Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyoal Masa Depan Haminjon/Kemenyan Lingkar Toba Sumut

8 September 2010   16:42 Diperbarui: 2 Februari 2022   07:41 3299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Haminjon/Kemenyan (Styrax Sumatrana) di Rahut Bosi, Pangaribuan, Taput, Sumut. Foto doc Parlin Pakpahan.

Menyoal Masa Depan Haminjon/Kemenyan Lingkar Toba Sumut

Kemenyan adalah salah satu komoditas resin (getah), dengan penggunaan luas. Salah satunya yang paling penting adalah sebagai fixative (pengikat) dalam industri parfum. Kemenyan tak ada hubungannya dengan hal gaib, klenik, takhyul dan lain-lain, meski residu dari produk ini digunakan untuk bahan baku dupa dan sebangsanya.

Di pasar internasional, kemenyan dikenal dengan nama Benzoin resin. Komoditas ini berupa getah kering dari beberapa pohon genus Styrax. Di antaranya, yang paling banyak diperdagangkan adalah getah pohon Styrax Tonkinensis (Siam Benzoin), Styrax Benzoin dan Styrax Sumatrana (Sumatera Benzoin) dari Lingkar Toba seperti Doloksanggul, Pangaribuan, Sipahutar, Adiankoting dst.

Sosok kemenyan, hampir sama dengan resin lainnya seperti Gondorukem (getah Pinus merkusii) dan Damar (getah Shorea Javanica). Bedanya, gondorukem berwarna kecokelatan dan lengket, damar berwarna kuning keputihan. Kemenyan berupa gumpalan padat dan keras, putih dengan sebagian bening transparan.

Pohon kemenyan, baik Styrax Benzoine maupun Styrax Sumatrana, mampu hidup lebih dari 100 tahun. Hingga sekali tanam, paling sedikit pohon kemenyan akan terus berproduksi selama sekitar 90 tahun. Ini lebih menguntungkan dibanding dengan Pinus Merkusii yang sudah harus diremajakan dalam jangka waktu kurang dari 50 tahun setelah tanam.

Menyadap pohon kemenyan sama dengan menyadap pinus maupun damar. Bedanya, menyadap kemenyan tidak memerlukan wadah sebagai penampung getah. Resin yang keluar dari luka "ditugi" (ditoreh dengan alat yang disebut Penugi) pada kulit batang, harus dibiarkan meleleh dan tetap melekat di kulit batang tersebut. Pada perlukaan pertama, kulit batang akan mengeluarkan resin putih. Resin pertama ini baru bisa diambil sekitar tiga bulan setelah perlukaan dan disebut Sidukabi atau Mata Zamzam.

Meski Tapanuli Utara dan kawasan lingkar Toba adalah daerah produsen utama Kemenyan, perputaran komoditas hebat ini pada kenyataannya sudah sejak lama berpusat di Gombong Jawa Tengah. Sebuah kota kecil di wilayah Purwokerto (dulu Banyumas), tak begitu jauh dari pelabuhan Cilacap. Pada 2010 di tingkat pengumpul di Tapanuli Utara harga kemenyan Mata Zamzam misalnya Rp 100.000 per kg, sedangkan abu (residu terendah dari hasil penyortiran di tingkat perambah) hanya Rp 3.000 per kg. Ini pun fluktuatif sekali, karena posisi tawar di tingkat produsen di Tapanuli Utara dan lingkar Toba sangat rendah sehubungan ketergantungan tunggal mereka selama puluhan tahun terhadap pasar ologipoli kemenyan di Gombong. Mengutip Okezone edisi edisi 7 Nopember 2018, pada 2017 harga kemenyan terbaik Rp 300-320.000 per Kg, lalu anjlok Rp 230.000 per Kg pada 2018. Standar harga yang memadai untuk kemenyan - sebagaimana dikutip Okezone dari planter di Tapanuli utara - minimum dikisaran Rp 300 ribu per Kg. Harga minimum ini untuk mengimbangi biaya produksi. Sebab prosesnya cukup panjang, setelah kemenyan dideres atau disadap, 4 bulan kemudian hasil atau getahnya baru bisa diambil.

Pohon Haminjon/Kemenyan di Rahut Bosi, Pangaribuan, Taput, Sumut. Foto doc Parlin Pakpahan.
Pohon Haminjon/Kemenyan di Rahut Bosi, Pangaribuan, Taput, Sumut. Foto doc Parlin Pakpahan.

Data 2021-2022 di masa pandemi sekarang, sepertinya kalau dilihat di Tokopedia harga jual kemenyan sidukabi terbaik eks Taput (hasil sadapan pertama) - ntah itu dari Pangaribuan, Sipahutar, Adiankoting atau Doloksanggul - Rp 600.000 per Kg.  Tapi di tingkat planter dan pengumpul di Pangaribuan atau Doloksanggul harga dasar itu tetap fluktuatif pada kisaran 200-350.000.

Badia Silitonga (54 tahun) saudagar haminjon/kemenyan asal Pangaribuan Tapanuli Utara yang sudah berpulang beberapa waktu lalu yang kini digantikan anaknya dan Ayong saudagar kemenyan asal Tarutung Tapanuli Utara misalnya mempunyai gudang sekaligus tempat pencetakan kemenyan menjadi batangan-batangan berukuran 10-15 kg di Gombong. Tapi saudagar-saudagar asal Tapanuli Utara dan lingkar Toba seperti Badia dan Ayong hanya sebatas mencetak mentahan seperti itu saja. Komoditas ini pada akhirnya jatuh ke tangan "the Invisible Exportir" yang menjual batangan-batangan hasil pabrikasi sederhana ini ke Singapore. Dan di Singapore-lah komoditas ini disuling untuk dijadikan bahan baku kosmetik yang sesungguhnya yang selanjutnya diekspor ke US, Eropa, India dan Jepang. Asal tau setelah diinovasi di Singapore harga per Kg untuk ekspor konon mencapai Rp 2-3 juta per kg.

Karena matarantai niaga yang panjang dan tetap terselubung sampai sekarang siapa saja pemain di hilir, tak heran harga Kemenyan sangat fluktuatif, bahkan sulit diprediksi atau tidak ada standar harga, karena belum ada eksportir atau tepatnya “visible exportir” yang langsung menampung kemenyan petani. Pengumpul dan toke-tokelah yang menentukan/mengendalikan harga dari planter Lingkar Toba. Pengumpul dan toke itu tak punya pilihan selain mengirim kemenyan ke pulau Jawa. Dari pulau Jawa, khususnya Gombong Jateng, barulah dikemas dan di ekspor oleh “the invisible exportir” sebagaimana disinggung di muka.

Betapa beruntungnya negara asing seperti Singapore dari Kemenyan/Haminjon Tapanuli dan/atau Lingkar Toba? Saya pikir pembiaran komoditas tradisional satu-satunya di Indonesia itu disuling di luar negeri, hanya menggambarkan betapa naifnya Pemda di lingkar Toba dan pastinya juga pemerintah pusat. Saya meyakini kita harus berani mandiri menyulingnya sendiri dengan tenaga-tenaga akhli Indonesia? Dan bagi kepentingan petani kemenyan di Tapanuli Utara dan Lingkar Toba, pusat niaga kemenyan ini seyogyanya dipindahkan ke bumi tapanuli sendiri seperti Tarutung dan Balige. Bukankah di samping memperpendek rantai niaga kemenyan itu sendiri, pemindahan pusat niaga ini akan meningkatkan kepercayaan diri Sumut untuk mengembangkan agro-industri di tanahnya sendiri?

Berdasarkan gambaran terkini di atas, saya pikir PR berikut bagi pemerintah sekarang adalah bagaimana merangkul para ilmuwan dan dunia usaha untuk menginovasi bahan mentah dari dunia agro kita menjadi bahan baku industri yang bermutu dan mempunyai nilai jual tinggi.

Bagi halak hita atau orang awak, kita tidak hanya hidup dari menjual keindahan Danau Toba saja bukan, tapi juga harus semakin mandiri dalam agro-industri selaku sektor penunjang kepariwisataan Toba dan Sumut.

Joyogrand, Malang, Wed’, Febr’ 02, 2022

Getah Haminjon/Kemenyan asal Taput yang sudah kering dan siap jual. Foto Google Image via Tokopedia.
Getah Haminjon/Kemenyan asal Taput yang sudah kering dan siap jual. Foto Google Image via Tokopedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun