(pixabay.com)
Aku berjalan sempoyongan ke arah sebuah bangunan yang hampir runtuh. Sebuah papan nama bertuliskan "Le Campagne" hampir jatuh kalau saja tidak ditahan salah satu kawat yang masih tersambung. Dindingnya baru saja bocor diterjang peluru Tank Tiger kemarin siang. Untungnya para penjahat itu sudah mundur ke kota seberang. Untuk sementara pasukan kami aman di sini.
Kulihat will mendudukkan dirinya di sana. Wajahnya meringis kesakitan. Bahu kirinya sedang diperban. Sebuah peluru senapan Gewehr 41 milik tentara Jerman menembus bahu kirinya kemarin.
"Kau lihat Matthew?" Tanyanya.
Aku menggeleng. "Sersan sedang mencarinya tapi sampai kini belum ada kabar.."
Will menarik nafas Panjang... "Perang ini semakin menarik, walaupun membuatku menderita.."
Aku menggelengkan kepala. "Benarkah? Aku berharap perang sialan ini cepat berakhir. Aku sudah muak melawan monster ini" kataku terengah-engah. Dengan hati-hati kusandarkan senapanku di dinding, mendudukkan diri dengan tenang dan mencabut sebatang rokok.
Will memandangnya dengan penuh minat. "Kau mau?" tanyaku
Will menggeleng seolah ia tak mau. Aku tahu ia sangat pemalu. Tanpa bertanya kusdorkan sebatang rokok padanya. Ia menyambarnya tanpa menghitung lagi. Tidak sampai semenit ruangan itu penuh asap rokok kami berdua.
"Menurutmu apakah perang ini masuk akal?" tanyaku
Will menarik nafas dalam-dalam. Tentu saja! Aku di sini untuk membela benderaku. Bukankah Amerika adalah pihak yang benar dalam perang ini?" Will agak ragu dengan kesimpulannya dan menantiku untuk meneguhkan perkataannya.
"Kupukir tentara Jerman yang mengenakan seragam keren itu juga berpandangan begitu bukan?" kata-kataku yang barusan bertentangan dengan apa yang ia harapkan.
"Bukankah kita sekarang sedang mempertahankan demokrasi dari orang kejam Seperti Hitler?..."
"Ya,ya tetapi kupikir tidak semua orang Jerman sependapat dengannya. Mereka hanya mengikuti perintah seorang monster."
"Bukankah mereka bebas untuk menolak perintahnya?" Will tak mau kalah ...
"Seorang prajurit hanya melakukan apa yang diperintahkan. Mereka telah bersumpah untuk setia kepada Fuhrer mereka," kataku menjelaskan.
Will tersenyum kecut. "Nampaknya kau membela para prajurit dengan sepatu bot ketat itu Sam. Pantas saja kau kurang bersemangat melawan mereka..."
Tak kusangka kesimpulanku membuat Will memandangku seperti itu. Aku tak mau berdebat dengannya. Jelas ide yang berbeda sedang berputar di kepala kami masing-masing. Will berpandangan bahwa perang ini adalah kesempatan untuk memusnahkan Jerman. Jerman adalah negara yang sepenuhnya jahat. Ia tak peduli kalau mereka hanya mengikuti perintah diktator kejam seperti Hitler.
Aku berpandangan berbeda. Menurutku perintah Hitler sulit ditolak oleh tentaranya. Para Jendralnya saja gemetar berhadapan dengannya, apalagi prajurit di lapangan yang hanya tahu mengokang dan menembak. Sudah jelas tidak ada pilihan lain selain bertempur habis-habisan.
***
Rentetan senapan mesin terdengar di kejauhan. Dan beberapa ledakan juga terdengar sahut menyahut. Nampaknya peperangan terus berkobar walaupun tentara Jerman sudah mundur ke arah pedalaman negerinya sendiri. Aku yakin, dalam beberapa hari lagi Prancis akan bebas.
"Apa yang ingin kau lakukan setelah perang Will?" aku bertanya lagi, mengganti topik pembicaraan sekedar memastikan bahwa ia masih dapat berpikir.
"Aku akan tetap mengenakan seragam ini. Kuharap ada peperangan lagi yang dapat kujalani..."
Aku tertawa. "Kau tidak sedang begurau kan?"
"Mengapa tidak? Aku terlahir sebagai prajurit. Kedamaian membuatku bingung." Will membuang puntung rokoknya. Ia terbatuk.
Aku terhenyak. Aku harap dia tidak serius mengucapkan itu. Namun bagaimanapun aku teringat bahwa prinsip ini mungkin saja telah dipakai oleh beberapa pasukan dalam sejarah. Para prajurit Mongolia misalnya. Mereka berperang hanya untuk menghancurkan lawan. Peperangan membuat mereka memiliki tujuan hidup.
"Aku ingin pensiun dan kembali ke kebunku. Kedamaian adalah awal hidup yang baru bagiku. Di sana aku akan membangun keluarga kecilku. Setiap sore aku akan menyeruput kopi di halaman belakang rumahku, sambil memandang hamparan ladang yang menghijau..."
"Kurasa kita bertempur dengan motivasi yang berbeda kawan," kata Will sambil tertawa kecil
Ya, bagaimanapun hari ini kita harus bertahan hidup. Itu hal yang paling penting. Semoga kita bisa melalui ini...
Will mengangguk pelan. Dari jauh pasukan kami mulai berderap lagi. Suara sersan yang tegas memanggil semua prajurit. Kita akan kembali ke medan tempur.
"Ayo kawan, mari kita bertempur demi masa depan kita. Semoga saja pertempuran ini tidak merampas mimpi kita... "
Aku kembali berdiri dan menggenggam senapan M1 Garand milikku. Tangan kananku menariknya perlahan untuk berdiri.
Peperangan memang kejam. Namun kami masih memiliki harapan. Semoga mentari masih sudi menyapa kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H