"Terus, kau mau merombak patung itu?" Noval, teman Manus yang berbadan gempal itu bertanya penuh selidik sambil mengernyitkan dahinya.
Manus berbalik lagi dan memandang mereka dengan tatapan geram. "Kau tak usah menanyakan hal itu. Akan tiba saatnya pekik perlawanan kukumandangkan terhadap jejak-jejak kotor kolonialisme."
Manus berlalu meninggalkan teman-temannya yang diam dalam bingung. Manus sadar bahwa perubahan itu perlu pengorbanan dan pengorbanan selalu menyakitkan. Bagaimanapun, ia takkan mundur.
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Koar-koar Manus hari itu telah menimbulkan huru-hara di kampung Sejuk. Sebagian pemuda berempati padanya, sebagian lagi masih bimbang. Sementara itu, para petinggi kampung menyalak pedas dan tegas mengutuknya.
"Selama mentari belum lelah berkobar, sekali-kali patung itu tak akan digeser!" kata Bar-Kobar, sang kepala kampung dengan wajah serius sambil menghentak meja sidang di balai desa malam itu.
Sepertinya seluruh pegawai kampung lain menyetujuinya. Mereka nampak menganggukkan kepala dan menyimak dengan baik pembicaraan sang kepala kampung sambil mencondongkan badan ke depan.
"Terus, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pak Ance, seorang pegawai kampung berkumis tebal menyela pembicaraan sang kepala kampung. Sementara itu para pegawai lain sedang asyik menyeruput kopinya masing-masing.
"Kita harus melindungi patung itu, apa pun yang terjadi dan bagi para pemberontak kita sediakan hukuman," tukas sang kepala kampung dengan tekad yang bulat dan tegas.
Tekad kepala kampung itu menggambarkan trauma warga yang belum sembuh. Para petinggi kampung percaya bahwa usikan terhadap kedudukan sang patung hanya membawa malapetaka. Tiga puluh tahun lalu ketika Bar-Kobar memerintahkan penghancuran sang patung, banyak warga yang mati mendadak. Bahkan satu hari setelahnya angin puting-beliung datang menyerang. Itulah suatu sejarah memilukan yang masih jelas membekas. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
***