Penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2016 lalu yang dipublikasikan dengan judul "The World's most literate Nations" menunjukkan bahwa Indonesia hanya bertengger di peringkat 60 dari hampir 70 negara yang disurvey. Dalam persentase, minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Itu berarti dari 1000 orang Indonesia, hanya terdapat satu orang yang rajin membaca! Sungguh sangat miris.
Mengapa masyarakat kita cenderung abai dalam budaya literasi? Ada beberapa faktor penting. Yang pertama, sudah sejak lama masyarakat kita lebih mementingkan budaya lisan daripada tulisan. Dalam berkomunikasi, mayarakat Indonesia lebih suka berbicara dan mendengarkan daripada menulis dan membaca. Kebiasaan ini dapat terlihat misalnya ketika masyarakat kita hendak memasang suatu peranti elektronik yang baru dibeli. Masyarakat Indonesia umumnya tidak suka membaca petunjuk tertulis dan langsung menanyakan pada seorang yang sudah dianggap ahli. Dalam mencari alamat pun, orang Indonesia tidak terbiasa membaca peta. Ia akan langsung menanyakan hal itu kepada orang-orang yang telah mengenal alamat yang dicari.
Apakah kecenderungan ini keliru? Tentu tidak. Namun kecenderungan mementingkan budaya lisan dan abai dalam membiasakan budaya literasi memiliki dampak buruk jangka panjang. Masyarakat yang lebih mementingkan budaya lisan ketimbang budaya tulisan akan sulit melestarikan warisan budayanya kepada generasi berikutnya dan juga sulit untuk menyerap informasi yang lebih rumit dan padat. Agama-gama asli di Nusantara telah menunjukkan akibat yang muncul karena masyarakatnya lebih memilih budaya lisan ketimbang tulisan. Bukan hanya di Nusantara, tetapi juga di seluruh dunia, agama-agama tradisional sulit bersaing dan akhirnya menghilang karena sistem kepercayaan dan tradisinya, diteruskan secara lisan dan tidak memiliki sistem ajaran tertulis. Agama-agama asli yang tidak memiliki kitab suci tertulis ini kesulitan untuk membahasakan ajaran terdahulu secara baik, tepat dan lengkap. Hal ini sangat berbeda dengan agama-agama besar dunia seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha yang semuanya memiliki kitab-suci dan ajaran yang tertulis. Agama-agama ini mampu membahasakan seluruh dogmanya secara baik, tepat dan lengkap dalam bentuk tulisan-tulisan.
Kecenderungan pertama diperparah dengan pengaruh kedua; budaya layar akibat ketersediaan gadget elektronik yang kian menjamur. Kegandrungan masyarakat kita dalam menggunakan gadget ini makin mengikis budaya lierasi. Masyarakat kita lebih tertarik dengan suguhan gambar dan video daripada harus membaca berlembar-lembar buku. Dalam beberapa kasus, peran buku telah tergantikan oleh informasi-informasi tertentu yang ditampilkan oleh mesin pencari video: You Tube ataupun bacaan-bacaan singkat di media sosial. Bahayanya, informasi-informasi itu tidak selalu dapat dikonfirmasi kebenarannya.
Dengan munculnya sumber informasi alternatif di internet itu, berapa orangkah yang masih setia membaca koran dan buku? Tentu tidak banyak. Perhatian orang-orang kini kian tersedot pada informasi-informasi yang singkat namun tidak disertai dengan penjelasan mendalam yang memadai. Orang lebih suka membaca ide tokoh-tokoh tertentu dari tafsiran orang kedua daripada membacanya dari sumber primer yang ditulis sendiri oleh sang tokoh. Misalnya saja, berapa orangkah yang membaca langsung buku fenomenal "Sapiens" karya Yuval Noah Harari atau membaca novel kontroversial "The Da Vinci Code" karya Dan Brown? Kebanyakan orang mengetahuinya lewat komentar pihak kedua, yang menarasikan karya-karya itu dalam bentuk lebih pendek.Â
Hal ini berbahaya karena telah terjadi penafsiran atas tafsiran. Selain terjadi pendangkalan informasi, dapat juga terjadi pembengkokkan maksud asli penulis. Kecenderungan inilah yang terjadi jika penyerapan informasi hanya mengadalkan sumber-sumber di internet, tanpa didasari oleh pengetahuan yang utuh lewat literasi buku yang memadai.
Data penelitian dari wearesocial per Januari 2017 menunjukkan bahwa sekitar 60 juta masyarakat Indonesia memiliki gadget. Dari jumlah itu, masyarakat Indonesia terbiasa untuk menatap layar handphonenya selama rata-rata 9 jam sehari. Dengan tingkat literasi yang minim sedangkan minat yang berlebihan untuk berinteraksi di media sosial, masyarakat Indonesia sangat rentan berurusan dengan penyebaran hoax, ujaran kebencian dan berbagai pelecehan di media sosial. Netizen Indonesia bahkan dicap sebagai salah satu netizen yang kurang sopan dan buruk bersikap di media sosial; menurut riset Microsoft pada tahun 2020. Tingkat kesopanan dan sikap positif di media sosial netizen Indonesia hanya menempati peringkat 29 dari 32 negara yang disurvei.
Kecenderungan untuk menyerap informasi serba instan lewat internet juga mulai merebak di sekolah-sekolah pada zaman ini. Ketimbang menjelajahi perpustakaan, para murid seakan lebih nyaman meminta bantuan pada google ataupun aplikasi seperti brainly. Beberapa siswa mungkin akan mencari informasi di You-tube atau bahkan menonton info lewat tik-tok. Di sini akan terjadi pendangkalan kebenaran, karena semua informasi telah dipotong sedemikian rupa sehingga informasi yang didapat tidak utuh dan lengkap. Tak jarang para siswa gagal untuk memahami makna suatu pernyataan secara utuh karena kurang memperoleh informasi tentang konteks kesekitaran berita itu. Ini hanya diakibatkan hal sederhana: enggan membaca buku. Pada gilirannya, kecnderungan malas membaca buku ini akan mengakibatkan siswa tidak terangsang untuk menggunakan rasionalitasnya dalam berpikir. Semua informasi dicari dan dikumpulkan secara instan. Yang paling buruk dari semua kecenderungan ini adalah siswa kehilangan sikap kritis.
Masa depan buku dan Sikap kita  Â
Perkembangan ledakan informasi yang ditawarkan oleh internet menimbulkan pertanyaan; "Sampai kapan buku akan bertahan? Apakah era buku akan terhenti di akhir milenium ini dan digantikan dengan era memori digital?"
Melihat perkembangan teknologi yang kian pesat, sangat mungkin bentuk fisik buku akan berubah. Di masa depan akan muncul buku-buku elektronik. Halaman-halaman kertas akan digantikan dengan halaman-halaman virtual. Bagaimanapun, buku akan tetap bertahan sebagai saran pembelajaran yang paling efektif, karena tidak membutuhkan energi listrik untuk mengaktifkannya, lebih sehat dibaca ketimbang layar elektonik. Dan hal terpenting yang dimiliki buku adalah kredibilitas informasinya yang dimilikinya. Mayoritas buku yang beredar memiliki editor yang berpendidikan. Materi buku juga diseleksi secara ketat sehinga memiliki kualitas informasi yang mumpuni. Hal itu jarang dimiliki oleh informasi-informasi yang tertera di halaman-halaman website internet.