Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Patung Tua di Tengah Kampung

27 Januari 2023   17:22 Diperbarui: 27 Januari 2023   17:33 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran sebuah patung yang menantang langit di tengah kampung "Sejuk" telah menebar teror dan pesona yang sama kuatnya. Warga kampung Sejuk yakin, patung yang menggambarkan sosok seorang prajurit kerajaan Belanda itu adalah patung keramat. Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan patung lelaki yang berdiri sambil mengacungkan tongkat militer dengan tangan kirinya itu. 

Kata tetua kampung Sejuk, patung itu adalah peninggalan pemerintah Belanda seabad yang lalu. Wajah patung itu memang kian tergerus dan kusam, tak nampak sosok manusia lagi, sehingga tak patut jadi pajangan. Namun sorot mata patung itu masih terasa tajam, seakan mengawasi seluruh sudut kampung. Begitu pun bentuk senapan yang erat digenggam tangan kanannya masih menegaskan kegagahan patung tersebut.

Kehadiran patung "sang tentara" telah menghadirkan pertentangan hebat. Para tetua umumnya merasa bahwa kehadiran patung itu justru menentramkan hati, sebaliknya sebagian pemuda yang telah mengenyam pendidikan di luar negeri menolak keberadaan patung yang terbuat dari batu pahatan itu.

Bagaimanapun, sengit yang terukir tajam di bibir mereka tak pernah mampu mengubah posisi patung itu. Ia tetap tegak dengan angkuhnya dan setiap warga kampung lain yang datang ke situ mengenalnya sebagai bagian dari kampung Sejuk.

Kalau dicari pemuda yang paling berniat merobohkan patung kusam itu, Manus-lah orangnya; sarjana muda arsitektur tata kota lulusan salah satu universitas ternama di Belgia. Hati nuraninya serasa dipukul ketika teman kuliahnya yang berasal dari Amerika menunjukkan sosok patung Liberty kepadanya. Manus memandang bahwa lambang kebebasan itu adalah supermodel impiannya. Baginya, monumen semacam inilah yang pantas diperjuangkan untuk dibangun di kampung Sejuk.

Sekembalinya ke kampung, Manus menceritakan kehebatan patung Liberty. Rupanya patung kesohor itu masih kedengaran asing bagi telinga penduduk dari desa yang terletak di tengah hamparan ladang teh itu. "Patung kita itu ketinggalan zaman, kusam pula, apalagi peninggalan penjajah. Sungguh tak nasionalistis. Lihatlah patung Liberty ini, nampak gagah, sungguh mengambarkan semangat perjuangan bangsa Amerika."

Manus berusaha meyakinkan beberapa orang temannya yang sedang duduk bersantai siang itu, sambil menunjukkan sebuah foto patung Liberty berukuran besar.

Teman-teman Manus yang duduk dibawah rindangnya pohon pinus di atas bukit kecil itu manggut-manggut. Manus berusaha mengguncang kekaguman kolot yang selama ini ditujukan para pemuda kampung Sejuk kepada patung sang tentara.

"Kami yakin Nus, tapi bagaimana pun, patung ini  takan pernah boleh disingkirkan. Kata tetua kampung, patung ini telah melindungi kita dari berbagai kengerian dan mempersatukan warga kampung kita sejak dulu, sejak kau dan kami belum memiliki tempat di bawah kolong langit ini." Beto, pemuda berbadan kurus itu nampak tak mendukung ide Manus.

"Omong kosong macam apa itu? Kalian tak pernah kenal demokrasi yang keluar dari hati nurani rakyat. Aku yakin itu. Bukankah kalian tak pernah sampai kelas satu SMA? Coba pikir, apakah kalian masih ingin tirani ini? Ataukah mendambakan kebebasan budi dan hati?" Manus menegaskan idenya itu dengan nada yang agak meninggi. Sesaat kemudian ia bersidekap, membelakangi kawan-kawannya dan mamandangi gunung-gemunung. Ia seakan mencari sebuah mimpi yang masih bersembunyi dibalik kebiruan semu itu.

Sebaliknya para pemuda itu tertegun dan memilih tetap duduk di tanah. Mereka tak mampu membenarkan ataupun menyalahkan semua perkataan Manus yang serba baru itu. Kebebasan budi dan hati? Demokrasi? Sesungguhnya sebagian besar pemuda kampung Sejuk telah merasa berkecukupan dengan kepatuhan. Bagi mereka, kepatuhan adalah kepatutan. Dan kepatutan membawa harmoni. Maka sebenarnya mereka ingin menolak saja ide Manus. Mereka menganggap Manus telah termakan konsep yang berbahaya.

"Terus, kau mau merombak patung itu?" Noval, teman Manus yang berbadan gempal itu bertanya penuh selidik sambil mengernyitkan dahinya.

Manus berbalik lagi dan memandang mereka dengan tatapan geram. "Kau tak usah menanyakan hal itu. Akan tiba saatnya pekik perlawanan kukumandangkan terhadap jejak-jejak kotor kolonialisme."

Manus berlalu meninggalkan teman-temannya yang diam dalam bingung. Manus sadar bahwa perubahan itu perlu pengorbanan dan pengorbanan selalu menyakitkan. Bagaimanapun, ia takkan mundur.

***                 

Koar-koar Manus hari itu telah menimbulkan huru-hara di kampung Sejuk. Sebagian pemuda berempati padanya, sebagian lagi masih bimbang. Sementara itu, para petinggi kampung menyalak pedas dan tegas mengutuknya.

"Selama mentari belum lelah berkobar, sekali-kali patung itu tak akan digeser!" kata Bar-Kobar, sang kepala kampung dengan wajah serius sambil menghentak meja sidang di balai desa malam itu.

Sepertinya seluruh pegawai kampung lain menyetujuinya. Mereka nampak menganggukkan kepala dan menyimak dengan baik pembicaraan sang kepala kampung sambil mencondongkan badan ke depan.

"Terus, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pak Ance, seorang pegawai kampung berkumis tebal menyela pembicaraan sang kepala kampung. Sementara itu para pegawai lain sedang asyik menyeruput kopinya masing-masing.

"Kita harus melindungi patung itu, apa pun yang terjadi dan bagi para pemberontak kita sediakan hukuman," tukas sang kepala kampung dengan tekad yang bulat dan tegas.

Tekad kepala kampung itu menggambarkan trauma warga yang belum sembuh. Para petinggi kampung percaya bahwa usikan terhadap kedudukan sang patung hanya membawa malapetaka. Tiga puluh tahun lalu ketika Bar-Kobar memerintahkan penghancuran sang patung, banyak warga yang mati mendadak. Bahkan satu hari setelahnya angin puting-beliung datang menyerang. Itulah suatu sejarah memilukan yang masih jelas membekas.                                                                 

***

Mentari yang terbit tergesa-gesa pagi ini terasa tak ramah lagi bagi penduduk. Burung-burung pun sepertinya enggan bercengkrama dibalik dedaunan pinus yang sedang melemas. Perselisihan Manus dan para pejabat kampung sejak kemarin membuat hawa kampung menjadi hangat.

Manus sendiri memulai hari ini dengan kegeraman yang dahsyat. Gairah mudanya meneriakkan pekik perlawanan. Nuraninya telah lama mengetuk-ngetuk rongga dadanya untuk melawan kemapanan yang mengurat itu. Manus tidak gagal sama sekali.

 Walaupun tidak mendapatkan dukungan dari para pemuda yang berkumpul di bukit kemarin siang, ia telah membangun gerakan yang besar, terdiri dari para penentang kegagahan sang patung selama ini. Segera setelah berita perlawanan Manus itu terdengar, banyak orang muda, para petani, maupun beberapa tetua yang membelot, setuju untuk ikut dengannya.

Anehnya dengan seluruh kekuatan itu, Manus enggan untuk mengadakan rapat tandingan. Sudah jelas. Ia akan mengerahkan kekuatan untuk segera merobohkan patung itu. Perundingan ditolaknya. Baginya perundingan akan menyediakan ruang bagi keraguan dan keraguan akan membawa orang kepada ketakberdayaan. 

Manus beserta rombongannya berjalan menuju tempat berdirinya patung itu dengan membawa linggis, martil, sekop dan pacul. Mereka berjalan sambil berderap-derap bagaikan sebarisan laskar yang siap bertempur. Sesekali mereka meneriakan pekik: "MERDEKA !!!"

Pekik mereka menggelegar mengagetkan para setiawan sang patung. Mereka yang telah berkeliling disekitar patung membangun barikade yang mantap. Di bawah pimpinan kepala kampung: Bar-Kobar, barisan barikade itu nampak kokoh dan mantap.

Sejam setelah terbitnya mentari, laskar Bar-Kobar dan laskar Manus telah berhadap-hadapan. "Langkahi dulu mayat kami jika engkau menginginkan tajuk patung itu!!!" teriak Bar-Kobar sambil membusungkan dadanya.

"Demi segala kebebasan yang masih berhembus dalam jiwa, sekali melangkah kami tak akan mundur !!!"  Manus balas menyalak.

Mereka telah siap bertempur satu sama lain. Genggaman mereka kian menegang dan siap saling menerjang. Namun tiba-tiba suatu hal yang tak disangka mengubur semuanya. Sekonyong-konyong suatu gemuruh dahsyat menaungi mereka. Angin puting beliung! Tiupan angin bergemuruh itu secara tiba-tiba memasuki kampung Sejuk. Segera semuanya berlari berhamburan mencari perlindungan di parit-parit atau berpegang pada batang pohon yang kuat. Lima menit berlalu dan tiupan beringas itu telah meluluh-lantahkan seluruh kampung. Tak ada anyaman atap yang tertinggal utuh, setiap papan menyangkal tiang pancangnya.

Setelah bencana yang singkat itu terjadi, para pendukung sang patung segera mengambinghitamkan kelompok Manus sebagai penyebab bencana. Mereka menunjuk angin puting beliung sebagai tanda nyata keabsahan klaim mereka. 

Para pendukung Manus memang telah lari. Namun Manus sendiri tetap berdiri sembari tak percaya dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia menjadi manusia yang paling pesimis. Inilah saat paling nadir dalam hidupnya. Ia merasa tak punya pembenaran lagi bagi seluruh pekik perjuangannya dan dengan lunglai  mundur tanpa suara. Kalaupun suaranya ada, sengaja tak ia sisakan. Suaranya hanya untuk mimpi besarnya yang kini nampak pupus.

***

Sejak kemunduran Manus, tak ada seorang pun yang berminat berbicara soal patung sang tentara. Tak ada seorangpun yang mendekat untuk melindungi ataupun merusakkannya. Manus sendiri paham, tak mungkin lagi ia menyentuh patung itu. Tetapi Jauh dilubuk hatinya ia masih berharap dan mendamba keajaiban. Tiap hari ia memandangi patung itu lekat-lekat sambil meneteskan air mata, namuntak seorang pun tahu apa yang ia sesali ataupun harapkan.

Anehnya, lokasi sekitar patung keramat itu menjadi wahana bermain baru bagi anak-anak. Mereka memanjati patung itu dan mengelilinginya. Tanpa sengaja, ada yang  mematahkan beberapa bagian dari patung itu.Warga gempar. Patung itu tak tampak lagi seperti semula. Senjata dari sang patung telah patah, demikian juga tajuk militer yang teracung keatas. Sosok baru itu menimbulkan tanya yang dalam.Manus yang telah menunggu di situ selama ini dan beberapa warga kampung yang telah melihatnya segera memaklumkannya pada warga yang lain. Satu persatu warga pun ke sana. Kini seluruh warga menyemut disekeliling sosok baru patung itu.

Mereka tertegun menyaksikan sebuah figur yang lain sama sekali. Perlahan namun pasti, tatapan dalam-dalam itu memunculkan sesungging senyum di pinggir bibir mereka. Senyum penuh makna itu pun turut menghiasi wajah Manus. Ia pun membatin penuh yakin: "Aku telah menemukannya..."

Apa yang ditemukan dalam wajah patung itu? Hanya Manus dan penghuni desa Sejuk yang tahu. Senyum mereka itu terbit seiring terbenamnya mentari pada hari itu: 17 Agustus 2045.

 (Manado, Maret 2013)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun