Kita hanya bisa berharap -- kalau memang target nasional itu tercapai - kekebalan nasional itu dapat membentengi bangsa ini dari ancaman pandemi Covid-19 yang belum juga keluar dari pandemic time kita. Baru saja Kemenkes siaran live via Kompas TV kasus Omicron sampai hari ini Selasa 28 Desember 2021 sudah 47 kasus. 46 warga asing dan 1 orang warga lokal.Â
Meski lokal hanya satu, tapi ke-46 warga asing yang sedang di karantina sekarang ini kalau tidak terkawal dengan baik, mereka akan menjadi kawanan penular yang sangat berbahaya bagi kita.
Lepas dari itu, saya mencoba melihat lebih jauh lagi Kampung Putih ini. Apa pengembangan konsep tematik untuk pemberdayaan kampung-kampung kumuh di Malang 2017 lalu hanya untuk katakanlah memulihkan tampilan kusam berdosa.Â
Lihat Kampung Warna Warni, Kampung Biru dst. Kemudian si pendosa itu kita cat putih atau apapun, maka terhapus sudah segala deritanya di portibi atau dunia ini. Berdosa karena pas-pasan atau defisit melulu. Saya pikir itu memang dosa kolektif anak manusia yang tak mudah diberantas begitu saja dengan mantera sim sala bim.
Apa yang saya lihat di Kampung Putih ya seperti itu. Tak ada mantera apapun yang akan memulihkannya dari kekusaman dosa karena faktor ekonomi. Kepariwisataan kota memang salah satu pengungkit. Itu pasti. Tapi untuk bisa mendongkrak warga, itu tak mudah. Terbukti hanya pada awalnya saja ada yang penasaran apa mengapa dan bagaimana Kampung Putih itu.Â
Maka pengunjung yang berwisata kota lumayanlah. Tapi sekarang nyaris nggak ada lagi, kecuali warga setempat yang keluar masuk karena "golek mangan", kata wong Jowo. Apakah ada perubahan signifikan yang dapat mendongkrak mereka dari dosa brengsek karena kekumuhan dan kemiskinan mereka. Ada, boleh jadi, Tapi yang pasti signifikansinya dengan pemutihan si pendosa jelas nehi.
Sungai Brantas yang berkelak-kelok panjang melewati kota Malang memang DAS yang sudah lama kanan-kirinya banyak dihuni warga. Ini terus ber-evolusi. Secara teoritis seharusnya tak ada. Tapi anggaplah mereka ibarat benalu yang nenclok di pohon beringin. Sejauh tak merusak pohon, ya biarkan saja. Inilah barangkali kata-kata bijak legacy buat kita semua di kota manapun, meskipun dalam hati saya mengumpatnya sebagai tak bijak.
Saya pikir kalau perkampungan kumuh pinggir Sungai semacam ini mau dijadikan obyek wisata yang benar, sungainya dululah yang dinormalisasi dari hulu sampai ke hilir. Jangan pernah lagi ada sampah disitu, tak boleh lagi ada warga yang dibiarkan membangun pondok liarnya persis di bibir sungai. Harus ada semacam spasi kosong yang tak boleh diduduki. Kalau warga seenaknya menduduki bibir sungai, tentu berbahaya di saat musim penghujan.Â
Sudah cukup banyak kejadian longsor di sepanjang Sungai Brantas yang berkelak-kelok melalui kota Malang. Inilah yang harus ditertibkan dengan tentu warga tetap bisa bermukim disitu sebagai bagian dari konservasi Sungai Brantas, dimana warga berkesadaran untuk menjaga dan merawatnya, seperti menanam pohon kanopi yang akarnya bisa menjadi konstruksi alam penahan longsor.Â