Dengan congkak ia menamakan spesiesnya sebagai “Homo Sapiens”, manusia bijak
Memandang dirinya yang paling memahami,
yang paling indah,
yang paling luhur,
yang paling utama
Pusat semesta
Sejak kelahirannya, ia berpencar ke segala arah,
menaklukkan segala,
menginjak jutaan bangkai lawannya,
dan melahap jutaan lainnya
Dunia takluk,
ia mendirikan kerajaan-kerajaan,
imperium datang silih berganti,
angkatan perangnya meluaskan pengaruh
Dibangunnya kebudayaan dan peradaban di balik tembok-tembok kokoh menjulang
Pesta semarak mewarnai hari-harinya
Bumi menjadi budaknya
Apakah itu cukup?
Belum!
Ia memandang ke atas
Menantang awan
Ia ciptakan sayapnya sendiri
Terbang leluasa bak burung
Apakah itu cukup?
Belum!
Ia menantang bulan!
Menggoncangkan takhta para dewa
Selanjutnya ia menuju bintang yang gemerlapan
Namun,
Ia merasa hampa
Dan
Satu tempat yang belum ia singgahi adalah palung hatinya sendiri
Manusia adalah ironi bagi dirinya sendiri
Ia adalah hal asing bagi dirinya sendiri
Ia tidak mengenal dirinya sendiri
Ia belum sadar
Dan tak mau juga sadar
Ketika pertanyaan itu diajukan padanya
“siapakah aku?”
Menjeritlah ia dalam kekosongannya
Dan ia mulai menyadari
Bahwa yang ia ketahui selmama ini tidaklah lebih dari segumpal daging,
dalam tempurung kepalanya ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H