Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Literasi yang Terancam Punah

20 Januari 2023   00:21 Diperbarui: 28 Januari 2023   00:04 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                       (https://pixabay.com)

Buku dan pengaruhnya dalam memajukan peradaban        

Banyak ahli sejarah berpendapat bahwa orang paling berpengaruh di millenium ke-dua adalah Johanes Gutenberg. Daftar figur paling berpengaruh di milenium ke-dua yang dirilis oleh Stasiun TV A&E di Amerika serikat menempatkan Gutenberg di posisi puncak sebagai orang paling berpengaruh. Daftar itu dibuat oleh yang dibuat oleh sejumlah theolog, jusnalis dan ilmuan. 

Gutenberg dinilai memiliki pengaruh yang lebih signifikan ketimbang nama besar lain semisal Isaac Newton (yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai ilmuan paling berpengaruh sepanjang zaman). Mesin cetak yang diciptakan Gutenberg dipandang berperan penting dalam mengentaskan buta huruf serta mendorong terjadinya revolusi ilmu pengetahuan.

Sebelum Gutenberg, transfer ilmu berjalan sangat lamban karena semua pengetahuan ditulis secara manual. Buku sangat mahal. Satu buku harganya bisa setara dengan harga sehektar kebun anggur. Karena harganya yang mahal itulah, ilmu pengetahuan hanya berkembang di kalangan bangsawan dan agamawan. Sejak Gutenberg menemukan mesin cetak, buku dapat diterbitkan secara masal. Di mana-mana muncul sekolah-sekolah dan kaum terdidik. Masyarakat umum terliterasi.

Mesin cetak Gutenberg membantu penyebaran pemikiran dan ide. Teori gravitasi Newton dan teori seleksi alam Charles Darwin misalnya, tidak akan memberikan pengaruh luas kalau tidak dibukukan dan disebarkan melalui proses percetakan. Pengaruh langsung mesin cetak juga terasa dalam bidang keagamaan, seperti peristiwa reformasi Gereja oleh Marthin Luther. Ke-95 dalil/tesis melawan Gerja Katolik dan Paus dapat berpengaruh di seantero Eropa dan akhirnya dunia, karena pemikirannya disebarkan melalui alat cetak Gutenberg. Karena mesin cetak Gutenberg, Eropa yang tadinya tertinggal, maju pesat dalam penguasaan ilmu dan teknologi, meninggalkan Cina dan Asia Barat (yang pada abad ke-duabelas lebih maju daripada Eropa). Ketersediaan buku secara masal dan murah merupakan salah satu kunci keberhasilan dunia Barat (Eropa dan Amerika) dalam menguasai IPTEK sampai saat ini.

Kisah mesin cetak Gutenberg dalam memajukan peradaban Barat hendak menyampaikan satu pesan utama: buku berperan penting sebagai faktor penentu kemajuan suatu bangsa. Selain ketersediaan buku, hal yang tak kalah pentingnya adalah budaya literasi yang tinggi. Keberhasilan Eropa dan Amerika tidak terjadi dalam semalam. Masyarakatnya memiliki kehausan akan pengetahuan dan mereka menemukanya secara melimpah dalam berbagai literatur yang tersedia di perpustakaan-perpustakaan mereka.

Keberhasilan dunia Barat ini akhirnya ditiru pula oleh salah satu negera yang paling ambisius untuk memodernisasi masyarakatnya di Asia: Jepang. Restorasi Kaisar Meiji pada abad ke-19 mendorong bangsa itu untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknik bangsa Eropa ke dalam bahasa Jepang. Hasilnya negara feodal yang tertutup dan miskin itu menjelma menjadi negara termaju di Asia, setaraf dengan Eropa dan Amerika. Sampai hari ini, pemandangan orang membaca buku di dalam kereta atau tempat-tempat umum di Jepang adalah hal yang biasa.

Tingginya minat baca di antara masyarakat negara-negara maju menyebabkan mereka memiki ide yang kaya dan kreatif. Pemikiran yang satu memperkaya dan menghidupkan pemikiran lainnya serta melahirkan karya-karya baru. Negara-negara dengan indeks literasi yang tinggi selalu dapat bergerak lebih cepat dan antisipatif menyongsong perubahan sosial, ketimbang negara-negara yang abai dalam budaya literasi.

Minat membaca di negara kita

Berkaca dari kemajuan negara-negara tersebut, kita dapat berkesimpulan bahwa ada korelasi kuat antara kemajuan suatu negara dengan minat membaca warganya. Semakin budaya literasi itu mengakar di suatu negara, maka semakin majulah negara tersebut. Nah, bagaimana dengan negara kita?

Penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2016 lalu yang dipublikasikan dengan judul "The World's most literate Nations" menunjukkan bahwa Indonesia hanya bertengger di peringkat 60 dari hampir 70 negara yang disurvey. Dalam persentase, minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Itu berarti dari 1000 orang Indonesia, hanya terdapat satu orang yang rajin membaca! Sungguh sangat miris.

Mengapa masyarakat kita cenderung abai dalam budaya literasi? Ada beberapa faktor penting. Yang pertama, sudah sejak lama masyarakat kita lebih mementingkan budaya lisan daripada tulisan. Dalam berkomunikasi, mayarakat Indonesia lebih suka berbicara dan mendengarkan daripada menulis dan membaca. Kebiasaan ini dapat terlihat misalnya ketika masyarakat kita hendak memasang suatu peranti elektronik yang baru dibeli. Masyarakat Indonesia umumnya tidak suka membaca petunjuk tertulis dan langsung menanyakan pada seorang yang sudah dianggap ahli. Dalam mencari alamat pun, orang Indonesia tidak terbiasa membaca peta. Ia akan langsung menanyakan hal itu kepada orang-orang yang telah mengenal alamat yang dicari.

Apakah kecenderungan ini keliru? Tentu tidak. Namun kecenderungan mementingkan budaya lisan dan abai dalam membiasakan budaya literasi memiliki dampak buruk jangka panjang. Masyarakat yang lebih mementingkan budaya lisan ketimbang budaya tulisan akan sulit melestarikan warisan budayanya kepada generasi berikutnya dan juga sulit untuk menyerap informasi yang lebih rumit dan padat. Agama-gama asli di Nusantara telah menunjukkan akibat yang muncul karena masyarakatnya lebih memilih budaya lisan ketimbang tulisan. Bukan hanya di Nusantara, tetapi juga di seluruh dunia, agama-agama tradisional sulit bersaing dan akhirnya menghilang karena sistem kepercayaan dan tradisinya, diteruskan secara lisan dan tidak memiliki sistem ajaran tertulis. Agama-agama asli yang tidak memiliki kitab suci tertulis ini kesulitan untuk membahasakan ajaran terdahulu secara baik, tepat dan lengkap. Hal ini sangat berbeda dengan agama-agama besar dunia seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha yang semuanya memiliki kitab-suci dan ajaran yang tertulis. Agama-agama ini mampu membahasakan seluruh dogmanya secara baik, tepat dan lengkap dalam bentuk tulisan-tulisan.

Kecenderungan pertama diperparah dengan pengaruh kedua; budaya layar akibat ketersediaan gadget elektronik yang kian menjamur. Kegandrungan masyarakat kita dalam menggunakan gadget ini makin mengikis budaya lierasi. Masyarakat kita lebih tertarik dengan suguhan gambar dan video daripada harus membaca berlembar-lembar buku. Dalam beberapa kasus, peran buku telah tergantikan oleh informasi-informasi tertentu yang ditampilkan oleh mesin pencari video: You Tube ataupun bacaan-bacaan singkat di media sosial. Bahayanya, informasi-informasi itu tidak selalu dapat dikonfirmasi kebenarannya.

Dengan munculnya sumber informasi alternatif di internet itu, berapa orangkah yang masih setia membaca koran dan buku? Tentu tidak banyak. Perhatian orang-orang kini kian tersedot pada informasi-informasi yang singkat namun tidak disertai dengan penjelasan mendalam yang memadai. Orang lebih suka membaca ide tokoh-tokoh tertentu dari tafsiran orang kedua daripada membacanya dari sumber primer yang ditulis sendiri oleh sang tokoh. Misalnya saja, berapa orangkah yang membaca langsung buku fenomenal "Sapiens" karya Yuval Noah Harari atau membaca novel kontroversial "The Da Vinci Code" karya Dan Brown? Kebanyakan orang mengetahuinya lewat komentar pihak kedua, yang menarasikan karya-karya itu dalam bentuk lebih pendek. 

Hal ini berbahaya karena telah terjadi penafsiran atas tafsiran. Selain terjadi pendangkalan informasi, dapat juga terjadi pembengkokkan maksud asli penulis. Kecenderungan inilah yang terjadi jika penyerapan informasi hanya mengadalkan sumber-sumber di internet, tanpa didasari oleh pengetahuan yang utuh lewat literasi buku yang memadai.

Data penelitian dari wearesocial per Januari 2017 menunjukkan bahwa sekitar 60 juta masyarakat Indonesia memiliki gadget. Dari jumlah itu, masyarakat Indonesia terbiasa untuk menatap layar handphonenya selama rata-rata 9 jam sehari. Dengan tingkat literasi yang minim sedangkan minat yang berlebihan untuk berinteraksi di media sosial, masyarakat Indonesia sangat rentan berurusan dengan penyebaran hoax, ujaran kebencian dan berbagai pelecehan di media sosial. Netizen Indonesia bahkan dicap sebagai salah satu netizen yang kurang sopan dan buruk bersikap di media sosial; menurut riset Microsoft pada tahun 2020. Tingkat kesopanan dan sikap positif di media sosial netizen Indonesia hanya menempati peringkat 29 dari 32 negara yang disurvei.

Kecenderungan untuk menyerap informasi serba instan lewat internet juga mulai merebak di sekolah-sekolah pada zaman ini. Ketimbang menjelajahi perpustakaan, para murid seakan lebih nyaman meminta bantuan pada google ataupun aplikasi seperti brainly. Beberapa siswa mungkin akan mencari informasi di You-tube atau bahkan menonton info lewat tik-tok. Di sini akan terjadi pendangkalan kebenaran, karena semua informasi telah dipotong sedemikian rupa sehingga informasi yang didapat tidak utuh dan lengkap. Tak jarang para siswa gagal untuk memahami makna suatu pernyataan secara utuh karena kurang memperoleh informasi tentang konteks kesekitaran berita itu. Ini hanya diakibatkan hal sederhana: enggan membaca buku. Pada gilirannya, kecnderungan malas membaca buku ini akan mengakibatkan siswa tidak terangsang untuk menggunakan rasionalitasnya dalam berpikir. Semua informasi dicari dan dikumpulkan secara instan. Yang paling buruk dari semua kecenderungan ini adalah siswa kehilangan sikap kritis.

Masa depan buku dan Sikap kita    

Perkembangan ledakan informasi yang ditawarkan oleh internet menimbulkan pertanyaan; "Sampai kapan buku akan bertahan? Apakah era buku akan terhenti di akhir milenium ini dan digantikan dengan era memori digital?"

Melihat perkembangan teknologi yang kian pesat, sangat mungkin bentuk fisik buku akan berubah. Di masa depan akan muncul buku-buku elektronik. Halaman-halaman kertas akan digantikan dengan halaman-halaman virtual. Bagaimanapun, buku akan tetap bertahan sebagai saran pembelajaran yang paling efektif, karena tidak membutuhkan energi listrik untuk mengaktifkannya, lebih sehat dibaca ketimbang layar elektonik. Dan hal terpenting yang dimiliki buku adalah kredibilitas informasinya yang dimilikinya. Mayoritas buku yang beredar memiliki editor yang berpendidikan. Materi buku juga diseleksi secara ketat sehinga memiliki kualitas informasi yang mumpuni. Hal itu jarang dimiliki oleh informasi-informasi yang tertera di halaman-halaman website internet.

Bagaimanapun bentuk buku nantinya di masa depan, intisari mendapatkan ilmu dan informasi tetap sama: membutuhkan kemampuan membaca dan semangat literasi yang tinggi. Kemampuan dan minat baca akan tetap diperlukan dan dibutuhkan sampai kapan pun, meskipun bentuk fisik dari buku itu akan berubah.

Untuk membentuk masyarakat yang memiliki tingkat literasi yang tinggi butuh kerjasama dari berbagai pihak. Dari pihak pemerintah, perlu diperhatikan ketersediaan buku-buku, bukan hanya buku-buku pembelajaran di sekolah tetapi buku-buku umum yang membuka wawasan masyarakat. Pemerintah juga hendaknya mengapresiasi para penulis di dalam negeri, buka saja untuk berani berkarya tetapi juga dengan memberikan penghargaan yang layak dan sepantasnya.

Sekolah sebagai pihak paling berkepentingan dalam dunia pendidikan mesti memfasilitasi kegiatan-kegiatan belajar yang mendorong minat baca seperti bedah buku-buku menarik, studi kepustakaan dalam pembuatan karya tulis serta pemberian tugas yang menargetkan pembacaan buku tertentu dalam waktu yang telah ditentukan.

Dari pihak masyarakat luas, perlu ada kecintaan terhadap buku. Butuh kesadaran yang lebih untuk membaca buku di waktu-waktu luang. Kenyataannya, masih jarang kita menemukan rumah yang setidak-tidaknya memiliki rak buku. Hal itu tentu sangat berbeda jika kita melihat mayoritas rumah di negara-negara Barat yang kebanyakan memiliki rak buku yang penuh terisi. Masyarakat negara kita mestinya meniru perilaku positif warga negara maju yang tidak membuang-buang waktu luangnya untuk hal-hal yang tak berfaedah seperti berjam-jam menatap layar Hp ataupun bergabung dalam pembicaraan yang tak membangun seperti bergosip.

Jika masyarakat kita sudah memiliki tingkat literasi yang tinggi, tentu kita dapat memiliki harapan yang kuat dan kokoh bahwa di masa depan nanti Indonesia akan mampu bersaing dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Ketika minat membaca semakin menjadi budaya bangsa kita, bukan mustahil Indonesia menjadi negara maju. Putera-puteri terbaiknya dapat berbicara lebih di kancah internasional sebagai peraih hadiah nobel dan gelar-gelar prestisius lainnya. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun