"Aku akan tetap mengenakan seragam ini. Kuharap ada peperangan lagi yang dapat kujalani..."
Aku tertawa. "Kau tidak sedang begurau kan?"
"Mengapa tidak? Aku terlahir sebagai prajurit. Kedamaian membuatku bingung." Will membuang puntung rokoknya. Ia terbatuk.
Aku terhenyak. Aku harap dia tidak serius mengucapkan itu. Namun bagaimanapun aku teringat bahwa prinsip ini mungkin saja telah dipakai oleh beberapa pasukan dalam sejarah. Para prajurit Mongolia misalnya. Mereka berperang hanya untuk menghancurkan lawan. Peperangan membuat mereka memiliki tujuan hidup.
"Aku ingin pensiun dan kembali ke kebunku. Kedamaian adalah awal hidup yang baru bagiku. Di sana aku akan membangun keluarga kecilku. Setiap sore aku akan menyeruput kopi di halaman belakang rumahku, sambil memandang hamparan ladang yang menghijau..."
"Kurasa kita bertempur dengan motivasi yang berbeda kawan," kata Will sambil tertawa kecil
Ya, bagaimanapun hari ini kita harus bertahan hidup. Itu hal yang paling penting. Semoga kita bisa melalui ini...
Will mengangguk pelan. Dari jauh pasukan kami mulai berderap lagi. Suara sersan yang tegas memanggil semua prajurit. Kita akan kembali ke medan tempur.
"Ayo kawan, mari kita bertempur demi masa depan kita. Semoga saja pertempuran ini tidak merampas mimpi kita... "
Aku kembali berdiri dan menggenggam senapan M1 Garand milikku. Tangan kananku menariknya perlahan untuk berdiri.
Peperangan memang kejam. Namun kami masih memiliki harapan. Semoga mentari masih sudi menyapa kami.