Para penduduk desa berbondong-bondong melihat pembukaan istana yang dijanjikan orang-orang asing itu. Kepala desa menagih janji Sam untuk membagikan apa yang menjadi haknya.
“Tanah itu milik kami!” Kata kepala desa dengan nada lirih penuh keluh siang itu di depan gerbang istana Sam.
“Oh ya? Apakah kalian pernah menganggap tanah itu emas? Bukankah kalian sendiri yang telah menyerahkan tanah itu karena tidak menganggapnya berharga?” Sam membalas keluhan kepala desa dengan nada angkuh.
Kulihat Sam berdiri dengan pongahnya siang itu, dari atas balkon istananya sambil memandang rendah kerumunan warga yang datang kepadanya. Para warga desa yang tidak setuju dan kecewa dengan sikap Sam mengamuk seketika itu juga. Mereka mencoba untuk membobol pagar tinggi istana tersebut, sambil berteriak-teriak histeris dan mulai menggoncang-goncangkan pagar. Adapula yang mencoba merusakkannya dengan palu dan linggis. Beberapa orang lagi mengekspresikan kemarahannya dengan melemparkan batu dan berbagai jenis kotoran ke arah halaman istana itu.
Amukan para penduduk desa itu segera dihadapi dengan sengit oleh selusin penjaga berseragam putih bersenjata lengkap, yang menghadang mereka dengan tameng dan pentungan. Masa yang memberontak itu tak dapat berbuat banyak selain mundur. Akhirnya dengan penuh kelesuan, kepala desa bersama ratusan warganya kembali ke kampung. Mereka pulang dengan tak membawa hasil apa-apa, hanya sesal di dalam dada.
(Manado, November 2013).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H