara Kabupaten Sukabumi yang berwilayah sangat luas dan sekarang beribukota Pelabuhan Ratu setelah sebelumnya kota Sukabumi, berpenduduk total 2.434.221 jiwa, meliputi 47 Kecamatan, 381 Desa dan 5 Kelurahan.Â
Kepadatan penduduk kl 590 jiwa/Km2. Menurut catatan Depdagri, Kabupaten Sukabumi adalah kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi, Jatim.
Nama Sukabumi berasal dari Bahasa Sunda, yi Suka dan Bumen dari folklore yang hidup di tengah masyarakat. Penggabungan kata Suka (Senang) dan Bumen (menetap) menjadi Sukabumi adalah sebuah penamaan dengan mengingat udaranya yang sejuk dan nyaman.Â
Pendeknya, sebagaimana keluarga besar saya, mereka yang bermigrasi kesini tidak ingin berpindah lagi, karena para migran lokal maupun dari luar merasa suka atau senang bumen atau bertempat tinggal di daerah ini.
Bermula dari Andries Christoffel Johannes de Wilde, seorang akhli bedah dan administrator perkebunan kopi dan teh Belanda di tanah Priangan yang membuka lahan perkebunannya sendiri di Tjikole, Sukabumi, selanjutnya setelah berhasil Andries menjualnya kembali kepada pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823.Â
Lokasi strategis Sukabumi antara Batavia dan Bandung dan hasil buminya yang banyak menyumbang pemasukan bagi pemerintah Hindia Belanda merupakan faktor penentu berkuasanya Pemerintah Hindia Belanda di Sukabumi dan dibangunnya jalur KA dari Boeitenzorg (Bogor) ke Sukabumi yang terhubung pada tahun 1882.Â
Jalur yang dibangun ini menjadi prasarana distribusi dalam pengangkutan hasil bumi dari Sukabumi seperti teh, kopi dan kina ke pelabuhan Tg Priuk di Batavia.
Karena hasil buminya yang wah itu, Belanda berkuasa di Sukabumi cukup lama untuk memanfaatkan tanah yang subur dan cocok dalam mengembangkan perkebunan Teh di Goalpara dan sekitar Selabintana, yi lereng Gunung Gede, termasuk Gunung Manik, yi sebuah area setelah Sukaraja tak jauh dari terowongan KA Lampegan yang menghubungkan Sukabumi-Cianjur.
Tak heran legacy Belanda di Sukabumi cukup banyak, seperti Kapel atau gereja kecil ala Eropa yang sejak pasca kemerdekaan dialihkan kepada komunitas Batak yang tinggal di Sukabumi yang sebagian besarnya adalah keluarga tentara. Dari Kapel eks Belanda, gereja tersebut berubah nama menjadi HKBP (Huria atau Gereja Kristen Batak Protestan).Â
Sekarang HKBP sudah melting pot, dimana jemaatnya tidak lagi didominasi keluarga tentara sebagaimana yang saya rasakan ketika beribadah disana di masa kanak-kanak hingga SMP. Siapa saja yang merasa protestan bisa beribadah disitu
Gereja yang masih terpelihara dengan baik ini terletak di Jalan Soedirman tak jauh dari jembatan Cipelang. Peninggalan kolonial lainnya adalah stasiun KA yang sekarang terdesak Pasar Tradisional Pelita yang dipermodern; pendopo di pusat kota yang dulunya adalah eks kediaman Pejabat Tinggi Hindia Belanda yang berkantor di Tjikole, yang kini menjadi Kantor Pemkot Sukabumi.
Pendopo itu pernah cukup lama jadi rumah Dinas Bupati Sukabumi. Setelah Otda ibukota Kabupaten pun berpindah ke Pelabuhan Ratu, demikian pula dengan rumah dinas Bupati. Sekarang pendopo itu jadi gedung PKK.
Juga banyak kita temukan rumah-rumah tua peninggalan Belanda di sepanjang Jalan Bhayangkara hingga eks AAK (Akademi Angkatan Kepolisian) yang kini menjadi Secapa (Sekolah Calon Perwira Polisi).Â
Rumah-rumah tua bergaya Belanda ini juga bisa kita telusuri keberadaannya mulai dari Lapangan Merdeka yang sekarang disebut alun-alun kota terus ke utara melalui Jalan Selabatu, lanjut ke Selabintana. Sayang, sebagian besar peninggalan sejarah itu sudah banyak berubah.
Seiring dengan perkembangan zaman, kota Sukabumi yang semula pada zaman Belanda merupakan kota kecil yang sejuk dan asri, kini semakin ramai dan semrawut.
Urbanisasi terjadi setiap saat dan pendatang datang dari berbagai arah Kabupaten Sukabumi yang luas mulai dari Cibadak, Surade, Jampang, Pelabuhan Ratu, Cisolok dll.
Meski, Kabupaten Sukabumi merupakan daerah yang luas di Jawa Barat, tapi pembangunan daerah tidak selalu bisa mencukupi dan memuaskan warganya.Â
Rakyat di berbagai pelosok kabupaten datang berbondong-bondong ke kota Sukabumi demi dan atas nama peningkatan taraf hidup, meski pada akhirnya tidak semua berhasil.Â
Sebagian besar kaum migran itu memadati kawasan perkotaan di Sukabumi dan yang lainnya berjibaku ke daerah lain seperti Bandung, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan utamanya tentu ibukota Jakarta.
Pindah tangan
Pada era Indonesia merdeka tanah pemakaman Kerkhof yang adalah legacy Belanda itu diambil alih pemerintah dan Pemkot Sukabumi diberikan kewenangan untuk mengelolanya. Dalam perjalanan waktu, TPK Kerkhof berubah nama menjadi TPU Kerkhof versi Pemkot Sukabumi sekarang.
Sejak alih kuasa ke Indonesia, pemerintah Belanda tidak lagi mensponsori setiap Kerkhof di Indonesia, termasuk TPK Kerkhof di Sukabumi. Namun peralihan itu tergerus zaman, terbukti TPU Kerkhof sekarang benar-benar hancur berantakan, meski statusnya tetap TPK, karena faktanya toh yang dikebumikan disitu tetaplah warga Sukabumi yang Nasrani. Yang menjadi soal, mungkinkah pasca kolonial, Indonesia dan Belanda tak mengikat janji disitu?Â
Lalu kenapa masih banyak warga Belanda RIP disini? Dan dimana mereka sekarang? Dimana patung marmer yang dulu pada 1970-an sampai dengan 1980-an masih menghiasi makam, lengkap dengan namanya masing-masing.
Saya sendiri setengah mati terseok-seok mencari makam Ingot adik saya yang kordinatnya saya tahu persis kalau kita berjalan dari Jln Pramuka bawah, ada pintu masuk yang sejak dulu memang tak punya gerbang.Â
Makam Ingot persis di atas makam isteri dokter Winata, tak jauh dari makam Tombang Siregar yang bersebelahan kl 2 langkah panjang di atasnya dan di sebelah kiri sekitar 3 langkah panjang makam Pak Soembayak suami-isteri yang anak-anaknya adalah teman dekatku.
Makam Ingot dirusak barisan vandal yang hanya menjarah lempeng terbuat dari logam anti korosi yang digrafier bertuliskan nama alm, tgl lahir dan tgl kematian serta bertuliskan ayat-ayat suci pilihan Ayah saya.Â
Saya masih kecil sekali ketika itu, tapi telah dipercaya oleh Ayah untuk mengawasi proyek mini yi pembuatan makam permanen adikku Ingot. Pemakamannya pada dekade 1970-an, kl 50 tahun lalu, dimana sampai detik ini saya masih merasakan bahwa TPK Kerkhof itu indah dengan jejak Belanda yang kuat.
Meski di depan TPK Kerkhof kini sudah berdiri megah Polsek Citamiang. Tapi penjarahan makam terus saja terjadi. Dan hebatnya lagi Pemkot Sukabumi secara gegabah menggunakan tak kurang dari 1500 M tanah pemakaman itu sebagai pool truk-truk sampah pemerintah kota, setelah membuang sampah di tempat pembuangan akhir. Pool itu di sebelah bawah tak jauh dari Polsek Citamiang.
Adik ipar saya mengatakan Walikota Sukabumi dan Gubernur Jawa Barat pernah berencana untuk mengalihkan TPK Kerkhof ke pihak swasta. Syukurlah hal itu belum terjadi, karena ada beberapa LSM yang menentangnya.
Tahukah kedua pejabat itu bahwa TPK Kerkhof adalah warisan sejarah yang tidak bisa diganggu gugat?Â
Tahukah mereka bahwa selaku tempat peristirahatan terakhir anak manusia, tempat itu wajib dijaga keamanannya, dan di masa kini di saat ledakan demografis perlu dipagari dan dibersihkan secara reguler, termasuk mengembalikan arca pualam ke tempat semula menurut arsip kolonial dan arsip pemakaman di era kemerdekaan Indonesia?Â
Tahukah mereka bahwa tidaklah etis menempatkan truk-truk sampah di area seluas kurang lebih 1500 M di TPK Kerkhof dengan membongkar makam-makam yang ada di sana.Â
Seingat saya parkiran truk-truk sampah itu sekarang adalah eks makam untuk banyak warga. Apakah makam-makam itu dibongkarpindahkan begitu saja tanpa kordinasi kiri-kanan.
Permasalahan Kerkhof
Sepertinya tak hanya Sukabumi yang bermasalah dengan Kerkhof, di Madiun Jatim  juga demikian sebagaimana penuturan Andrik Akira dalam Blognya andrikyawarman.wordpress.com.Â
Soal retribusi makam, itu soalnya kata Andrik dalam tulisannya "Kerkhof Madiun dan Mary Manuel". Menghilangnya nama-nama Belanda sama seperti di Kerkhof Sukabumi.Â
Tapi di Kerkhof Madiun jejak vandalism dan penjarahan tak terlalu kentara. Nama yang tersisa di pemakaman menurut Andrik hanyalah nama-nama orang Batak, China, Jawa dll. Pendeknya mereka yang beragama nasrani.
Kerkhof legacy Belanda hanya bisa stabil sejauh difasilitasi pemerintah karena faktor pariwisata seperti di Pangkalpinang, Propinsi Bangka Belitung (lih kumparan.com) misalnya. Pemprop Babel sudah banyak berinisiatif untuk melestarikannya sejak 2015.
Kerkhof yang masih eksis sesuai aslinya hingga sekarang adalah Museum Taman Prasasti di Jakarta dan Kerkhof Peutjoet di Banda Aceh. Museum Taman Prasasti merupakan eks Kerkhof Tanah Abang yang sebagian kecil tanahnya dipertahankan sebagai museum terbuka oleh pemerintah DKI Jakarta pada 1970-an. Di sana dipajang berbagai batu nisan yang khas dan ditata dalam sejenis taman.Â
Sementara itu, Kerkhof Peutjoet di Banda Aceh merupakan makam militer Belanda untuk para serdadu yang tewas pada masa Perang Aceh (1873-1904).Â
Keberadaan Kerkhof itu dikelola oleh Yayasan Dana Peutjeot yang dibentuk pada 1976 atas inisiatif veteran tentara Belanda yang pernah berperang di Aceh, J.H.J. Brendegen.Â
Ia merasa prihatin melihat kondisi makam-makam tentara Belanda yang terabaikan. Biaya pengelolaan Kerkhof Peutjoet diperoleh dari donatur (lih Djulianto Susantio dalam blognya hura-hura.wordpress.com).
Penyempitan Lahan TPU
Saat ini di Kota Sukabumi terdapat 11 TPU yakni 9 TPU bagi warga Muslim, yi TPU Taman Bahagia, Taman Rohmat, Binong, Ciandam, Pasir Ipis, Pasir Gelatik, Dayeuh Luhur, Prana dan Pasir Dongke, serta dua TPU diperuntukkan bagi warga non muslim, yi TPU Kerkhof dan Cikundul. Luas lahan seluruhnya 46 Ha. 35 Ha di antaranya sudah terpakai (lih sukabumi.update.com, Sept' 2021).
Sesuai Perda Kota Sukabumi Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, retribusi pemakaman untuk muslim ditarif Rp 285.000 dan non muslim Rp 328.000. Anggaran tersebut untuk biaya pelayanan penguburan, penggalian, pengurugan dan pengadaan padung (potongan papan penutup jenazah).Â
ewa tanah makam Rp 50.000 per tiga tahun untuk muslim dan untuk non muslim dikenakan tarif perpanjangan sewa tanah sebesar Rp 100.000. Meski retribusi dari TPU sebagai bagian dari PAD sudah jelas seperti itu, target yang ditetapkan Rp 46 juta tak tercapai, yang tercapai hanya Rp 36 juta (sukabumi.update.com, Sept' 2021).Â
Masalahnya lagi-lagi hanyalah soal pajak makam sebagaimana halnya Kerkhof Madiun, seperti yang disinggung Andrik Akira dalam blognya. Tapi ini juga harus dimaklumi.Â
Tidaklah etis  memaksakan PAD dari pajak makam, selain kecil nilainya, mereka yang ditinggal warga yang RIP di TPU apapun pada umumnya dinamis mengikuti zaman, tidak mesti terpaku habis di tempat, seperti saya misalnya yang telah puluhan tahun meninggalkan Sukabumi, tapi toh kembali juga karena ada kenangan melekat sangat kuat yang takkan bisa dihapus begitu saja dari memori saya.
Muraz malah pernah mengatakan apabila lahan TPU sudah tidak memungkinkan lagi, maka jenazah pasangan agar ditumpuk di satu makam dan bagi non muslim, sebaiknya memperabukan jenazah saja agar tak mempersempit lahan yang ada.
Saya pikir, Sukabumi dengan luas hanya 48,33 Km2 sudah jenuh dengan populasi dan berbagai properti hasil pengembangan selama ini. Alternatif lain tentu meminta Bupati Sukabumi untuk menyediakan lahan dimaksud yang tentu harus berdekatan dengan batas wilayah administratif kota Sukabumi.
Masalah TPU terkesan kuat disimplifikasi dari masa ke masa. Yang diperdulikan Pemkot hanyalah para pengembang, para penyewa properti dan lahan pemkot di pusat kota serta pusat retribusi di downtown Sukabumi. Boro-boro mau bicara soal pelestarian Kerkhof karena faktor sejarah.Â
Kehancuran Kerkhof dengan pembiaran vandalism dan penjarahan yang membuat miris kaum beradab itu, membuat kita sangsi apakah Pemkot mau diajak bicara soal pelestariannya. Pembicaraan itu tentu tidak menguntungkan bagi Pemkot yang berwilayah sempit ini.
Prasasti makam-makam Belanda di TPU Kerkhof Sukabumi sejauh ini telah menjadi korban penjarahan, bahkan yang lokal pun dijarah dan dirusak seperti makam adikku Ingot, sehingga banyak makam sulit dikenali lagi. Kenyataan ini menunjukkan Kerkhof merupakan salah satu peninggalan masa kolonial yang rentan rusak dan hilang.
Kerkhof bagaimanapun harus dilestarikan, karena kerkhof tak sekadar tempat menguburkan jasad anak manusia, namun juga berhubungan erat dengan keberadaan sebuah komunitas, kebudayaan dan kepercayaan.Â
Data prasasti yang terdapat di makam dapat memberi informasi sejarah, misal genealogi, ragam pekerjaan di masa lampau dan data kelahiran atau kematian yang terjadi pada tahun tertentu.
Melihat para kepala daerah sekarang yang sepertinya sudah tidak terlalu perduli dengan sejumlah pelayanan umum yang dirasa kurang menguntungkan bagiNya dan punokawanNya, bahkan telah melupakan betapa TPU atau TPK atau apapun namanya itu adalah tempat peristirahatan terakhir anak manusia di dunia ini. Wajah kitapun jadi bermetamorfosis buram seperti coreng moreng wajah Kopasus di medan tempur.
Saya pikir sekarang ini kita butuh minoritas pemimpin elit yang sanggup mempertahankan dan mengembangkan peradaban dan bukannya bermain simplistis meremehkan kepentingan publik yang seharusnya dihormati seperti masalah TPU. Kenaifan seperti itu justeru akan menghancurkan peradaban itu sendiri.Â
Janganlah melupakan sejarah dan nilai-nilai luhur yang harus dirawat lestari bahwa TPU adalah tempat peristirahatan terakhir anak manusia yang harus dihormati.
Mari berpikir kreatif, TPU Kerkhof sebenarnya adalah salah satu tempat wisata sejarah penting di Sukabumi. Karenanya Pemkot Sukabumi dengan sepengetahuan pemerintah pusat sebaiknya berpikir segera merestorasi makam ini agar sesuai dengan aslinya.
Dalam visi nasional, harapan untuk menyelamatkan kerkhof--kerkhof yang masih tersisa di Indonesia, haruslah menjadi bagian tak terpisahkan dari misi pusat dan daerah termasuk kerkhof kota Sukabumi. Apa yang diperlukan hanyalah keseriusan pemerintah dan masyarakat.
Pembiaran vandalism dan penjarahan di tanah makam setelah Indonesia merdeka. Itu bukanlah arti merdeka bagi kita dan peradaban kita.
Akhirnya "I'll be back soon after Malang" untuk mengurus makammu yang berantakan itu wahai adikku Ingot!
Joyogrand, Malang, Thu', Jan' 20, 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI