Orasi apapun di masa Soeharto selaku regime pengganti selalu dikaitkan dengan letusan senjata, dentuman bom dan tatapan kejam algojo-algojo desertiran ABRI serta rentetan tembakan mematikan yang ditegaskan milyaran kali sebagai dipayungi PKI. Sampai-sampai Novelis Cintaku di Kampus Biru Ashadi Siregar setengah meratap menulis di Kompas mau dibawa kemana bangsa ini dengan segala gegap gempita kekejaman konflik seperti itu.Â
Apakah kita akan terus dininabobokan Heroisme yang semakin menyimpang pemaknaannya dengan suasana dar der dor yang terus digenjot ke tulang sumsum bangsa atau bagaimana? Ini mencapai klimaksnya ketika pengkultusan Soeharto dari para penjilat kekuasaan yang ironisnya diiyakan sang Presiden. Maka lahirlah sineas baru yi "Serangan Fajar" yi serangan balik Soeharto ke Yogya dan Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan".
Transisi
Habis gelap terbitlah terang, demikian kata Kartini. Tapi gelap ya gelap, terang ya terang. Itu kan keinginan mimetik para pemimpi. Harapan sesaat itu sempat nongol ketika Soeharto tercampak dari sejarah.Â
Perjalanan bangsa selanjutnya selama 3 dekade terakhir ini yang dijargoni sebagai era reformasi tak hanya diwarnai faktor internal Indonesia, tetapi juga banyak dipengaruhi faktor eksternal, ntah itu pergeseran geostrategik dunia di mandala middle-east, AsPac serta mandala barat di bawah AS dan mandala timur di bawah Russia dan China.
 Bahkan terorisme internasional yang mencekam sejak peristiwa 9/11 di New York, US, yang berimplikasi terorisme dunia yang merangsek hingga Indonesia dari Bom Bunuhdiri Bali, Poso, hingga Bom Bunuhdiri Jakarta; 20 Tahun AS menduduki Afghanistan dan munculnya China sebagai adidaya terbaru. Itu semua cukup banyak mempengaruhi geostrategik dunia, termasuk mempengaruhi Indonesia.
Indonesia setelah Krismon di penghujung 1990-an benar-benar menggiriskan. Betapa Indonesia hampir mencapai titik sebagai "negara gagal", betapa pergantian kekuasaan dari presiden pertama reformasi yi BJ. Habibie ke Gus Dur, lalu ke Megawati, lalu ke Esbeye hingga ke Jokowi sekarang. Itu semua tak lepas dari upaya pelepasan diri bangsa ini dari negara hampir gagal ke negara yang diwanti-wanti harus bangkit dan dapat berdiri lagi di atas kakinya sendiri.
Peralihan kekuasan demi peralihan kekuasaan telah kita lalui. Dalam transisi besar itu, kalangan fundamentalis tak bertanggungjawab hampir saja mendorong negara gagal ini ke jurang super tolol yi Indonesia Hatred berantakan.Â
Yang patut disyukuri era gelap serba hatred karena penyalahgunaan identitas sudah dilempengin kaum berakalsehat. Semoga langkah estafet ke depan ini pelurusannya semakin bagus tanpa pilih bulu.
Biarlah Sipadan dan Ligitan serta Timor Timur lepas dari tangan kita sebagai buah kebodohan kita, tapi ada semacam tekad yang telah tertanam kuat dalam tubuh pemerintahan sekarang bahwa Indonesia nggak bakalan mau kecolongan lagi dengan kasus memalukan seperti itu, meski politik identitas masih juga dikedepankan dalam "exercise of power".Â
Tapi karena itu datang dari politisi-politisi sontoloyo Indonesia sekarang, maka kita maklumi saja bahwa merekalah yang nanti harus disaring oleh generasi milenial sebagai bukan calon pemimpin bangsa, melainkan calon pemimpin komunitas pemimpi cepat kaya dan cepat jadi penguasa.Â